Permintaan Maaf Belanda Atas Perbudakan Era Kolonial Tidak Didukung Warganya

Konten Media Partner
20 Desember 2022 11:25 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Jajak pendapat menunjukkan hampir separuh orang Belanda tidak mendukung permintaan maaf, sementara 38% mendukungnya.
zoom-in-whitePerbesar
Jajak pendapat menunjukkan hampir separuh orang Belanda tidak mendukung permintaan maaf, sementara 38% mendukungnya.
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Belanda meminta maaf atas masa lalu kolonialnya dan perbudakan serta eksplorasi yang dimandatkan oleh negara pada abad ke 17-19.
Perdana Menteri (PM) Belanda, Mark Rutte mengatakan perbudakan harus "secara tegas" diakui sebagai "kejahatan terhadap kemanusiaan".
Dalam pidato di Den Haag pada Senin (19/12), Rutte mengatakan, "Hari ini saya meminta maaf atas tindakan masa lalu Negara Belanda untuk memperbudak orang di masa lalu."
Permintaan maaf itu muncul hampir 150 tahun setelah berakhirnya perbudakan di berbagai koloni Belanda, termasuk Suriname dan pulau-pulau seperti Curacao dan Aruba di Karibia dan di wilayah timur Indonesia, seperti dilaporkan AFP.
Permintaan itu disampaikan menjelang kunjungan para menteri Belanda ke Karibia dan Suriname.
Namun permintaan maaf itu memicu kritik, terutama soal waktu yang dipilih serta bagaimana permintaan maaf itu direncanakan.
Para pengkritik mengeluhkan minimnya konsultasi Belanda terkait hal ini, bahkan mereka menilai bahwa cara pemerintah Belanda mengagendakan permintaan maaf ini memiliki "kesan kolonial".
Enam yayasan di Suriname mendesak pengadilan agar memerintahkan permintaan maaf untuk dilakukan pada 1 Juli 2023, yang bertepatan dengan peringatan 150 tahun berakhirnya perbudakan oleh kolonial Belanda.
“Kalau ada permintaan maaf, itu harus [disampaikan] pada 1 Juli, yang merupakan hari emansipasi kami, ketika mereka melepas belenggu kami,” kata DJ Etienne Wix dari stasiun radio komunitas mArt.
Etienne Wix mengatakan permintaan maaf itu harus bertepatan dengan hari peringatan penghapusan perbudakan di koloni Belanda.
Lebih dari 600.000 orang dari Asia - termasuk di wilayah Nusantara (kini Indonesia) - dan Afrika diperdagangkan oleh Belanda pada abad ke-17 hingga ke-19.
Laki-laki, perempuan, dan anak-anak dipekerjakan secara paksa di perkebunan gula, kopi dan tembakau, di pertambangan, serta sebagai budak rumah tangga di “Dunia Baru” ketika mereka menjajah wilayah Amerika dan Karibia.
Orang-orang yang diperbudak mengalami kekerasan fisik, mental dan seksual yang ekstrem.
Hasil dari kerja paksa itu telah memperkaya Kerajaan Belanda dan berkontribusi pada “Zaman Keemasan” - masa kejayaan ekonomi Belanda pada abad ke-17 - yang membuat Belanda sangat maju dalam bidang ilmu pengetahuan dan budaya.
Dewan Riset Belanda menemukan bahwa di provinsi-provinsi bagian barat Belanda, 40% pertumbuhan ekonomi pada 1738-1780 dapat dikaitkan dengan perbudakan.
Dalam pidatonya di Arsip Nasional di Den Haag, Rutte menanggapi laporan yang ditugaskan oleh pemerintah pada 2021, yang berjudul Belenggu Masa Lalu.
Laporan itu merekomendasikan Belanda untuk mengakui warisan perbudakan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, mempromosikan pandangan yang lebih kritis dan bernuansa soal Zaman Keemasan, serta mengambil langkah-langkah untuk menangani rasisme dan gagasan institusional yang muncul dalam konteks kolonialisme ini.
Rutte telah mendorong apa yang dia gambarkan sebagai "momen yang berarti", menunjukkan pentingnya memanfaatkan dukungan politik saat ini untuk meminta maaf, dan memungkinkan 2023 menjadi tahun peringatan dengan anggaran yang dialokasikan untuk inisiatif-inisiatif khusus ini.
“Belanda adalah salah satu bagian dari Eropa yang berhubungan langsung secara luas dengan perbudakan,” kata Pepijn Brandon, profesor Sejarah Ekonomi dan Sosial Global di Free University of Amsterdam yang menerbitkan penelitian tersebut.
Dia meyakini bahwa persepsi publik mengenai warisan perbudakan Belanda telah bergeser dalam satu dekade terakhir, yang tampak dari pengakuan bahwa kolonialisme dan perbudakan menjadi pilar Belanda sebagai negara dagang terkemuka di dunia.
Meningkatnya sorotan di media dan di dunia pendidikan pun menunjukkan bahwa pendekatan terkait topik ini sudah sangat berbeda.
Kesadaran soal ini telah memantik pertanyaan mendasar soal distribusi kekayaan Belanda dan prevalensi prasangka era kolonial saat ini.
BBC menemui Quinsy Gario, seorang penyair dan aktivis kesetaraan hak, di sebuah taman yang diselimuti salju di timur Amsterdam untuk membahas soal permintaan maaf ini.
Quinsy Gario mengatakan permintaan maaf yang bermakna berarti Belanda harus benar-benar mendengarkan.
"Kebanyakan orang memahami Zaman Keemasan adalah istilah yang salah, jadi persoalan sebenarnya bukan pada terminologi lagi. Ketika kita menyadari Zaman Keemasan itu tidak lagi emas, apa artinya memperbaiki kerugiannya serta sistem yang dibangun pada saat itu?”
Dan itu, kata dia, harus menjadi titik awal untuk permintaan maaf.

