UU Ciptaker Dituduh 'Mempermudah' PHK Sepihak

Konten Media Partner
8 Oktober 2022 8:15 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Undang-Undang Cipta Kerja yang disahkan dua tahun lalu disebut oleh sejumlah pengamat memperburuk situasi karena lebih tidak berpihak kepada para pekerja dan mempermudah PHK.
zoom-in-whitePerbesar
Undang-Undang Cipta Kerja yang disahkan dua tahun lalu disebut oleh sejumlah pengamat memperburuk situasi karena lebih tidak berpihak kepada para pekerja dan mempermudah PHK.
Di tengah rentetan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi pada tahun ini, sejumlah pekerja korban PHK sepihak mengaku khawatir dengan jaminan kepastian kerja atau job security.
Kondisi ekonomi global yang sedang tidak stabil ditengarai memicu rentetan kasus PHK dalam beberapa bulan terakhir.
Namun, Undang-Undang Cipta Kerja yang disahkan dua tahun lalu disebut oleh sejumlah pengamat "memperburuk situasi" karena "lebih tidak berpihak kepada para pekerja" dan "mempermudah PHK".
Menurut catatan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), lebih dari 17.000 buruh di-PHK sejak UU Ciptaker disahkan, mayoritas secara sepihak.
Meski demikian, staf khusus Menteri Tenaga Kerja, Dita Indah Sari, membantah tudingan bahwa UU Ciptaker "mempermudah PHK".
Baca juga:
Dua hari setelah melahirkan bayi pertamanya, Dinda, bukan nama sebenarnya, mendapat kabar bahwa dia akan di-PHK.
Padahal, perempuan berusia 25 tahun itu tengah mengambil cuti hamil selama tiga bulan.
“Pas PHK itu H+2 setelah melahirkan, jadi agak syok karena kondisinya lagi capek sehabis melahirkan, jadi move on-nya agak lama. Jadi insecure juga, nanti setelah [cuti] melahirkan gimana,” kata Dinda kepada BBC News Indonesia.
Dinda saat itu bekerja di sebuah perusahaan perintis (start up) yang berbasis di Jakarta. Dia telah berstatus sebagai karyawan tetap dengan masa kerja lebih dari tiga tahun.
Dia adalah satu dari ratusan karyawan lainnya yang turut di-PHK secara bersamaan karena perusahaan melakukan “efisiensi”.
“Aku enggak pernah membayangkan kalau aku akan jadi korban PHK, sejujurnya. Kalau lihat kasus PHK dulu mikirnya ‘itu enggak mungkin terjadi sama aku’. Awalnya begitu, tapi ternyata…,” tutur Dinda yang memiliki latar belakang pendidikan tinggi.
Dinda sempat menduga kondisinya yang “sedang tidak produktif” karena cuti hamil menjadi salah satu alasan dia turut di-PHK. Apalagi, Dinda merasa kinerjanya baik selama bekerja di perusahaan itu.
“Sebenarnya sudah [ada] feeling, karena kalau perusahaan lagi efisiensi, yang cuti melahirkan bakal kena juga, kan mereka lagi hemat budget. Mereka [perusahaan] harus membayar orang-orang yang istilahnya nggak produktif lah,” kenang Dinda.
“Tapi pas dilihat-lihat kayaknya nggak ngaruh ya mau cuti melahirkan atau gimana, kalau dipangkas ya dipangkas saja. Aku lihat teman-teman yang performanya bagus, sudah belasan tahun di perusahaan tapi kena juga.”
Dari kejadian itu, Dinda menyadari bahwa kinerja baik dan kemampuan yang mumpuni tidak cukup sebagai jaminan untuk mempertahankan pekerjaan.
Namun persoalannya tidak berhenti di situ. Perusahaan, yang menginformasikan pemecatan itu hanya dua hari sebelum eksekusi, berdalih "merugi".
Atas dalih itu, perusahaan pun berniat hanya membayarkan pesangon setengah dari jumlah yang semestinya.
Alasan itu memang dimungkinkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 yang merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Persoalannya, alasan merugi hanya klaim sepihak perusahaan tanpa menyodorkan bukti kepada para karyawan.
Menurut Dinda, banyak yang mempertanyakan hal itu namun perusahaan tidak memberi jawaban yang jelas.
Saat itu, perusahaan juga menawarkan opsi lain berupa kesepakatan damai dengan jumlah kompensasi sedikit lebih besar dari pesangon yang telah dikurangi setengahnya itu.
Tetapi, karyawan yang memilih opsi damai ini harus menandatangani surat yang menyatakan pengunduran diri “secara sukarela” yang dapat menutup peluang gugatan hukum.
Dinda sendiri memilih opsi kedua karena merasa “tidak mau membuang waktu dan energi”. Sebab, perusahaan bersikukuh merugi sehingga tidak mungkin memberi pesangon secara penuh kalaupun dia menunggu di-PHK.
Undang-Undang Cipta Kerja yang disahkan dua tahun lalu disebut oleh sejumlah pengamat "memperburuk situasi" karena "lebih tidak berpihak kepada para pekerja" dan "mempermudah PHK".

