Presiden Jokowi Terbitkan 4 Perpres IKN Nusantara yang Dipandang 'Tidak Etis'

Konten Media Partner
6 Mei 2022 7:26 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Aturan-aturan turunan terkait Ibu Kota Negara, IKN Nusantara dipandang "tidak etis" dan dikeluarkan "secara terburu-buru" saat Undang-undang No.3/2022 tentang IKN masih dipersengketakan di Mahkamah Konstitusi.
Hal itu diungkapkan pakar hukum dan pembela hak masyarakat adat yang mendesak pemerintah agar tidak langsung menerapkan aturan-aturan itu sebelum ada putusan dari Mahkamah Konstitusi. Mereka mengatakan masalah ini dapat merugikan masyarakat adat di lokasi IKN.
April lalu, pemerintah telah menerbitan aturan-aturan turunan terkait IKN, yaitu dua peraturan pemerintah dan empat peraturan presiden, untuk menindaklanjuti Undang-undang No.3/2022 tentang IKN. Salah satu aturan turunan itu adalah Perpres No. 65/2022 tentang Perolehan Tanah dan Pengelolaan Pertanahan di Ibu Kota Nusantara.
Namun, seperangkat aturan yang baru-baru ini dipublikasikan di laman Sekretariat Negara RI itu langsung menuai kritik. Ini terkait dengan peraturan induknya yang masih menjalani uji materi di MK sejak 24 April lalu.
Itu sebabnya pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti, mengatakan "secara etika penerbitan aturan-aturan turunan itu tidak bisa dibenarkan" selama UU-nya masih diperkarakan di MK.
Sedangkan Profesor Endriatno Soetarto, Guru Besar Agraria Institut Pertanian Bogor, mengingatkan bahwa "MK sudah mengeluarkan putusan nomor 35 tahun 2012" yang menegaskan hutan adat bukan hutan negara, sehingga ini harus "menjadi referensi penting" bagi pemerintah saat proyek sebesar IKN bersentuhan dengan masyarakat hukum adat.
Muhammad Arman, Direktur Advokasi Hukum dan Kebijakan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) meminta agar menunda dulu pemberlakuan semua aturan turunan IKN untuk menunjukkan "pemerintah punya iktikad baik dan sungguh-sungguh untuk mendengarkan aspirasi rakyat secara keseluruhan dan bagaimana masyarakat adat bisa berpartisipasi secara efektif."
Seorang warga adat Paser di Sepaku mengaku selama ini tidak diajak berkonsultasi terkait aturan-aturan IKN sehingga khawatir hak-haknya akan terabaikan dan masa depannya terancam.
Sedangkan Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, Wandy Tuturoong, menegaskan "pemerintah wajib melaksanakan undang-undang yang telah disahkan", namun akan menghormati keputusan MK soal uji materi UU IKN itu dan mengutarakan komitmen untuk tetap memperhatikan dan melindungi hak-hak masyarakat adat di lokasi IKN.

