Tito Klaim Penunjukan Sudah Demokratis, Tapi Mengapa Dituding Tak Transparan?

Konten Media Partner
12 Mei 2022 13:22 WIB
·
waktu baca 11 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tito Klaim Penunjukan Sudah Demokratis, Tapi Mengapa Dituding Tak Transparan?
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian melantik lima penjabat (Pj) gubernur dari lima provinsi pada Kamis (12/05), untuk menggantikan gubernur terpilih yang menjabat sejak 2017. Dia mengatakan penunjukan Pj gubernur ini sudah melalui "mekanisme yang demokratis".
Sebelumnya, Persatuan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem) mengkhawatirkan penunjukan 271 calon penjabat kepala daerah di seluruh Indonesia, termasuk lima Pj gubernur yang baru dilantik hari ini, dikhawatirkan berjalan "tidak transparan dan tidak demokratis".
Apalagi menjelang berakhirnya masa jabatan 49 kepala daerah -lima gubernur dan 44 bupati serta wali kota— pada Mei ini, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) masih belum mengumumkan ke publik nama calon-calon penjabatnya dan belum membentuk aturan pelaksana mengenai mekanisme pengisian penjabat calon sesuai dengan amanat Mahkamah Konstitusi (MK).
Penunjukan calon penjabat itu juga dikhawatirkan "rentan dieksploitasi" demi kepentingan politik menjelang Pemilu dan Pilkada serentak 2024.
Tito mengatakan Kemendagri telah melakukan penjaringan para calon dengan mempertimbangkan masukan dari tokoh-tokoh masyarakat setempat sampai suara lembaga-lembaga, seperti Majelis Rakyat Papua Barat untuk provinsi Papua Barat, misalnya.
"Kemudian, usulan itu kami sampaikan kepada Bapak Presiden dan presiden melaksanakan sidang yang dipimpin langsung oleh presiden dan diikuti oleh sejumlah menteri dan kepala lembaga. Terjadi mekanisme yang cukup demokratis dalam sidang tersebut. Dari hasil penilaian sidang, beberapa calon diajukan, bapak-bapak telah terpilih," kata Tito dalam acara di Kantor Kemendagri, Kamis (12/05).
Nama lima Pj gubernur pun baru diketahui hari ini saat mereka dilantik. Mereka adalah Sekretaris Daerah Banten Al Muktabar sebagai Pj Gubernur Banten, Dirjen Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin sebagai Pj Gubernur Kepulauan Bangka Belitung, dan Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Akmal Malik sebagai Pj Gubernur Sulawesi Barat.
Ada juga Staf Ahli Bidang Budaya Sportivitas Kemenpora Hamka Hendra Noer yang dilantik sebagai Pj Gubernur Gorontalo, dan Deputi Bidang Pengelolaan Potensi Perbatasan BNPP Kemendagri Paulus Waterpauw sebagai Pj Gubernur Papua Barat.
Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak pada 27 November 2024, membuat 271 kursi kepala daerah akan kosong karena masa jabatan mereka berakhir. Rinciannya, 101 kepala daerah pada 2022 dan 170 daerah pada 2023.
Posisi mereka akan digantikan oleh penjabat kepala daerah yang nama-namanya diusulkan oleh Kementerian Dalam Negeri dan ditunjuk oleh Presiden Joko Widodo.
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraeni menilai, dengan jumlah yang masif dan masa tugas para penjabat yang bisa mencapai 2,5 tahun, tidak semestinya para penjabat ditunjuk secara "eksklusif" dan "tertutup" oleh pemerintah.