'Proteksi untuk pekerja tidak ada'

Nasib serupa dialami Rio, juga bukan nama sebenarnya, yang pada saat itu bekerja di salah satu perusahaan asing di Jakarta.
Pada awal September lalu, perwakilan perusahaan tiba-tiba memanggil para karyawan dan mengumumkan pemecatan yang akan dilaksanakan pada hari itu juga.
Rio, yang juga merupakan karyawan tetap dan telah bekerja untuk perusahaan itu selama lima tahun, sontak kaget.
Sebab, Rio adalah tulang punggung keluarga. Pekerjaan itu adalah sumber nafkah utamanya.
“Karyawan kalau mengundurkan diri saja ada one month notice. Ini nggak, jadi jelas lah saya syok, apalagi masa pandemi begini, pekerjaan nggak ada, saya punya bayi, saya punya cicilan rumah yang besar dengan tenor belasan tahun juga,” tutur Rio.
Baca juga:
Dalam proses PHK itu, Rio merasa tidak ada ruang negosiasi. Perwakilan perusahaan langsung datang didampingi oleh dua orang pengacara, dengan dokumen dan surat-surat yang telah disiapkan dan meminta mereka untuk segera menandatanganinya.
Pesangon yang akan dibayarkan pun hanya berjumlah setengah dari yang semestinya. Dalihnya adalah perusahaan sedang merugi. Namun, perusahaan tidak menyodorkan bukti apa pun.
“Mereka bilang saat itu waktunya musyawarah, tetapi menurut saya itu bukan musyawarah. Kami merasa dalam posisi lemah. Mereka punya dua lawyer, sedangkan kami tidak ada lawyer, nggak ada uang juga untuk sewa lawyer,” ujarnya.
Rio dan beberapa rekannya menolak menandatangani kesepakatan yang disodorkan. Dia berargumen bahwa proses PHK yang dilakukan oleh perusahaan tidak patut dan melanggar prosedur yang diatur dalam undang-undang.
Demi menghindari gugatan hukum, perusahaan akhirnya bersedia berunding dan membayarkan pesangon dengan nilai yang lebih baik dari penawaran sebelumnya.
Sama seperti Dinda, Rio merasa tidak lagi merasa aman dengan kariernya. Jaminan soal kepastian kerja itu terasa hilang baginya.
Belasan tahun pengalamannya di dunia profesional, ditambah gelar S2, hingga kinerja yang baik ternyata juga tidak cukup sebagai jaminan.
“Artinya saya sendiri sebagai karyawan merasa nggak pasti, walaupun kinerja sudah baik, alhamdulillah sudah (bergelar pendidikan) Master, tapi walaupun begitu tetap saja saya dieksekusi.”
“Saya merasa enggak ada job security, proteksi untuk pekerja itu enggak ada, justru celah di omnibus law itu dimanfaatkan oleh perusahaan ketika memecat kami,” kata dia.

17.000 buruh di-PHK massal, mayoritas secara sepihak

Menurut catatan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) per Mei 2022, lebih 17.000 buruh di Indonesia di-PHK massal sejak Undang-Undang Cipta Kerja disahkan pada Oktober 2020.
Menurut catatan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) per Mei 2022, lebih dari 17.000 buruh di Indonesia di-PHK massal sejak Undang-Undang Cipta Kerja disahkan pada Oktober 2020.
Ketua YLBHI Muhammad Isnur menduga jumlah sebenarnya jauh lebih besar mengingat gelombang PHK massal masih terjadi sampai baru-baru ini dan tidak semua pekerja melaporkan PHK sepihak yang mereka alami.
Jika ditelisik lebih jauh, YLBHI mengatakan alasan PHK berkaitan dengan situasi pandemi dan ketidakpastian ekonomi global. Namun undang-undang dinilai memperburuk situasi, karena lebih tidak berpihak pada para pekerja.
Namun dari aduan yang masuk itu, bentuk pelanggaran terbanyak yang tercatat adalah PHK sepihak tanpa tahapan yang layak.
“Jadi situasinya saat ini memang dobel. Memang banyak sekali PHK yang dilakukan sepihak oleh perusahaan. Sebelumnya juga sudah banyak, tapi sekarang tambah banyak karena Undang-Undang Cipta Kerja melegitimasi itu,” kata Isnur.

