Olimpiade Paris 2024: Mengapa Atlet Prancis Dilarang Berhijab padahal Atlet Kontingen Lain Diperbolehkan?

Konten Media Partner
23 April 2024 9:25 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical

Olimpiade Paris 2024: Mengapa Atlet Prancis Dilarang Berhijab padahal Atlet Kontingen Lain Diperbolehkan?

Ibtihaj Muhammad menjadi atlet muslim berhijab pertama yang membela Amerika Serikat saat meraih perunggu anggar di Olimpiade Rio 2016
zoom-in-whitePerbesar
Ibtihaj Muhammad menjadi atlet muslim berhijab pertama yang membela Amerika Serikat saat meraih perunggu anggar di Olimpiade Rio 2016
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Terletak di tepi Sungai Seine, kawasan Cite du Cinema di Paris yang dikenal sebagai tempat produksi film akan menjelma menjadi perkampungan atlet selama perhelatan Olimpiade Paris 2024 pada Juli mendatang.
Para atlet dari berbagai negara dengan budaya yang berbeda akan bertemu di ruang makan, duduk berhadapan satu sama lain, berbagi makanan dan bertukar cerita.
Ajang olahraga ini adalah tempat bagi meleburnya beragam budaya, tempat bagi orang-orang dari berbagai keyakinan dan beragam warna kulit berjumpa setiap empat tahun.
Namun, ketentuan berpakaian bagi atlet tuan rumah ternyata berbeda dengan tamu-tamunya.
Pada September 2023 lalu, Komite Olimpiade Internasional (IOC) menegaskan bahwa para atlet dapat merepresentasikan keyakinan serta negara mereka.
“Untuk di Kampung Atlet, peraturan IOC berlaku. Tidak ada batasan dalam mengenakan jilbab atau pakaian keagamaan dan budaya lainnya,” kata juru bicara IOC kepada Reuters.
Namun atlet dari kontingen Prancis menerima aturan yang berbeda.
“Larangan menggunakan jilbab adalah wujud dari dua diskriminasi: Islamofobia dan diskriminasi gender,” kata Veronika Noseda, pemain sepak bola untuk Les Degommeuses, klub sepak bola di Paris yang dibentuk untuk melawan diskriminasi.
Assile Toufaily setuju dengan hal itu. Dia pindah ke Lyon pada 2021 setelah bermain untuk tim sepak bola Lebanon pada tingkat internasional.
“Sebenarnya ini bukan soal masyarakat Prancis, ini soal pemerintahnya,” kata dia.
“Ada kebencian terhadap umat Islam selama beberapa tahun terakhir di Prancis dan itu terlihat di dalam olahraga.”
Kedatangan para atlet dari seluruh dunia ke Paris pada musim panas nanti akan memperlihatkan gambaran paling jelas bagi prinsip kenegaraan Prancis yang khas namun berulang kali memicu kontroversi.
Liberte, egalite, fraternite pertama kali digaungkan pada masa Revolusi Prancis. Ini adalah semboyan paling terkenal dari apa yang dicita-citakan oleh Prancis.
Semboyan itu tercantum di bagian depan konstitusi, pada uang logam, perangko, hingga bangunan-bangunan publik.
Salah satu prinsip penting Prancis yang kurang dikenal dan sulit ditafsirkan adalah: laicite.
Dalam bahasa Inggris, kata itu sering diterjemahkan sebagai “secularism (sekularisme)”.
Laicite tidak mengharuskan masyarakat melepas adat istiadat atau simbol agama apa pun. Sebaliknya, lembaga-lembaga negara dan publik harus bebas dari simbol-simbol itu.
Gagasan ini berulang kali diuji di Prancis, terutama setelah serangkaian serangan teroris selama satu dekade terakhir dan kebangkitan politik sayap kanan.
Presiden Prancis, Emmanuel Macron, berulang kali mendefinisikan istilah tersebut.
“Masalahnya bukan pada laicite,” ujar Macron dalam pidatonya pada Oktober 2020.
Laicite di Republik Perancis berarti kebebasan untuk percaya atau tidak percaya, kemungkinan menjalankan agamanya selama hukum dipatuhi.”
