Wacana Kriminalisasi LGBT, Indonesia Akan Jadi Negara Paria

Konten Media Partner
25 Mei 2022 16:43 WIB
·
waktu baca 10 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Polemik tentang Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) kian memanas, menyusul wacana pemidanaan komunitas LGBT dalam RUU Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) kini tengah dibahas DPR dan ditargetkan disahkan pada Juli mendatang.
Hingga kini, Ragil Mahardika masih tak habis pikir dengan respons publik di Indonesia, menyusul kemunculannya di program siniar pesohor Deddy Corbuzier, beberapa pekan lalu.
Konten siniar yang memuat wawancara Deddy Corbuzier dengan Ragil dan pasangan sesama jenisnya, Frederick Vollert, menuai kecaman dari publik di Indonesia
Imbasnya, konten siniar itu terpaksa dihapus. Hujatan bertubi-tubi dialamatkan pada Ragil, juga Deddy Corbuzier. Ragil menuturkan apa yang ia rasakan setelah insiden tak mengenakkan yang ia alami.
"Aku sendiri sudah terbiasa dengan hujatan, tapi yang aku sangat sayangkan Indonesia balik lagi hanya mengurusi urusan ranjang seseorang, tapi nggak melihat value seseorang ini bisa ngasih apa ke negaranya," ujar Ragil lewat sambungan telpon, Senin (23/05).
"Itu yang bikin aku sangat-sangat sedih. Aku menyayangkan Indonesia belum sampai ke titik itu," kata Ragil kemudian.
Setelah insiden itu, polemik tentang LGBT terus bergulir dan kian memanas dengan banyak elite politik dan pejabat pemerintah nimbrung dalam perdebatan tentangnya.
Suatu hal yang tak dinyana oleh Ragil, pria Indonesia yang berdomisili di Jerman selama 10 tahun terakhir dan terbuka soal orientasi seksualnya.
"Aku sendiri masih bertanya-tanya, kenapa digoreng seramai itu padahal sebelumnya pernah bahas tema yang sama di podcast."
"Seramai ini sampai semua kalangan berbicara, ke bidang pemerintahan juga, cukup bikin aku stres untuk aku pribadi," aku Ragil.
Bahkan, Menteri Koordinasi bidang Politik, Hukum, dan HAM (Menkopolhukam) Mahfud MD urun rembuk dalam perdebatan tentang LGBT ini dengan menggulirkan wacana pemidanaan LGBT dalam RKUHP yang sedang dibahas oleh DPR.
Pernyataan tersebut memicu polemik baru yang menuai komentar tak hanya dari komunitas LGBT dan pengamat hukum, tapi juga dari pejabat pemerintah dan anggota DPR.

