Tokoh Gereja di Papua Tawarkan Diri Bantu Bebaskan Pilot Susi Air

Konten Media Partner
12 Mei 2023 7:50 WIB
ยท
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kelompok TPNPB-OPM pimpinan Egianus Kogoya disebut sebagai pihak yang menculik dan menyandera pilot Susi Air, Philip Max Mehrtens.
zoom-in-whitePerbesar
Kelompok TPNPB-OPM pimpinan Egianus Kogoya disebut sebagai pihak yang menculik dan menyandera pilot Susi Air, Philip Max Mehrtens.
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sejumlah perwakilan gereja dan uskup di Jayapura, Papua, menawarkan diri untuk menjadi mediator dengan kelompok bersenjata Organisasi Papua Merdeka, dalam rangka membebaskan pilot Susi Air, Philip Max Mehrtens, yang telah disandera hampir tiga bulan.
Mantan Ketua Sinode Gereja Kemah Injil (Kingmi) di Tanah Papua, Pendeta Benny Giay, berkata niat itu datang usai melihat kondisi masyarakat di Kabupaten Nduga yang memprihatinkan.
Namun demikian, dia menilai negosiasi bisa berhasil jika TNI-Polri menarik pasukan dari Nduga demi menciptakan suasana damai.
Menjawab permintaan itu, Kasatgas Humas Operasi Damai Cartenz, Donny Charles Go, berkata menyerahkan sepenuhnya keputusan pada pemerintah.
Sementara Juru bicara TPNPB-OPM, Sebby Sambom, menyatakan menolak tawaran gereja dan berkukuh untuk bernegosiasi dengan Indonesia di satu meja.

Pendeta Benny Giay: 'Kurangi ketegangan, buka dialog'

Pendeta Benny Giay mengatakan masyarakat yang tinggal di sejumlah distrik di Kabupaten Nduga telah diungsikan sejak TNI-Polri melancarkan operasi keamanan pasca penculikan pilot Susi Air oleh kelompok bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Mereka yang diungsikan itu, sambungnya, hidup dalam ketidakpastian tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, dan makanan.
Mendengar dan melihat situasi tersebut, para pemuka agama di Papua memutuskan untuk menjadi mediator antara pemerintah dengan TPNPB-OPM.
Harapannya, masyarakat Nduga bisa kembali ke kampungnya dan situasi sedikit damai.
"Keadaan di sana sangat memprihatinkan. Sehingga kami pikir ada baiknya ada pihak ketiga yang memediasi," ujar Pendeta Benny Giay kepada BBC News Indonesia, Kamis (11/05).
Pendeta Benny Giay berkata, keyakinan bisa memediasi kedua pihak ini datang dari pengalaman tahun 2001 lalu.
Kapolda Papua kala itu Made Mangku Pastika, katanya, bisa diajak komunikasi dengan gereja dan mengikuti arahan mereka untuk menarik pasukannya dari Puncak Jaya.
Tujuan penarikan pasukan, ujar dia, demi mengurangi ketegangan dan tensi kekerasan sehingga membuka ruang dialog.
Hingga akhirnya, TPNPB-OPM bersedia membebaskan dua sandera asal Belgia yang ditawan di Ilaga, Kabupaten Puncak Jaya pada 1 Agustus 2001.
Pendeta Benny Giay mengatakan masyarakat yang tinggal di sejumlah distrik di Kabupaten Nduga hidup memprihatinkan.
Untuk upaya pembebasan pilot Susi Air, Pendeta Benny Giay menawarkan cara yang sama: menarik pasukan dan menghentikan operasi militer dari Kabupaten Nduga.
"Kalau pasukan terlalu banyak akan mengganggu masyakat sipil, OPM juga akan semakin keras. Gereja juga dianggap mendukung TNI-Polri. Itu pengalaman kami," imbuhnya.
"Kami sampaikan kepada Kapolda, ini pekerjaan yang tidak gampang."