"Laicite berarti netralitas negara. Ini sama sekali tidak berarti penghapusan agama dari masyarakat dan arena publik. Persatuan Perancis diperkuat oleh laicite."
Presiden Prancis Emmanuel Macron berulang kali mendefinisikan prinsip "laicite"
Undang-undang yang disahkan pada 2004 berupaya memperjelas konsep tersebut dengan melarang simbol-simbol agama yang “menonjol” di sekolah negeri tanpa menyebutkan contohnya secara spesifik.
Meskipun sorban Sikh, kippah Yahudi, dan salib Kristen berukuran besar termasuk yang dilarang, namun mayoritas perdebatannya terfokus pada penggunaan hijab di kalangan populasi Muslim di Prancis yang merupakan terbesar di Eropa Barat.
Pada bulan September, Menteri Olahraga Prancis, Amelie Oudea-Castera—yang juga mantan pemain tenis profesional—menegaskan bahwa tim Olimpiade Prancis sebagai lembaga yang mewakili dan didanai oleh publik turut terikat oleh princip laicite.
Artinya, netralitas mutlak turut berlaku.
“[Atlet] tim Prancis tidak akan mengenakan jilbab,” kata Oudea-Castera.
Atlet dari negara lain akan bebas mengenakan simbol keagamaan di perkampungan atlet Paris 2024 sesuai keinginannya. Namun itu tidak berlaku bagi tim yang mewakili Prancis jika ingin mematuhi aturan negaranya.
Sikap tersebut telah dikritik oleh sejumlah lembaga internasional.
“Tidak ada satu orang pun yang boleh memaksa seorang perempuan soal apa yang boleh dan tidak boleh dia kenakan,” kata juru bicara Kantor HAM PBB.
“Larangan mengenakan jilbab di ruang publik melanggar hak-hak perempuan Muslim,” tambah Amnesty International.
Namun di Perancis, larangan tersebut justru banyak didukung.
“Ini adalah masalah yang rumit dan sangat, sangat sensitif,” kata Sebastien Maillard, seorang peneliti di lembaga kajian Chatham House.
“Ketika saya pindah dari Paris ke London, itulah salah satu perbedaan yang menonjol. Di Inggris, agama ditampilkan dengan cukup nyaman, sedangkan di Paris sering kali dianggap sebagai sesuatu yang lebih provokatif.”
Maillard mencontohkan kontroversi terkait pengecualian simbol-simbol agama pada Olimpiade Paris 2024.
Pada bulan Maret, poster resmi Olimpiade telah diluncurkan. Poster itu menyatukan monumen dan ikon Kota Paris membentuk sebuah stadion.
Seniman yang membuat poster tersebut menghilangkan salib emas yang menjulang di atas Hotel des Invalides.
Ini memicu diskusi mengenai seberapa ketat Olimpiade tersebut—yang menelan biaya miliaran Euro—tetap berpegang pada prinsip-prinsip laicite.
“Perdebatan mengenai ini lebih sering berfokus pada komunitas Muslim, komunitas yang ingin menjadi bagian penuh dari masyarakat Prancis namun juga ingin menganut agama dengan caranya sendiri,” kata Maillard.
“Kami berulang kali berdebat tentang bagaimana kedua hal itu bisa bertemu.”
“Republik Prancis salah satunya didirikan atas dasar penolakan terhadap agama Katolik dan negara ini merasa terancam setiap kali bersinggungan dengan agama."
"Ada kekhawatiran yang besar, khususnya di kalangan generasi tua, bahwa agama akan mempengaruhi masyarakat dan negara.”
Dalam poster resmi Olimpiade Paris 2024, salib emas yang menjulang di atas Hotel des Invalides dihilangkan
Perdebatan ini kerap muncul di bidang-bidang yang demografinya paling beragam, seperti pendidikan dan olahraga.
Selama bulan Ramadan tahun lalu, Federasi Sepak Bola Prancis (FFF) mengeluarkan aturan agar wasit tidak menghentikan pertandingan agar para pemain dapat berbuka puasa. Menurut mereka, penghentian pertandingan “tidak menghormati ketentuan anggaran dasar FFF”.
