Program Antiradikalisme di Kampus Disebut Hanya Seremonial, Tidak Mengena

Konten Media Partner
30 Mei 2022 13:23 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Program Antiradikalisme di Kampus Disebut Hanya Seremonial, Tidak Mengena
zoom-in-whitePerbesar
Seorang mahasiswa di Malang ditangkap Densus 88 Antiteror pekan lalu. Pendidikan antiradikalisme yang digelar untuk mahasiswa baru dianggap 'tidak mengena' dan 'tidak efektif'.
Senin (23/05), telepon seluler Makky Kriswanto, Ketua RW 6 Kelurahan Dinoyo, Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang berdering.
Di ujung telepon, seseorang yang mengaku dari Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror memintanya datang ke sebuah rumah kontrakan di wilayahnya.
Sesampainya di rumah yang dimaksud, Makky mengatakan, sejumlah polisi bersenjata laras panjang telah berjaga. Polisi juga menutup pintu masuk ke kawasan perumahan.
"Saat itu jam satu siang. Saya diminta polisi menyaksikan penyitaan barang bukti di kamar IA," katanya kepada jurnalis.
IA, 22 tahun, yang menghuni kamar kos tersebut, adalah mahasiswa semester enam jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Brawijaya (UB).
Dia diringkus oleh Densus 88 Antiteror sebagai terduga pelaku terorisme.
"Terduga sudah tidak ada, sudah ditangkap polisi. Saya diminta menyaksikan penggeledahan," kata Makky.
Kamar kos itu berukuran sekitar 2,5 meter kali 2,5 meter. Di dinding kamar, menempel sebuah bendera berwarna dasar hitam di tengah berwarna putih dengan beraksara arab bertuliskan kalimat tauhid.
Dua helai bendera serupa ditemukan di dalam lemari, beserta pakaian taktikal bermotif loreng. Polisi juga menemukan sebuah senapan laras panjang, busur serta beberapa anak panah.
"Tempat peluru rusak. Peluru tidak ada. Senapan plastik atau senapan beneran, saya tidak tahu," ujar Makky.
Dari dalam kamar kos, polisi menyita sejumlah buku propaganda, kitab, flash disk, paspor, dan komputer jinjing. Penangkapan dan penggeledahan berlangsung cepat, sekitar satu jam.
"Saya kaget, ini pelajaran bagi saya, paling tidak punya data anak kos di RW sini," tukas Makky kepada wartawan Eko Widianto yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Mabes Polri Brigjen Ahmad Ramadhan dalam konferensi pers menyampaikan IA diduga berperan mengumpulkan dana untuk membantu Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) di Indonesia.
Dia juga diduga mengelola media sosial untuk menyebarkan materi propaganda ISIS dan tindak pidana terorisme.
"Ia berkomunikasi intens dengan tersangka MR, anggota JAD [Jamaah Ansharut Daulah]. Mereka merencanakan amaliah [aksi terorisme] di fasilitas umum dan kantor polisi," katanya Selasa (24/05).
IA ditangkap berdasarkan bukti dan keterangan dari MR, tersangka terorisme yang sudah terlebih dahulu ditangkap. Penyidik Densus 88 Antiteror, kata Ahmad, kini tengah menyelidiki dan mengembangkan kasus tersebut.

Ekstrem di media sosial

Pihak kampus mengatakan telah memantau IA sejak awal masuk kuliah, salah satunya melalui media sosial miliknya.
Di Instagram, IA disebut banyak menyampaikan narasi kebencian. Unggahannya dipenuhi dengan propaganda ISIS dan sentimen negatif terhadap Syiah dan Nahdlatul Ulama, sebut Yusli Effendi, dosen Hubungan Internasional FISIP Universitas Brawijaya.
Aktivitasnya ini membuat IA masuk radar pengawasan Yusli. Dia dan dua dosen lainnya pernah mengajaknya berdialog dan berkomunikasi, yang sebut Yusli, dijawab dengan konfrontatif.
"Ada yang salah dengan media sosial saya?" kata Yusli menirukan pernyataan IA.
Di kampus, IA disebut tak aktif dalam organisasi intra maupun ekstrakurikuler.
Hanifah Rahmati, aktivis mahasiswa yang bergabung dalam Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), mengaku terkejut dengan penangkapan IA.
"Kaget, mahasiswa HI terlibat terorisme. Selama ini tak ada paham radikalisme di dalam kampus," katanya, menambahkan bahwa selama ini ia juga tak menemukan kelompok diskusi ekstrem di UB.
Meski begitu, dalam wawancara dengan sebuah media lokal, seorang teman IA menyebutnya kritis dan 'tertarik dengan tema Timur Tengah'.
Yusli Effendi, dosen Universitas Brawijaya beranggapan, IA telah memiliki pandangan radikal sejak SMA.
"Belum tentu terpapar di kampus, banyak kelompok radikal yang menyasar siswa sejak SMP dan SMA. Tak bisa hanya menyalahkan UB," katanya.
Pada 2018, BNPT merinci sejumlah kampus yang dicurigai menjadi tempat persemaian bibit radikalisme, yaitu Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Diponegoro (Undip), hingga Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Universitas Airlangga (Unair), dan Universitas Brawijaya (UB).
"PTN itu menurut saya sudah hampir kena semua [paham radikalisme], dari Jakarta ke Jawa Timur itu sudah hampir kena semua, tapi tebal-tipisnya bervariasi," kata Direktur Penanggulangan BNPT kala itu, Brigjen Pol Hamli.
Survei terbaru yang dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pada 2020 menemukan adanya potensi radikalisme pada generasi muda, yakni generasi Z sebanyak 12,7%; millennial sebesar 12,4%; dan generasi X sebesar 11,7%.
"Yang disasar ini anak muda, jadi bukan lagi yang tua-tua. Bagi [kelompok teroris] yang tua itu masa lalu, tapi masa depan mereka adalah generasi muda," kata Kepala BNPT, Komisaris Jenderal Polisi Boy Rafli Amar, seperti dikutip dari Antara.
BBC Indonesia juga pernah menuliskan kesaksian mahasiswa yang pernah mengikuti proses perekrutan kelompok Negara Islam Indonesia (NII) dan mahasiswi yang nyaris terjerumus dalam kegiatan kelompok NII, cikal bakal kelompok teroris lain seperti Jamaah Islamiyah (JI) dan JAD.
Selengkapnya dapat dibaca di:

'Kurang efektif' dan 'tidak mengena'

Di Universitas Brawijaya sendiri, setiap mahasiswa baru harus menjalani proses orientasi, yang di dalamnya ditanamkan materi bela negara untuk menghindari ekstremisme.
Kegiatan ini telah berlangsung sejak 2020, menurut Wakil Rektor III UB Bidang Kemahasiswaan Profesor Abdul Hakim.
"Kami selalu mengundang BNPT untuk memberi ceramah di depan mahasiswa baru. Termasuk tahun ini hingga di fakultas," katanya.
Selain itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan setiap tahun menyelenggarakan pembinaan mental kebangsaan, yang sekarang berubah menjadi program bela negara.
"Jadi sebenarnya UB sudah melaksanakan," imbuh Abdul.
Hanifah Rahmati yang merupakan mahasiswa angkatan 2019, mengaku kegiatan ceramah dan diskusi ini cukup efektif memberi nilai antiradikalisme untuk dirinya. "Tapi, kembali ke individu masing-masing."
Namun bagi mahasiswa yang sudah terpapar seperti IA, menurut Yusli, proses deradikalisasi semacam itu tidak akan berhasil.
"Disampaikan kepada mahasiswa baru, bela negara dan cinta negara. Dilakukan secara bersamaan selama dua hari," ujar Yusli seraya menambahkan, "Efektivitasnya dipertanyakan."
Model pengajaran dengan cara seminar dalam kelas besar ini, menurut staf Universitas Brawijaya lainnya, juga dirasakan kurang tepat.
"Selama ini, penanaman karakter hanya seremonial, mengundang TNI. Tidak mengena," ujar Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pengembangan Kepribadian Mahasiswa Mohamad Anas.
Anas bersama sejumlah dosen menginisiasi moral camp sejak 2017 untuk merawat nasionalisme dan toleransi. Dalam program ini, 60 mahasiswa tinggal selama tiga hari di rumah warga yang memiliki agama dan keyakinan berbeda, sehingga terjadi dialog lintas iman.
Usai mengikuti moral camp, mahasiswa diminta menulis esai dan poster. Testimoni mahasiswa, katanya, yang awalnya tertutup kini berubah dan memiliki pola pikir yang terbuka.
"Tahun ini kami membenahi modulnya," kata Anas.
Menurut hasil riset pemetaan karakter toleransi mahasiswa Universitas Brawijaya pada Senin (23/05), Anas mengatakan, 10,33% mahasiswa masuk dalam kategori rendah, 4,03% tinggi, dan 85,64% sedang.
Ini artinya, sebut Anas, mahasiswa UB secara konsep memahami, menghormati, dan menghargai toleransi. Tapi dalam bersikap atas minoritas agama, etnis, belum memiliki ketegasan bersikap.
"Sikapnya, sedang. Pemahaman konsep bagus," kata Anas.
Pasca penangkapan IA, Pimpinan Universitas Brawijaya mewajibkan setiap kegiatan mahasiswa mendapat izin dari rektorat sampai fakultas. Kampus, kata Profesor Abdul Hakim, tak mampu mengawasi satu per satu mahasiswa, lantaran total mahasiswa Universitas Brawijaya kini sebanyak 60 ribu jiwa.
"Kami akan terus berkoordinasi dengan militer dan kepolisian untuk tukar menukar informasi kegiatan civitas akademika. Baik di dalam maupun di luar kampus. Sebagai upaya pencegahan dini," kata dia.
--
Eko Widianto, wartawan di Malang, Jawa Timur, berkontribusi untuk liputan ini.