Pasar kerja makin rentan, peluang PHK sepihak makin besar

Pakar hukum ketenagakerjaan Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Nabiyla Risfa Izatti, menjelaskan ada sejumlah klausul yang memang "membuka kesempatan adanya PHK sepihak" bahkan "mempermudah PHK" dalam UU Ciptaker.
Pasal 151 ayat 2 dalam UU Ciptaker menyebutkan bahwa apabila PHK tidak dapat dihindari, alasan PHK "diberitahukan" oleh pengusaha kepada pekerja.
Ketentuan itu berbeda dengan pasal 151 ayat 2 di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyebutkan bahwa apabila PHK tidak dapat dihindari, maka pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja atau pekerja.
"Jadi judulnya PHK 'diberitakan', sehingga narasi yang muncul memungkinkan adanya PHK sepihak," jelas Nabiyla.
Itu pula yang telah dialami oleh Dinda, Rio, serta belasan ribu pekerja lainnya yang mengadu ke YLBHI.
Fleksibilitas pasar kerja yang didorong oleh UU Ciptaker, menurut dia, juga justru membuat pekerja dalam posisi makin rentan.
Selain itu, bagaimana UU itu menempatkan pekerja pada hubungan kerja yang tidak layak.
"Di dalam kondisi pasar kerja yang sudah insecure ini, fleksibilitas itu justru merugikan pekerja karena semakin banyak yang ada dalam hubungan kerja kontrak, outsource, bahkan kemitraan," jelas dia.
Tetapi, staf khusus Menteri Tenaga Kerja, Dita Indah Sari, membantah tudingan bahwa UU Ciptaker "mempermudah PHK".
Melalui jawaban tertulis kepada BBC News Indonesia, Dita mengatakan bahwa PHK pada prinsipnya adalah jalan terakhir dan wajib diberitahu secara tertulis oleh perusahaan 14 hari sebelum dilaksanakan.
"Jika pekerja tidak setuju, mereka juga berhak menjawab lalu dirundingkan," tutur Dita.
Namun menurut Nabiyla, memang ada pasal yang menyebutkan bahwa pekerja “boleh menolak PHK” melalui mekanisme bipartit, mediasi, atau penyelesaian perselisihan hubungan industri, tetapi realitanya tidak semudah itu.
“Narasinya seakan-akan enggak tahu bahwa kondisinya sangat timpang di lapangan. Pemerintah bilang boleh kok menolak, tetapi kenyataannya tidak seperti itu. Seakan-akan melupakan ada posisi yang sangat timpang antara perusahaan dan pekerja,” jelas dia.
Challenge itu kan datang dari pandangan bahwa pekerja bisa punya kuasa menolak, padahal yang terjadi di lapangan kenyataannya tidak seperti itu. Ketika ada pemberitahuan PHK itu kartu mati buat pekerja dan itu dimungkinkan oleh Undang-Undang Cipta Kerja,” lanjut Nabiyla.

Dalih merugi dan celah hukumnya

Perusahaan berdalih "merugi" dan menawarkan pesangon hanya setengah dari yang semestinya.
Hal lain yang memicu ketidakpastian hukum yang merugikan pekerja, kata Nabiyla, adalah masih adanya celah hukum dalam Undang-Undang Cipta Kerja maupun aturan turunannya.
Situasi yang menimpa Dinda dan Rio adalah salah satu contoh, di mana perusahaan mengeklaim merugi sehingga hanya akan membayarkan pesangon setengah dari yang seharusnya.
“Tetapi tidak dijelaskan bagaimana mekanisme pembuktian kerugian itu sendiri. Dan saya sendiri sampai sekarang tidak tahu bagaimana membuktikan kerugian itu sendiri, secara normatif dalam UU Ciptaker dan aturan pelaksananya tidak jelas,” kata Nabiyla.
Klaim merugi itu memang bisa disengketakan, namun relasi kuasa yang timpang membuat pekerja merasa tidak berdaya untuk membawanya ke ranah hukum.
“Kalau kita bicara sengketa ke PPHI pun memberatkan kan dari sisi pekerja, waktunya panjang, tidak semua punya waktu, resource, dana untuk itu sehingga ujung-ujungnya lebih menguntungkan perusahaan dan lebih merugikan pekerja,” tutur dia.
Terkait hal ini, staf khusus Menaker Dita Indah Sari mengatakan data kerugian semestinya bisa menjadi bukti untuk menuntut pengusaha agar membayar pesangon sesuai aturan dalam proses mediasi.
Dita juga mengakui bahwa masih ada perusahaan-perusahaan yang tidak mematuhi prosedur dan melakukan PHK sepihak, namun dia mengeklaim beberapa kasus seperti itu telah ditindak agar ada efek jera.

Berserikat

Di tengah situasi yang menghimpit dan regulasi yang lebih tidak berpihak itu, Nabiyla mengatakan salah satu upaya yang bisa dilakukan pekerja untuk mempertahankan hak adalah dengan berserikat.
Kalaupun tidak memiliki serikat, pekerja setidaknya bisa berunding secara kolektif.
“Akan sulit bagi pekerja individual melawan kuasa perusahaan. Satu-satunya yang bisa kita lakukan adalah bersatu dengan kekuatan yang lain, karena kekuatan kita ada di situ. Kalau tidak, sulit sekali,” kata dia.
Sayangnya, tren berserikat bagi pekerja di Indonesia dia sebut “masih sangat rendah”.
Data terakhir pada 2012 menunjukkan baru sekitar 6% pekerja di Indonesia yang menjadi anggota serikat.
Di sisi lain banyak pula pekerja yang tidak memahami hak-haknya, sehingga ketika PHK terjadi, banyak yang memilih pasrah tanpa perlawanan.