Pada Ramadan tahun ini, yang bertepatan dengan jeda internasional, FFF menegaskan bahwa mereka tidak akan mengubah waktu makan dan latihan untuk mengakomodasi para pemain Muslim.
Ini menghalangi para atlet Muslim untuk berpuasa saat berada di kamp bersama tim senior Prancis.
Gelandang Lyon, Mahamadou Diawara meninggalkan acara kumpul tim U-19 Prancis karena pembatasan tersebut.
Atlet basket yang telah mewakili Prancis di level U-23, Diaba Konate, pindah ke Amerika Serikat dan mengatakan bahwa larangan mengenakan jilbab membuatnya “patah hati”.
Bahkan dalam pertandingan lokal level rendah pun, pemain Muslim perempuan dilarang mengenakan jilbab. Alasannya adalah liga tersebut diselenggarakan dan dijalankan oleh lembaga publik.
Mengenakan pelindung kepala—sebagai solusi yang telah dicoba oleh sejumlah pemain—juga dianggap melanggar oleh sejumlah wasit.
Penerapan prinsip laicite para olahraga akar rumput membuat atlet berhijab biasanya berkompromi atau bahkan mundur sebelum mencapai level pertandingan terbesar.
Namun perhelatan Olimpiade Paris 2024 akan menimbulkan dilema yang paling parah: mengenakan seragam tim nasional Prancis atau mengekspresikan keyakinan pribadi.
Padahal di ajang olahraga lainnya, situasinya telah berubah.
Bek Maroko Nouhaila Benzina menjadi orang pertama yang mengenakan jilbab di Piala Dunia ketika dia bermain melawan Korea Selatan. Ini menyusul perubahan peraturan FIFA pada 2014 yang mengizinkan penggunaan jilbab karena alasan agama.
Di Rio 2016, pemain anggar Ibtihaj Muhammad menjadi orang Amerika pertama yang berkompetisi di Olimpiade sambil mengenakan jilbab.
Dia kemudian menjadi salah satu atlet yang meluncurkan jilbab khusus olahraga dengan merek global Amerika.
Atlet berjilbab lainnya yang memenangkan medali di Olimpiade adalah pemain taekwondo asal Iran, Kimia Alizadeh yang telah pindah ke Jerman. Dia juga mengkritik kebijakan pemerintah Iran yang mewajibkan jilbab.
Dia berpartisipasi di Olimpiade Tokyo pada 2021 di bawah naungan tim Pengungsi tanpa mengenakan jilbab.
Kimia Alizadeh pernah mengenakan jilbab saat berpartisipasi dalam Olimpiade
Iqra Ismail punya pendapat pribadi sebagai orang yang tinggal di Inggris di mana laicite adalah sebuah prinsip yang asing.
Ismail adalah Direktur Hilltop FC, Koordinator Proyek Sepak bola Pengungsi Perempuan di QPR Community Trust sekaligus seorang Muslim yang menyukai olahraga sejak kecil.
“Mengenakan hijab adalah bagian dari identitas saya. Saat bermain, jilbab bukanlah sesuatu yang bisa saya tinggalkan di luar garis lapangan,” katanya.
“Sepak bola adalah hak asasi manusia—setiap orang pasti mempunyai hak untuk berpartisipasi.”
Yasmin Abukar adalah pendiri Sisterhood FC, klub sepak bola bagi perempuan muslim di London.
“Saya bertanya kepada gadis-gadis Muslim apa yang membuat mereka berhenti bermain sepak bola dan jawaban mereka sangat menyedihkan,” kata Abukar.
“Setengah dari mereka berhenti karena merasa tidak diterima. Setengah lainnya merasa tidak memiliki akses terhadap sepak bola yang dapat mengakomodasi keyakinan mereka.”
“Saya tidak tahu bagaimana perasaan saya sebagai seorang Muslim yang diberitahu oleh pemerintah bahwa saya tidak bisa memiliki kebebasan menjalankan agama saya.
“Saya sangat bersyukur orang tua saya tidak bermigrasi ke Prancis.”