Tiga putusan MK

Tito Karnavian mengatakan proses pemilihan Pj gubernur yang sudah dilantik, dilakukan sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
"Untuk itu, sesuai undang-undang, kekosongan diisi oleh penjabat dan penjabat ini, sudah disampaikan dalam undang-undang, adalah pejabat pimpinan tinggi madya di lingkungan eselon I," kata Tito.
Namun, beberapa waktu lalu, Undang-undang Pilkada yang berkaitan masa transisi menuju Pilkada serentak nasional 2024, digugat ke MK.
Hasilnya, MK telah mengeluarkan tiga putusan terkait penjabat kepala daerah, yakni Nomor 67 Tahun 2021, Nomor 15 Tahun 2022, serta Nomor 18 Tahun 2022.
Meski ketiga amar putusan MK menolak permohonan pengugat untuk seluruhnya, namun MK membuat sejumlah batasan terkait pengisian penjabat kepala daerah dalam pertimbangan hukumnya.
Pada pertimbangan hukum putusan 67/2021 misalnya, MK menyatakan pemerintah perlu mempertimbangkan untuk menerbitkan aturan pelaksana dari Pasal 201 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang berisi tata cara mengisi kekosongan jabatan kepala daerah.
Dengan aturan turunan tersebut, maka akan tersedia mekanisme dan persyaratan yang terukur serta jelas, sehingga pengisian posisi penjabat tidak mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi.
Merujuk pada pasal 201 UU 10/2016 ayat 10 dan 11, kekosongan jabatan gubernur dapat diisi oleh penjabat yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya. Sedangkan untuk mengisi kekosongan jabatan bupati atau wali kota, dapat diisi oleh penjabat dari jabatan pimpinan tertinggi pratama.
Prosesnya akan dilakukan Kemendagri dengan memberi tiga nama calon penjabat gubernur kepada presiden, dan Presiden Joko Widodo lah yang akan memilih penjabat gubernur. Sedangkan untuk penjabat bupati dan wali kota akan dipilih langsung oleh Kemendagri berdasarkan usulan dari gubernur.
Melalui amar putusan 15/2022, MK menolak gugatan uji materi atas pasal tersebut yang menganggap bahwa penunjukan itu tidak sesuai dengan prinsip dan nilai-nilai demokratis dalam konteks transisi menjelang Pilkada serentak.
Meski demikian, MK memberi sejumlah panduan terkait penunjukan penjabat bahwa prajurit TNI dan personel Polri aktif tidak boleh menjadi penjabat kepala daerah, kecuali telah pensiun dan mengundurkan diri.
Namun, Pakar Hukum Tata Negara Feri Amsari menilai putusan MK tersebut tidak cukup tegas untuk mencegah implikasi politis yang timbul pada masa transisi ini.
Ditambah lagi ada keengganan Kemendagri untuk menindaklanjuti amanat tersebut, sehingga dia menganggap penunjukan penjabat kepala daerah nantinya "tidak konstitusional" dan rentan digugat.
"Apalagi [penunjukan] tidak dilakukan secara transparan, tidak ada kejelasan aturan dan didasarkan pada aturan yang dibuat oleh Kemendagri, ya tidak demokratis," kata Feri.

Kemendagri harus menindaklanjuti perintah MK

Sebelum pelantikan lima Pj gubernur hari ini, anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraeni mendesak Kemendagri menindaklanjuti perintah MK. Menurut dia, Kemendagri harus membentuk aturan pelaksana mengenai mekanisme pengisian penjabat calon, demi menjamin penunjukan calon penjabat berlangsung secara transparan dan demokratis.
Penerbitan aturan itu dinilai penting sebagai penegas komitmen pemerintah bahwa penunjukannya transparan, akuntabel, dan tidak disisipi kepentingan politik praktis menjelang tahun pemilu.
"MK itu memberikan solusi jalan tengah yang bisa mereduksi anasir negatif terkait pengisian penjabat, sehingga semua pihak yakin bahwa penjabat (yang ditunjuk) tidak punya tendensi politis dan transaksional," kata Titi kepada BBC News Indonesia, Senin (9/5).
"Justru kelambanan, keengganan dan sikap seolah menolak Kemendagri itu bisa memperkuat spekulasi dan tendensi atau dugaan-dugaan adanya kepentingan politik di balik pengisian jabatan ini.
Desakan untuk menindaklanjuti amanat MK itu juga datang dari mantan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Soni Sumarsono.
Sumarsono mengaku memahami kekhawatiran publik akan proses penunjukan para penjabat yang dinilai tidak transparan dan rentan dipolitisasi, namun bagaimana pun dia mengatakan bahwa penunjukan itu juga merupakan hak prerogatif Presiden Joko Widodo.
"Oleh karena itu diperkuat oleh MK, dibutuhkan aturan pemerintah sebagai acuan untuk mengurangi kecurigaan [publik]. Kalau soal kewenangan jangan diganggu gugat, itu ada pada presiden dan prerogatif. Tidak ada yang mengatur PJ harus diatur secara demokratis," tutur Sumarsono.
Sedangkan Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Guspardi Daus menyatakan penunjukan calon penjabat kepala daerah ini akan menjadi ujian bagi Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian untuk memilih figur yang profesional di tengah kuatnya lobi-lobi dan tekanan politik.
"Jangan jadikan ini ladang bagi partai politik mana pun untuk dijadikan sebagai tim sukses," ujar Guspardi.