Polemik terbaru soal LGBT

Pada Rabu (18/05) silam, Menkopolhukam Mahfud MD menyebut bahwa aturan tentang LGBT telah diatur dalam RKUHP yang ditargetkan disahkan pada akhir masa sidang pada Juli mendatang.
Pernyataan itu menjawab desakan publik yang menghendaki adanya sanksi terhadap komunitas LGBT.
Mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini berkata jika nanti ada yang tidak setuju dengan rumusan RUU KUHP tentang LGBT setelah disahkan, maka bisa diperkarakan kembali lewat uji materi di MK.
"Dulu kan tertunda pembahasannya karena DPR mendapat tekanan dari LSM, dari civil society. Kalau begitu, masak menyalahkan pemerintah?"
"Pemerintah sudah punya sikap, punya konsep yang moderat tentang itu. Lalu DPR kalah pada tekanan publik, ya sudah bukan urusan kita," ujar Mahfud dalam simposium yang dihelat asosiasi pengajar hukum tata negara - hukum adminsitrasi negara di Bali, Rabu (18/05).
Namun, Arsul Sani, anggota komisi III DPR yang membidangi hak asasi manusia dan keamanan, menegaskan tidak ada aturan LGBT dapat dipidana dalam RKUHP.
"Yang disebut dengan pasal pidana LGBT itu sebetulnya nggak pas istilahnya. Yang pas itu adalah pasal perbuatan cabul yang dilakukan sesama jenis, " kata Arsul Sani kepada wartawan di kompleks parlemen, Jakarta, Senin (23/05).
Di hari yang sama, Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Hiariej, memastikan bahwa revisi KUHP - beleid yang diusulkan pemerintah - tak bakal mengatur pidana LGBT.
Lebih jauh, Edward mengatakan bahwa RKUHP tak akan mengatur secara spesifik pidana terhadap kelompok gender tertentu sebagai produk rancangan undang-undang itu netral terhadap gender.
Pernyataan keduanya - yang membantah pernyataan Mahfud sebelumnya - memicu komentar yang menuding Mahfud tak memahami rumusan ketentuan yang dimaksud.
Tapi Mahfud menjawab tudingan itu lewat akun Twitter-nya.
Adapun, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengharamkan homokseksualitas melalui Fatwa Nomor 57 Tahun 2014 tentang lesbian, gay, sodomi dan pencabulan.
"Homoseksual, baik lesbian maupun gay hukumnya haram, dan merupakan bentuk kejahatan," begitu bunyi salah satu ketentuan dalam fatwa tersebut.
Fatwa itu juga menjelaskan bahwa orientasi seksual terhadap sesama jenis adalah kelainan yang harus disembuhkan dan bentuk dari penyimpangan yang harus diluruskan.

Kriminalisasi orientasi seksual?

Adapun, merujuk draf RKUHP yang beredar pada 2019 silam, ada dua ketentuan terkait pencabulan, yakni:
Pasal 420 ayat 1:
Setiap orang yang melakukan perbuatan cabul terhadap orang lain yang berbeda atau sama jenis kelaminnya:
a. di depan umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori III.
b.secara paksa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.
c.yang dipublikasikan sebagai muatan pornografi dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.
Pasal 420 ayat 2:
Setiap orang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa orang lain untuk melakukan perbuatan cabul terhadap dirinya dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.
Pasal 421:
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun, setiap orang yang:
