Perempuan yang Tak Bisa Rasakan Sakit, Stres, dan Takut akibat Mutasi Gen Langka

Konten Media Partner
4 Juni 2023 12:45 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Jo Cameron adalah satu-satunya orang di dunia yang diketahui memiliki dua mutasi gen yang membuat dirinya hampir tidak dapat merasakan sakit dan memiliki kemampuan penyembuhan yang luar biasa.
Perlu 10 tahun bagi para peneliti untuk akhirnya memahami cara kerja mutasi pada Jo. Pada 2013, sebuah operasi rutin pada tangan perempuan berusia 65 tahun itu mengakibatkan penemuan mutasi gen yang menjelaskan mengapa ia kurang sensitif pada rasa sakit.
"Saya menjalani operasi untuk radang sendi di tangan saya dan saya mengobrol dengan dokter anestesi, dan dia bilang ini akan menjadi operasi yang sangat, sangat menyakitkan dan setelah itu Anda akan sangat kesakitan," katanya kepada BBC.
"Saya menjawab, ‘Tidak akan, saya tidak merasakan sakit,'" imbuhnya. "Sesudah operasi, si dokter mengunjungi saya dan berkata, ‘Anda belum minum obat apa-apa untuk [meredakan] rasa sakit Anda. Ini sangat tidak biasa’".
Ketika dokter anestesi yang menangani Jo, Dr Devjit Srivastava, melihat perempuan itu tidak merasakan apa-apa, sang dokter merujuknya ke ahli genetika nyeri di University College London (UCL) dan Universitas Oxford.
Tim ahli genetika itu kemudian mengumpulkan sampel jaringan dan darah Jo untuk memeriksa DNA-nya.
Setelah enam tahun penelitian, mereka mengungkap bahwa mutasi pada gen FAAH-OUT yang sebelumnya tidak diketahui telah membuat Jo, yang tinggal di dekat Loch Ness di Dataran Tinggi Skotlandia, tidak merasakan sakit, stres, atau takut.

Apa itu mutasi gen FAAH-OUT?

Gen FAAH-OUT awalnya termasuk dalam sekelompok gen yang sudah lama dianggap sebagai “DNA sampah” (junk DNA). Namun para ilmuwan baru-baru ini mempelajari pentingnya gen-gen tersebut dalam proses seperti kesuburan, penuaan dan penyakit.
Dalam kasus ini, para peneliti telah berhasil mengidentifikasi gen yang terkait dengan kurangnya sensasi rasa sakit, gen yang membantu menghindari perasaan cemas dan depresi, serta gen yang membantu Jo sembuh lebih cepat.
Mereka telah menemukan bahwa mutasi FAAH-OUT "mematikan" ekspresi gen FAAH, yang diasosiasikan dengan rasa sakit, suasana hati, dan memori. Mutasi tersebut juga menyebabkan berkurangnya enzim FAAH yang dihasilkan.
Gen FAAH pada Jo juga membawa mutasi yang mengakibatkan enzim tersebut kurang aktif. Enzim adalah katalis biologis yang menciptakan protein. Enzim FAAH biasanya memecahkan molekul ‘penyebab kebahagiaan’ yang disebut anandamide pada manusia, namun ia tidak bekerja dengan baik dalam kasus Jo.
Para ilmuwan juga menemukan bahwa dua mutasi Jo tidak hanya mengakibatkan perempuan itu tidak merasa sakit tapi juga berkaitan dengan penyembuhan.
"Entah bagaimana mereka terhubung, sel-selnya bisa sembuh sekitar 20% hingga 30% lebih cepat. Itu luar biasa sehingga Anda dapat membayangkan potensi kesehatannya dari sekadar penyembuhan luka,” kata Dr Andrei Okorokov, profesor di UCL dan rekan penulis senior studi yang diterbitkan dalam jurnal neurologi Brain.
"Mutasi menghapus bagian dari gen FAAH-OUT dan mematikannya. Jo juga membawa mutasi lain pada gen FAAH. Sejauh ini, kami tidak tahu ada orang lain di dunia yang membawa kedua mutasi tersebut."

Mengapa rasa sakit itu penting?

Rasa sakit sangat penting untuk melindungi kita dari peristiwa yang dapat mencederai atau membahayakan nyawa. Konsekuensi dari tidak merasakan sakit bisa serius.
Rasa sakit itu penting untuk melindungi kita tetapi juga bisa menjadi kronis.
Dalam kasus Jo, misalnya, lengannya sering terbakar di oven. Karena tidak merasakan sakit, ia harus mengandalkan bau daging hangus untuk memperingatkannya bahwa kulitnya terbakar.
"Kami telah bekerja dengan pasien lain yang juga tidak merasakan sakit karena membawa mutasi pada gen yang lain, dan kadang-kadang mereka pernah menderita cedera serius. Jadi, merasakan sakit adalah hal yang baik tetapi kadang-kadang rasa sakit bisa berubah menjadi kronis dan tidak lagi berguna," kata James Cox, seorang profesor Human Pain Genetics di UCL dan penulis studi tersebut.
Untuk waktu yang lama, Jo tidak merasa ada sesuatu yang berbeda dengan dirinya. Dia tidak pernah minum obat apa pun untuk membantunya mengatasi rasa sakit.
“Saya merasa biasa saja karena cuma saya saja yang begini,” ujarnya. “Saya punya anak, saya punya suami dan selama bertahun-tahun mereka cuma berpikir kalau saya punya batas rasa sakit yang luar biasa.”
Mutasi gen itu juga berarti Jo juga dapat memproses perasaan sedih atau marah dengan lebih cepat.
"Saya merasakan emosi yang sama seperti orang lain ketika hal-hal buruk terjadi, saya langsung bereaksi seperti orang lain," ujarnya. "Tapi kemudian, saya langsung berpikir pasti ada sesuatu yang bisa saya lakukan dan saya mulai memikirkan strategi untuk keluar dari situasi itu.”
Profesor Cox berharap temuan ini akan memungkinkan penelitian baru tentang obat-obatan untuk membantu manajemen nyeri, penyembuhan luka, dan kesehatan mental.
"Nyeri kronis adalah kondisi kesehatan yang paling umum di zaman ini, dan kita sangat membutuhkan jenis obat penghilang rasa sakit baru. Dengan memahami bagaimana FAAH-OUT bekerja pada tingkat molekuler, kami berharap obat penghilang rasa sakit yang baru dan lebih baik dapat dikembangkan," ujarnya.