Rentan dipolitisasi dan rawan lobi transaksional

Titi Anggraeni dari Perludem mengkhawatirkan bahwa penunjukan penjabat yang tidak transparan dan tidak demokratis akan memberi ruang bagi kepentingan-kepentingan politik dari pusat ke level daerah.
Dengan berakhirnya masa jabatan 271 kepala daerah sebelum Pilkada digelar, Titi mengatakan itu berarti hampir setengah kursi kepala daerah di Indonesia -baik tingkat provinsi maupun kabupaten dan kota di Indonesia—akan diisi oleh aparatur sipil negara (ASN).
Persoalannya, kata dia, besar peluang terjadi pelanggaran netralitas ASN hingga menjadi alat politik untuk kepentingan pemilu.
Apalagi sejumlah daerah yang masa jabatannya berakhir sebelum Pilkada digelar tergolong sebagai 'lumbung suara' seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur yang masa jabatan kepala daerahnya akan berakhir pada 2023. Sedangkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan akan mengakhiri masa jabatannya pada Oktober 2022.
"Karena kepemimpinan daerah itu tidak dipegang oleh kepemimpinan hasil pilkada dan kita masih berhadapan dengan kasus-kasus ketidaknetralan birokrasi, kita berhadap birokrasi yang ditunjuk menjadi penjabat itu tidak rentan menjadi objek politik dari kepentingan pemenangan Pemilu 2024," ujar Titi.
Dia merujuk pada data Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) yang mencatat telah terjadi 2.007 pelanggaran netralitas ASN selama penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020.
Selain itu, survei KASN terhadap 10.617 responden sepanjang 1-30 Juli 2021 menunjukkan bahwa 50,16% responden menginginkan agar hak politik ASN dicabut.
"Yang membedakan kalau kepala daerah definitif [yang terpilih melalui Pilkada] dia memiliki kekuatan politik di dalamnya, sehingga kontrol politik berjalan di antara kekuatan politik yang ada. Sementara kalau pengisian penjabat oleh birokrat, birokrat kita itu masih rentan dieksploitasi secara politis," jelas Titi.
Selain itu, Titi menyatakan proses penunjukan penjabat kepala daerah yang tidak transparan juga rentan memunculkan lobi-lobi transaksional.
Upaya itu telah terlihat dari pengakuan sejumlah anggota DPR yang menjadi sasaran bujuk rayu para ASN yang mengincar posisi sebagai penjabat. Hal itu juga diakui oleh politisi PAN Guspardi Gaus.
"Itu adalah sebuah realitas, ada upaya-upaya dari ASN yang punya kesempatan untuk itu melobi para politisi, lalu politisi berupaya memfasilitasi."
"Yang paling penting, bagaimana Mendagri tidak tergiur, tidak mau dipaksa dan tidak mau ditekan," kata Guspardi ketika dihubungi.
Kekhawatiran serupa juga disampaikan oleh Feri Amsari, yang menyatakan bahwa kepala daerah berpotensi menjadi "perpanjangan tangan" dari proses politik di daerah.
"Dengan adanya kepala daerah, bukan tidak mungkin partai atau pemerintah yang berkuasa memerlukan perpanjangan tangan di masing-masing daerah. Belum lagi partai politik, kalau ada penjabatnya yang menjadi kepala daerah akan sangat membantu mereka," tutur Feri.

Potensi penunjukan TNI-Polri aktif

Selain proses penunjukannya yang dianggap tidak transparan dan demokratis, Titi Anggraeni dan Guspardi Gaus menilai perlu ada ketegasan bahwa Mendagri Tito Karnavian -yang merupakan purnawirawan dan mantan Kapolri—tidak mengusulkan ataupun menunjuk perwira aktif TNI-Polri sebagai penjabat kepala daerah.
Sebab sebelumnya, penunjukan pejabat TNI-Polri aktif pernah terjadi pada 2018. Saat itu, Komisaris Jenderal Mochamad Iriawan yang menjabat sebagai Asisten Operasional Kapolri ditunjuk oleh Presiden Jokowi sebagai Pejabat (Pj) Gubernur Jawa Barat menggantikan Ahmad Heryawan yang telah usai masa tugasnya.
Oleh sebab itu, aturan teknis penting untuk menegaskan komitmen pemerintah agar sejalan dengan amanat MK terkait poin ini.
"Aturan itu akan menjadi penegasan. Jangan diseret-seret TNI-Polri untuk mengisi jabatan kepala daerah yang masa jabatannya sangat panjang ini. Tujuan reformasi adalah mengembalikan jabatan bagi masyarakat sipil," kata Guspardi.