Aturan turunan dibuat 'terlalu terburu-buru', seperti undang-undangnya

Lokasi IKN Nusantara
Pakar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Bivitri Susanti, menilai penerbitan aturan-aturan turunan IKN dalam bentuk PP dan Perpres itu tidak etis karena MK masih menyidangkan uji materi UU No. 3/2022 sebagai peraturan induknya.
"Kita belum tahu hasil dari putusan Mahkamah Konstitusi nanti seperti apa. Padahal kalau peraturan sudah dikeluarkan pasti akan ada akibat hukum yang bisa terjadi, katakanlah seandainya sebulan lagi atau dua bulan lagi atau minggu depan kita mendengar putusan MK yang membatalkan keseluruhan atau pasal-pasal dari UU IKN itu, tergantung bunyi putusannya seperti apa," kata dia.
Menurutnya, seandainya pasal-pasal yang menjadi cantolan dari PP atau Perpres itu ikut dibatalkan, maka PP dan Perpres tersebut tidak punya cantolan lagi sehingga akan ikut batal. Tapi kalau misalnya pengadaan tanah dan lain sebagainya sudah terjadi, artinya ada akibat hukum yang sudah terjadi selama sebulan atau dua bulan sementara keputusan MK belum keluar.
"Nah itu akan sangat merepotkan di lapangan nantinya, karena nanti akan ada banyak sekali urusan hukum yang harus diselesaikan, baik melalui negosiasi ataupun pengadilan. Tetapi yang pasti dirugikan biasanya adalah warga negara biasa," ujarnya.
Bivitri juga mengatakan pembuatan aturan turunan IKN terlalu terburu-buru, sama dengan undang-undangnya karena seharusnya melewati proses yang melibatkan masyarakat yang terdampak dan mempunyai kepentingan, seperti yang diatur dalam UU 12/2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.
Dia juga menilai konsultasi publik oleh pemerintah untuk membahas peraturan soal IKN tidak berjalan optimal karena belum benar-benar mewakili masyarakat adat.
"Saya tahu ada konsultasi publik, tapi itu sifatnya webinar, seminar, atau pertemuan yang sifatnya sangat formal. Memang ada dialog dengan masyarakat adat, tetapi apakah dialog itu punya implikasi terhadap PP atau Perpresnya, yang saya kira tidak ada implikasinya. Dialognya ada tetapi tidak dituangkan secara teknis mengenai tanah milik warga adat tadi," ujarnya.

Warga adat tidak tahu aturan turunan

Salah satu aturan turunan IKN itu adalah Peraturan Presiden No. 65/2022 mengenai perolehan tanah dan pengelolaan pertanahan di Ibu Kota Nusantara. Aturan lengkapnya sudah diunggah ke laman Sekretariat Negara RI.
Pasal 3 ayat 3 dari Perpres itu menyebutkan bahwa "pelepasan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan dan memberikan perlindungan terhadap penguasaan tanah masyarakat, hak individu, atau hak komunal masyarakat adat."
Sabukdin, seorang tokoh warga adat Paser di Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara di Kalimantan Timur - yang menjadi lokasi titik nol ibu kota baru - mengaku tidak tahu-menahu mengenai adanya aturan-aturan turunan UU IKN. Dia pun mengaku belum diajak bicara dan dilibatkan sebagai warga setempat.
"Saya belum mengatakan setuju atau tidak setuju [proyek IKN] karena kita belum tahu persis peraturan dan undang-undang yang dibuat karena belum dijelaskan kepada kita. Mungkin saja ke para tokoh di Kalimantan, tapi itu orang-orang yang punya kepentingan, berpengaruh dan orang-orang sukses. Tapi kami yang tinggal di Titik Nol ini, yang kena dampak langsung, kita tidak pernah diajak koordinasi atau dijelaskan undang-undang itu," ujarnya.
Padahal, menurut dia, konsultasi pemerintah dengan warga adat setempat sangat penting sebelum membuat peraturan-peraturan mengenai IKN, apalagi bila menyangkut tanah yang menjadi tempat tinggal mereka.
"Saya yakin pemerintah ini tidak ada tujuannya menelantarkan atau menyusahkan masyarakat. Tujuannya kan untuk kemakmuran rakyat. Tapi kami belum mengerti, bagaimana ke depan kami belum tahu. Belum ada bimbingan, binaan, diajak konsultasi dan sebagainya belum ada," ujarnya.
Bila diajak berkonsultasi, dia ingin mengutarakan harapannya agar pemerintah menjamin keberlangsungan tempat tinggal dan pencaharian masyarakat setempat. Apalagi dia yakin banyak warga adat yang tidak memiliki dokumen sebagai bukti kepemilikan lahan mereka.
"Kita ini kan tidak semuanya punya surat, apalagi kami ini orang adat. Orang adat ini kebanyakan kurang mendapat perhatian pemerintah, bahkan tidak mempunyai surat-menyurat. Tapi kami di sini sudah puluhan tahun bahkan ada nenek moyang kami dari ratusan tahun yang lalu. Kami hanya berharap kepada pemerintah keberadaan kami diakui, dilindungi tempat kami tinggal dan bercocok tanam tidak diganggu," ujarnya.