'OPM juga manusia, bisa diajak bicara'

Pendeta Benny Giay belum bisa memastikan kapan proses negosiasi akan dilangsungkan. Sebab para perwakilan gereja dan uskup harus rapat terlebih dahulu untuk menyusun langkah di lapangan.
Di sisi lain menunggu keputusan TNI-Polri apakah bersedia untuk mengikuti syarat yang ditawarkan pihak gereja.
"Daerah itu harus bersih dulu kalau mau dapat komunikasi dengan Egianus Kogoya. Tak ada tentara baru bisa negosiasi di situ," ucapnya.
"Kalau pasukan masih kuasai daerah, saya belum yakin bisa nego."
Kelompok TPNPB-OPM pimpinan Egianus Kogoya disebut sebagai pihak yang menculik dan menyandera pilot Susi Air, Philip Max Mehrtens.
Anggota Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka memegang bendera Bintang Kejora.
Meskipun tak menjamin Egianus mau menerima perwakilan gereja sebagai mediator, tapi Pendeta Benny menilai hal itu bukan mustahil terjadi.
"Egianus bergerak dengan caranya sendiri dan bertentangan dengan prinsip gereja, namun OPM juga manusia. Masak dia harga mati mau bunuh orang? Tidak mungkin," katanya.
"Mereka [OPM] tetap manusia yang bisa diajak bicara."
"Saya kira Egianus akan lebih santai bicara kalau tidak ada aparat keamanan di situ."

Bagaimana tanggapan OPM dan Polri?

Juru Bicara TPNPB-OPM, Sebby Sambom, mengatakan keinginan perwakilan gereja dan uskup di Papua untuk menjadi mediator adalah sebuah "kekeliruan".
Sedari awal, kata Sebby, TPNPB-OPM berkukuh untuk bernegosiasi dengan pemerintah Indonesia dan Selandia Baru.
"Kami berjuang bukan demi gereja, tapi penentuan hak kemerdekaan bangsa Papua. Kami bicara hak politik penentuan nasib sendiri bangsa Papua yang dilanggar," jelasnya.
Sebby juga berkata, TPNPB-OPM tidak akan membiarkan Egianus Kogoya untuk berbicara dengan perwakilan gereja.
Ini karena keputusan soal nasib pilot Susi Air ada di tangan seluruh panglima komando pertahanan.
Sementara itu Kasatgas Humas Operasi Damai Cartenz, Donny Charles Go, berkata menyerahkan sepenuhnya keputusan pada pemerintah pusat.
Sebelumnya Kapuspen TNI, Julius Widjojono, menyatakan Panglima TNI telah memerintahkan untuk melancarkan operasi siaga tempur di daerah rawan di Papua usai lima prajurit TNI tewas dalam baku tembak dengan TPNPB-OPM pada akhir April lalu ketika sedang melaksanakan operasi pembebasan pilot Susi Air.
Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, menjelaskan operasi siaga tempur merupakan kondisi di mana tentara dalam keadaan siap bertempur secara efektif.
Itu artinya, semua bentuk persenjataan yang digunakan sudah siap tembak jika sewaktu-waktu terjadi ancaman.
Prajurit juga, sambungnya, tidak perlu lagi ragu-ragu melepaskan tembakan ketika terjadi pengadangan maupun serangan.
"Jadi bukan sekadar stand by di titik-titik atau pos tertentu. Tapi di pos tertentu yang mereka tempati, mereka sudah harus dalam kondisi siap. Senjata sudah kepegang terus. Bukan kalau ada serangan baru lari-lari ambil senjata," terang Khairul Fahmi kepada BBC News Indonesia, Rabu (19/04).
Namun begitu Khairul Fahmi mengingatkan kalau operasi siaga tempur ini bakal meningkatkan intensitas kekerasan dan rasa takut di masyarakat.
Sebab tidak menutup kemungkinan terjadi salah sasaran penembakan atau pemukulan terhadap warga sipil yang dianggap simpatisan TPNPB-OPM.