Kewenangan yang terbatas perlambat birokrasi

Implikasi lain dari kekosongan hukum kepala daerah definitif, menurut Soni Sumarsono, adalah keterbatasan wewenang yang berpotensi memperlambat kinerja.
Sebagai mantan Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri, Soni Sumarsono pernah ditunjuk sebagai Pelaksana tugas Gubernur DKI Jakarta hingga Penjabat Gubernur Sulawesi Utara.
Menurut Soni, penjabat kepala daerah tidak bisa memutuskan sendiri kebijakan-kebijakan strategis seperti perubahan anggaran atau menerbitkan perizinan baru.
Dia mencontohkan ketika butuh realokasi anggaran untuk penanganan kebakaran hutan di Gunung Klabat.
"Kita butuh merevisi APBD untuk menanggulangi kebakaran hutan, kita harus lapor Kemendagri karena implikasinya perubahan anggaran yang seharusnya untuk pembangunan jadi untuk penanggulangan kebakaran," jelas Soni ketika dihubungi BBC News Indonesia.
Pada saat itu, ketika pengisian penjabat kepala daerah hanya terjadi pada satu-dua provinsi akibat kasus-kasus yang sifatnya khusus, Soni mengatakan kebutuhan untuk melapor dan berkoordinasi itu tidak terlalu menjadi masalah.
Tetapi dalam konteks transisi menuju Pilkada 2024 ini, Soni khawatir masifnya jumlah penjabat kepala daerah yang kewenangannya terbatas itu akan memperlambat pengambilan keputusan dan memperpanjang alur birokrasi.
"Bebannya [di Kemendagri] akan berkali-kali lipat dan kalau perizinan lama tentu akan timbul masalah performance. Apalagi kalau di daerah [bupati dan wali kota] butuh persetujuan akan hal strategis dari gubernur, sementara gubernurnya juga berstatus sebagai penjabat," jelas dia.
Sementara itu, Feri Amsari menilai keterbatasan kewenangan penjabat dalam hal-hal strategis itu akan membuat alat kendali beralih ke Kementerian Dalam Negeri. Alih-alih memperkuat otonomi, hal ini justru membuat kendali kepemimpinan di daerah menjadi sentralistik.
"Harusnya itu dihindari. Mendagri semestinya mengkoordinasikan tugas dan kewenangan pemerintah pusat dan daerah, bukan sebagai alat kendali seperti masa Orde Baru terhadap kepala daerah," kata Feri.

Pelibatan masyarakat

Titi Anggraeni mengatakan pemerintah seharusnya menyediakan ruang kepada masyarakat dan pemangku kepentingan daerah untuk memberi masukan mengenai kriteria maupun nama calon penjabat kepala daerah.
Dengan demikian penjabat yang masa jabatannya hampir setengah periode bisa diterima oleh masyarakat setempat dan bekerja secara optimal.
Perludem menawarkan opsi agar penjabat kepala daerah diisi langsung oleh Sekretaris Daerah, dengan demikian tidak mengganggu pelaksanaan tugas dan fungsi pemerintah daerah melaksanakan pembangunan dan pelayanan publik.
"Opsi ini juga menepis rumor mengenai adanya kepentingan politik pada pengisian penjabat melalui penempatan pejabat-pejabat pusat di daerah yang dikaitkan dengan kepentingan pemenangan pemilu atau politik praktis lainnya."
"Juga untuk meredam potensi politik transaksional atau koruptif yang bisa saja dimainkan oknum ASN yang ingin menjadi penjabat dengan cara-cara ilegal dan melawan hukum," kata Titi.
Sedangkan Guspardi Gaus menilai pemerintah perlu mempertimbangkan opsi merevisi regulasi yang memungkinkan dibentuknya tim seleksi serta uji kepatutan dan kelayakan di DPR RI bagi para calon penjabat.
Hal itu telah diusulkan kepada Kemendagri, namun Guspardi mengatakan sampai saat ini belum ada upaya dari Kemendagri untuk menindaklanjuti usulan tersebut.