Ditunda dulu pemberlakuannya

Muhammad Arman, Direktur Advokasi Hukum dan Kebijakan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), menyatakan seharusnya peraturan turunan IKN tidak boleh dikeluarkan terlebih dahulu saat proses hukum atas Undang-undangnya sedang berlangsung di MK. AMAN dan sejumlah kelompok masyarakat lainnya mengajukan judicial review atas UU IKN dan permohonan mereka mulai disidangkan pada 24 April lalu.
"Karena sudah terlanjur ada peraturan turunan dari UU IKN itu, maka jangan dulu diimplementasikan. Ayolah mari sama-sama kita menghargai proses hukum yang sedang berlangsung di MK hari ini. Jadi ditunda dulu keberlakuannya. Jangan diburu-buru seperti ini dibuat kasak-kusuk seperti berkejar-kejaran dengan waktu," ujar Arman.
Menurut dia UU IKN dan aturan-aturan turunannya lebih beraspek politis. "Kita tidak menemukan aspek keadilan, kepastian, dan kemanfaatkan. Jadi tiga azas ini seharusnya diperhatikan ketika membuat suatu regulasi. Dan masyarakat adat seharusnya dinyatakan sebagai subjek yang didengarkan terlebih dahulu dan prosesnya sedang berlangsung jadi mari kita hargai," lanjutnya.
Profesor Endriatno Soetarto, Guru Besar Agraria IPB, mengingatkan bahwa "MK sudah mengeluarkan putusan nomor 35 tahun 2012" yang menegaskan hutan adat bukan hutan negara, sehingga ini harus "menjadi referensi penting" bagi pemerintah saat menggarap proyek sebesar IKN bersentuhan dengan masyarakat hukum adat.
"Kan sudah ada keputusan MK juga nomor 35 tahun 2012 tentang masyarakat hukum adat yang mestinya juga menjadi referensi penting ketika suatu pekerjaan atau suatu proyek bersentuhan dengan masyarakat hukum adat. Jadi seberapa jauh sebetulnya selama ini keputusan MK itu sudah menjadi komitmen pemerintah khususnya dalam hal ini untuk dieksekusi di lapangan. Apalagi menyangkut pekerjaan besar yang menyangkut eksistensi masyarakat hukum adat," ujarnya.
Dia pun khawatir bila nantinya banyak masalah yang bersinggungan atau berbenturan mengingat proyek IKN ini berjalan agak cepat, yang ditetapkan dan dieksekusi di lapangan dalam waktu relatif cepat pula.

Dianggap 'persepsi, bukan fakta hukum'

Menanggapi kritik bahwa penerbitan aturan-aturan turunan IKN dinilai tidak etis dan terburu-buru saat undang-undangnya masih diperkarakan di MK, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, Wandy Tuturoong, menganggapnya sebagai 'persepsi, dan bukan fakta hukum.' Dia menyatakan pemerintah akan menghormati putusan MK terkait uji materi UU itu.
"Kalau sudah ada undang-undangnya, pemerintah wajib patuh terhadap undang-undang kan. Kalau proses judicial review kan kita menunggu keputusan MK-nya. Kalau sudah ada keputusannya, kita akan hormati keputusan itu," ujar Wandy.
Dia mengungkapkan bahwa pemerintah selama ini terus berkonsultasi dengan masyarakat adat setempat di lokasi IKN, termasuk mendengarkan aspirasi mereka dan berkomitmen melindungi hak-hak mereka.
Wandy juga mengatakan bahwa banyak masyarakat adat memang tidak punya kelengkapan administratif, seperti surat-surat tanah mereka. Maka kantor staf presiden bekerja sama dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional membentuk tim asistensi.
"Nah tentu saja harus diverifikasi bersama. Jadi tim asistensi itu tentu harus mempelajari sejarahnya, wilayahnya di mana, dan baru kemudian baru bisa diformalkan dan dihormati hak-haknya," ujar Wandy.