a. melakukan perbuatan cabul dengan seseorang yang diketahui orang tersebut pingsan atau tidak berdaya;
b. melakukan perbuatan cabul dengan seseorang yang diketahui atau patut diduga anak; atau
c. dengan bujuk rayu atau tipu daya menyebabkan seorang anak melakukan atau membiarkan dilakukan terhadap dirinya perbuatan cabul dengan orang lain.
Pasal-pasal itu, menurut Genoviva Alicia, peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) - lembaga kajian independen dan advokasi yang fokus pada reformasi sistem peradilan pidana dan hukum di Indonesia - sejatinya diperuntukkan bagi semua orientasi seksual.
"Memang itu diperuntukkan untuk semua orientasi seksual, dengan dasar perbuatan [pencabulan] itu melibatkan anak-anak, atau dengan kekerasan, atau di muka umum, yang semuanya memang harus dilarang karena kaitannya dengan bukan dengan orientasi seksualnya, tapi dengan perbuatannya," ungkap Genoviva.
Ia menambahkan, wacana kriminalisasi orientasi seksual, jika benar-benar direalisasikan, justru akan memicu stigma, diskriminasi dan kekerasan terhadap komunitas LGBT yang semakin buruk.
"Jika diatur, justru itu akan jadi abuse, karena nanti dalam prosesnya pasti yang dikejar adalah pengakuan. Karena tidak ada yang bisa membuktikan orientasi seksual seksual itu pembuktiannya bagaimana."
"Padahal kalau kita lihat dari praktik yang ada saat ini, mengejar pengakuan itu selalu menjadi masalahnya, [yang menyusul kemudian] adalah penyiksaan, karena bagaimana seseorang untuk mengaku yang sering digunakan adalah kekerasan," kata dia.
Aktivis LGBT dalam aksi memperingati Hari Perempuan pada 2017
Kekhawatiran ini diamini oleh Wide Afriandy dari Forum Bantuan Hukum untuk Kesetaraan yang kerap mengadvokasi komunitas LGBT.
"Pertanyaannya, ketika polemik ini, yang tanpa dibaca dengan baik oleh masyarakat, apakah tidak akan menimbulkan kebencian? Dan bahkan menimbulkan kekerasan nggak? Ini yang menjadi concern kami sebetulnya," tegas Wide.
Menurut Wide, penyebutan secara spesifik "sama jenisnya" dalam pasal tentang pencabulan di RKUHP merupakan bentuk diskriminasi terhadap kelompok minoritas seksual yang semakin rentan untuk dikriminalisasi orientasi seksual dan identitas gendernya.
"Sebenarnya, mau itu sama jenis atau berbeda jenis, apabila ada pemaksaan itu sudah pidana dan itu memang sudah dituliskan di dalam KUHP sebelumnya. Jadi sebetulnya tidak perlu ada penegasan berkaitan jenis kelamin orang yang melakukan pencabulan," ungkap Wide.
Sepanjang 2018 saja, terdapat 253 orang yang menjadi korban stigma, diskriminasi berbasis orientasi seksual, identitas dan ekspresi gender di luar norma biner heteronormatif, menurut hasil riset LBH Masyarakat pada 2019 silam.
Korban terbanyak menyasar secara general kelompok LGBT, yaitu 234 orang, disusul kelompok transgender sebanyak 11 orang, kelompok lesbian sebanyak lima orang dan gay tiga orang.
Pada tahun 2019, Arus Pelangi - organisasi yang berfokus pada pemenuhan hak-hak orang LGBT - merilis Laporan 'Catatan Kelam: 12 Tahun Persekusi LGBT di Indonesia' di mana sebanyak 1.850 individu LGBTIQ mengalami persekusi, dengan mayoritas korbannya adalah kelompok transpuan.