Prasangka masa kini

Permintaan maaf itu muncul seminggu setelah sebuah laporan mengungkap bahwa orang-orang di dalam Kementerian Luar Negeri Belanda mendapatkan komentar rasis.
Beberapa di antaranya bahkan dilangkahi untuk promosi karena warna kulit atau etnis mereka.
Masih di departemen yang sama, negara-negara Afrika disebut sebagai “negara monyet” di dalam komunikasi internal mereka.
Menteri Luar Negeri Wopke Hoekstra meminta maaf setelah itu, dan mengakui bahwa laporan tersebut dapat merusak reputasi Belanda di luar negeri.
Belanda pun telah dituduh melanggengkan dan melembagakan rasisme.
Pada 2020, pelapor PBB soal rasisme, Tendayi Achiume, menemukan bahwa citra diri mengenai “toleransi” telah menghalangi penanganan diskriminasi dan rasisme sistemik di dalam kelembagaan Belanda.
Belanda telah dituduh melanggengkan dan melembagakan rasisme.
“Imigran diperlakukan sebagai warga negara kelas dua sejak awal,” kata Profesor Brandon.
“Itu kemudian diterjemahkan berupa posisi awal yang tidak setara. Kemudian rasisme sebagai pembenaran atas perbudakan, yang terlihat hari ini.”
“Kami suka mengatakan pada diri sendiri bahwa kami toleran,” kata seorang teman keturunan Belanda-Suriname kepada saya.
“Kami merayakan toleransi ini, tetapi toleransi pada daarnya menerima sesuatu yang tidak Anda sukai, dan itulah yang kami rasakan, kami tidak diterima, hanya ditoleransi.”
Sementara itu, Quinsy Gario menginisiasi gerakan “Pete Hitam adalah rasisme”, yang merujuk pada tradisi tahunan Sinterklaas beberapa tahun lalu, di mana orang kulit putih "dihitamkan" untuk mewakili karakter fiksi Zwarte Piet atau Black Pete.
Dia juga meyakini perlakuan seperti itu masih ada di kalangan pemerintahan Belanda.
Salah satunya terlihat dari skandal tunjangan pengasuhan anak di Belanda, ketika kantor pajak secara agresif menagih keluarga imigran yang tidak memiliki uang.
Begitu pula perwakilan korps diplomatik Belanda yang dia gambarkan sebagai "orang-orang pirang bermata biru".

