Soal Kasus Dugaan Korupsi Satelit, Aktivis: Personel Militer Juga Harus Diusut

Konten Media Partner
21 Januari 2022 16:01 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Keputusan Kejaksaan Agung yang hanya mengusut pihak sipil dalam kasus dugaan korupsi pengadaan satelit Kementerian Pertahanan, dikritik kelompok anti korupsi di Indonesia.
Sekjen Transparancy International Indonesia, Danang Widoyoko, mengatakan kasus pidana yang terjadi bukan di masa perang seharusnya ditangani di peradilan umum.
"Pidana yang di luar perang seharusnya masuk peradilan umum. Sipil juga kena, masa militer nggak kena? Itu diskriminatif," kata Danang.
Jaksa Agung, ST Burhanuddin, menegaskan pihaknya hanya fokus menyelidiki keterlibatan dari sipil dan swasta. Namun ia memastikan, apabila ditemukan ada keterlibatan oknum TNI dalam dugaan korupsi ini, akan menyerahkannya ke polisi militer.
"Untuk tahap apakah militer terlibat kami memerlukan tahap-tahap koordinasi dengan polisi militer dan kewenangannya ada pada polisi militer. Kecuali nanti ditentukan lain pada saat koneksitas," kata Burhanuddin di Kantor Kejaksaan Agung RI, Jakarta, Rabu (19/01).
Pakar hukum pidana dari Universitas Parahyangan, Agustinus Pohan, sepakat bahwa jalan tengah untuk mengadili militer dalam dugaan praktik pidana umum adalah melalui pengadilan koneksitas.
Pengadilan koneksitas membuka ruang untuk menghukum aparat militer yang terlibat dalam kejahatan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Baik Kementerian Pertahanan maupun Kementerian Politik, Hukum, dan HAM belum merespons permintaan wawancara BBC News Indonesia.

Kejagung sidik tersangka sipil

Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin dan Menkopolhukam Mahfud MD pada 2021
Dalam keterangan kepada pers, Rabu (19/01), Jaksa Agung ST Burhanuddin mengatakan, "perkara tindak pidana korupsi proyek pengadaan satelit slot orbit 123 Bujur Timur pada Kementerian Pertahanan 2015-2021, kami melakukan penyidikan hanya terhadap yang tersangkanya sipil, tidak pada militer."
Walaupun demikian, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Febrie Ardiansyah mengatakan, pihaknya akan saling bekerja sama dengan TNI.
"Sedangkan pihak militer kami akan serahkan ke Puspom, melalui Jampidmil seperti yang saya sampaikan sejak awal. Kita akan terus koordinasi dalam progres penyidikannya. Termasuk nanti ekspos atau gelar perkara yang akan kita lakukan setelah hasil penyidikan kita lihat cukup untuk bisa menentukan tersangka," kata Febrie.
Kasus dugaan korupsi pengadaan proyek satelit di Kemenhan ini mencuat usai diungkapkan oleh Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD, beberapa waktu lalu.
Mahfud mengatakan, mengetahui kasus ini saat Indonesia digugat oleh London Court of International Arbitration karena Kemenhan tidak membayar sewa satelit sesuai kesepakatan.
Kasus dugaan korupsi satelit yang diduga berlangsung sejak 2015 hingga 2021 ini ditaksir merugikan negara hingga Rp515 Miliar.
Kementerian Pertahanan meminta Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk mengelola slot satelit 123 pada 2015, dan menyewa satelit yang pembayarannya belum dilunasi hingga 2017.
Selain itu Kemenhan juga menyepakati kontrak dengan perusahaan operator satelit yang berakhir denda yang harus dibayar pemerintah Indonesia.