'Menjadi negara paria'

Sementara Dede Oetomo, yang selama sekitar 40 tahun terakhir membela hak-hak komunitas LGBT di Indonesia, menyebut Indonesia mengalami kemunduran dan menjadi "negara paria" jika memidanakan komunitas LGBT.
"Sebetulnya yang menyedihkan dan memalukan itu ketika di internasional kecenderungannya adalah dekriminalisasi, yang terakhir adalah India, ini malah mau kriminalisasi. Jadi kita justru akan mundur."
"Di forum-forum internasional Indonesia akan jadi negara paria, seperti Iran, Mesir. Ya memang ini standarnya beda-beda, tapi bagi standar yang saya anut ini memalukan," jelas Dede.
India adalah negara terbaru yang melakukan dekriminalisasi LGBT pada September 2018 lalu.
Ungkapan kegirangan di sebuah LSM di Mumbai menyusul putusan MA India pada 2018
Kala itu, Mahkamah Agung India dengan suara bulat memutuskan hukum pidana kolonial yang mengkriminalisasi hubungan sesama jenis di negara itu dan membuat mereka dihukum hingga 10 tahun penjara, tidak konstitusional dan melanggar hak dasar warga negara India.
Jauh sebelumnya, Australia, Selandia Baru, Hong Kong dan Palau - negara kecil di Samudra Pasifik - telah melakukan aksi serupa.
Lebih jauh, Dede memandang pernyataan Menkopulhkam Mahfud MD menandakan bahwa Mahfud "tidak paham bahwa HAM itu universal".
"Jadi sepotong-potong menggunakan prinsip HAM-nya. Jadi, kriminalisasi itu akan melanggar hak privasi dan hak atas ketubuhan, itu kan otonomi tubuh," jelas Dede.
Menanggapi polemik tentang LGBT yang terus menggelinding dan membesar layaknya bola salju setelah siniar Deddy Corbuzier yang memuat wawancaranya, Ragil Mahardika, pria Indonesia berdomisili di Jerman yang terbuka tentang orientasi seksualnya, mengaku khawatir jika LGBT benar-benar diatur dalam RKUHP.
"Aku sangat menyayangkan kalau misalnya setelah podcast ini panas dan sampai sekarang masih panas terus ya urusan LGBT, dan akhirnya undang-undang ini disahkan, ini berarti Indonesia mundur beberapa langkah lagi daripada negara-negara lain yang sudah memisahkan mana urusan ranjang dengan mana tindakan kriminalitas," kata Ragil Mahardika.
Ia dan pasangannya menjadi tamu dalam siniar yang dipandu pesohor Deddy Corbuzier pada awal Mei lalu, ketika dirinya sedang kembali ke kampung halaman di Indonesia.
Namun desakan penentang LGBT membuat konten siniar itu terpaksa dihapus oleh pihak Deddy Corbuzier.
Kriminalisasi orientasi seksual, bagi Ragil, membuat siapapun dengan orientasi seksual yang berbeda dianggap sebagai pelaku kriminalitas.
"Ini yang tidak bisa dipisahkan oleh orang-orang di Indonesia dan pemerintah. Kalau sampai undang-undang disahkan ini akan sangat mendiskriminasikan orang-orang yang ada di Indonesia," cetusnya.
"Kalau memang misalnya hanya [karena] LGBT aja dipenjarakan, tanpa kita melakukan tindakan kriminalitas, ya entar penjaranya penuh dong?," kata Ragil dengan nada bercanda.
Ragil kemudian menjelaskan bahwa Jerman telah melegalkan pernikahan sesama jenis pada 2017. Kebijakan yang menurutnya "suatu gebrakan".
Menilik sejarah LGBT di Jerman, kondisi Jerman 40 - 50 tahun lalu - yang memidanakan LGBT - sama seperti kondisi Indonesia saat ini.
Sebab, dibandingkan negara-negara lain di Eropa Utara dan negara tetangga seperti Belanda dan Belgia, Jerman bisa dibilang "masih sangat konservatif", kata Ragil.
"Tapi Jerman berusaha untuk mengetahui apa yang salah di negaranya."
"Dan Jerman akhirnya mengubah undang-undang dan berusaha untuk seinklusif itu," kata dia.

'Memperburuk stigma terhadap LGBT'

Sementara itu, Yulianus Rettblaut - yang akrab disapa Mami Yuli - Ketua Forum Komunikasi Waria Indonesia dan pengelola rumah singgah bagi para transpuan lansia di Depok, Jawa Barat, menghendaki "kepastian hukum" yang jelas soal LGBT di Indonesia.
"Jangan cuma mau membuat keadaan ricuh atau membuat atau memperburuk stigma terhadap LGBT," tegas Yuli.
"Saya pikir bukan hanya LGBT saja yang melakukan hal-hal yang negatif, tapi kan banyak juga yang positif," ujarnya kemudian.
Ia menyadari, hidup sebagai transpuan di tengah masyarakat dengan budaya timur dan norma agama yang sangat dominan, adalah hal yang sangat berat.
Maka dari itu, menurut Yuli, para transpuan "harus bisa membawa diri" dan "menempatkan diri dalam masyarakat".
"Kita menyadari bahwa kita hidup dalam kultur dan budaya seperti ini dengan norma-norma agama sudah sangat mengatur. Kita sendiri tahu diri jangan terlalu banyak menuntut," aku Yuli.
Betapapun, Yuli menegaskan bahwa transpuan memiliki hak yang sama dengan warga negara yang lain.
"Jadi sebetulnya tidak boleh ada undang-undang yang memidanakan LGBT, kecuali memang dia melanggar hukum atau norma-norma yang sudah diatur dalam undang-undang atau Undang-Undang Dasar. Tetapi kalau tidak [melanggar hukum], ya jangan [dipidana]. Tidak boleh."
"Itu kan melanggar hak orang untuk hidup, itu kan diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 27. Kita kan negara hukum, ada aturannya, semua orang punya hak hidup. Tiap-tiap warga negara, berarti semua," tegas Yuli.