Pengakuan dan pemulihan?

Bersamaan dengan permintaan maaf resmi, pemerintah Belanda telah berjanji untuk mengalokasikan €200 juta (Rp3,3 triliun) untuk membangun kesadaran soal ini, serta mengalokasikan €27 juta (Rp446,1 miliar) untuk museum perbudakan.
Sekitar 70% masyarakat Afrika-Karibia di Belanda, yang sebagian besar merupakan keturunan budak, meyakini bahwa permintaan maaf itu penting.
Namun secara lebih luas, hampir setengah orang Belanda tidak mendukung permintaan maaf. Hanya sekitar 38% yang mendukung, menurut jajak pendapat I&O Research.
Beberapa pihak mengaku khawatir soal biaya dari klaim pemulihan, sebagian lainnya berpendapat bahwa bukan mereka atau nenek moyang mereka yang memperbudak atau mengambil keuntungan dari kolonialisme, sehingga menolak konsep permintaan maaf kolektif.
Direktur Lembaga Nasional Pengkajian Perbudakan Belanda dan warisannya, Linda Nooitmeer, turut terlibat dalam perundingan soal permintaan maaf ini.
Dia mengatakan permintaan maaf memungkinkan orang untuk melihat ke masa depan dan mempertimbangkan langkah selanjutnya.
"Fokusnya harus pada bagaimana kita dapat memperbaiki, bagaimana kita mengembalikan semua yang telah rusak, tidak hanya di koloni tetapi juga di sini, di Belanda," kata dia.
Linda Nooitmeer terlibat dalam perundingan mengenai permintaan maaf Belanda.
Menurutnya, permintaan maaf yang sedang dibahas ini menunjukkan bahwa kehidupan minoritas sedang menjadi agenda utama Belanda.
“Ini berarti bahwa kami akhirnya terlihat. Masih banyak rasa sakit karena kami tidak terlihat. Ini adalah kesempatan untuk membuat diri kami tampak,” kata dia.
Seperti banyak negara Barat, partai-partai sayap kanan memiliki banyak pengikut di Belanda, dan partai-partai ini menentang permintaan maaf tersebut.
Thierry Baudet, pemimpin Forum untuk Partai Demokrasi, mengatakan bahwa pihaknya “tidak melihat ada manfaat dari itu”.

Pengakuan kerajaan

Selain permintaan maaf pemerintah, Raja Willlem-Alexander telah menugaskan penyelidikan independen terhadap peran keluarga kerajaan Belanda di era kolonial dan pascakolonial.
Perintah itu muncul ketika keluarga kerajaan lainnya juga menyadari peran mereka dalam perdagangan budak.
Di Inggris, Raja Charles III dan Pangeran Wales mengungkapkan kesedihan "pribadi" dan "mendalam" atas peran Inggris dalam perdagangan budak lintas Atlantik dalam pidato di Rwanda dan Jamaika awal tahun ini.
Permintaan maaf resmi dari Belanda dapat meningkatkan tekanan pada pihak lain untuk mengakui, dan memberikan kompensasi atas pelanggaran hak asasi manusia bersejarah dan kontemporer dengan cara yang lebih eksplisit dan nyata.
Quinsy Gario percaya bahwa permintaan maaf itu harus mencakup pemulihan dan kolaborasi.
"Permintaan maaf yang berharga berarti benar-benar mendengarkan, untuk merekonstruksi fungsi kerajaan, dan menyembuhkan teror psikologis dan ketidaksetaraan material. Pernyataan maaf itu baik, tetapi tindakannya harus menghasilkan perbaikan.”