Upaya yang diskriminatif

Pengamat anti korupsi, Danang Widoyoko dari Sekretaris Jenderal Transparency International mengkritik langkah Kejagung yang hanya akan melakukan pengusutan terhadap pihak sipil.
"Harusnya peradilan militer terbatas pada pidana selama masa perang. Sementara pidana yang di luar perang, seperti korupsi, harusnya masuk ke peradilan umum. Menurut saya perlu didorong upaya reformasi itu karena ini bukan yang pertama.
"Kalau yang sipil kena, masa yang TNI nggak kena? Itu kan diskriminatif. Bahkan, KPK tidak bisa menangani kasus yang melibatkan militer," kata Danang.
Danang menambahkan, pengadilan militer diterapkan dalam situasi yang berhubungan dengan perang, seperti dugaan pelanggaran yang dilakukan tentara dengan membunuh non-kombatan, atau dugaan pelanggaran HAM oleh tentara saat konflik di Papua. " Kalau di luar itu seharusnya pengadilan umum," kata Danang.
Danang menambahkan, pembedaan dalam penanganan kasus korupsi yang diduga melibatkan sipil dan militer pernah terjadi, dan dapat dilihat dalam kasus pengadaan helikopter Augusta Westland 101.
Dalam kasus itu, perkara sipil ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi yang hingga kini masih dalam penyidikan.
Sementara, Puspom TNI telah menghentikan penyidikan (SP3) terhadap lima tersangka anggota militer dalam kasus pengadaan helikopter tersebut.
"Seperti pada kasus heli kemarin... tidak ada akuntabilitasnya [terhadap publik]. Apalagi kalau menyangkut petinggi militer, praktis akan sulit situasinya," kata Danang.
Danang berharap agar penyidikan dilakukan oleh Kejagung dapat mengungkap pihak-pihak yang terlibat dalam pengadaan satelit itu, sehingga memberi tekanan pada Panglima TNI untuk juga melakukan pengusutan terhadap dugaan anggotanya yang terlibat.
Sebelumnya, Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa mengatakan ada indikasi keterlibatan personel TNI dalam proyek satelit komunikasi pertahanan di Kementerian Pertahanan (Kemenhan).
Andika mengaku sudah dipanggil Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD untuk diinformasikan soal adanya keterlibatan oknum TNI itu.
"Beliau (Mahfud) menyampaikan bahwa proses hukum ini segera akan dimulai dan memang beliau menyebut ada indikasi awal, indikasi awal beberapa personel TNI yang masuk dalam proses hukum," kata Andika di Kejaksaan Agung, Jakarta, Jumat (14/01).

Jalur pengadilan koneksitas

Pakar hukum pidana dari Universitas Parahyangan, Agustinus Pohan, mengatakan, pemisahaan peradilan militer dan sipil dalam perkara pidana umum terjadi karena "tidak ada larangan" untuk melakukan itu dalam undang-undang.
Namun upaya pemisahan tersebut berpotensi menimbulkan risiko.
"Ini kan satu kejahatan yang dilakukan bersama-sama. Bagaimana kalau di pengadilan satu dibebaskan, di pengadilan lain terbukti. Bagaimana kalau di penyidik sipil atau militer menerbitkan SP3, sementara satunya lanjut ke pengadilan. Dan ini pernah terjadi," kata Agustinus.
Oleh karena itu, kata Agustinus, perkara bersama yang melibatkan sipil dan militer harus disatukan agar memiliki keadilan dan kepastian hukum yang sama.
"Contoh, masa tentara KDRT di rumah diadili di pengadilan militer? Kalau tentara desersi layak di pengadilan militer," katanya.
Jalan tengah untuk mengadili militer dalam dugaan praktik pidana umum adalah melalui peradilan koneksitas.
Pengadilan koneksitas membuka ruang untuk menghukum aparat militer yang terlibat dalam kejahatan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
"Siapa yang akan menangani nanti akan dibentuk tim kerja sama penyidik dari militer dan sipil, bekerja bersama-sama untuk melakukan penyidikan hingga penuntutan.
"Lalu, akan ditentukan akan diarahkan ke pengadilan militer, atau ke pengadilan sipil, tergantung pada titik berat kerugian. Kalau titik berat ada pada sipil, seperti korupsi, maka itu wilayah sipil dan hakimnya ada dari umum dan hakim milter," katanya.