Wisata Menikmati Safari Alam Liar Afrika dengan Kereta Api

Konten Media Partner
3 Desember 2022 13:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical

Wisata Menikmati Safari Alam Liar Afrika dengan Kereta Api

Gajah di pinggir sumber air, Taman Nasional Hwange.
zoom-in-whitePerbesar
Gajah di pinggir sumber air, Taman Nasional Hwange.
Pada rute antara Dete dan Ngamo Sidings di Zimbabwe, "Elephant Express" menawarkan pengalaman safari yang benar-benar unik kepada para tamu.
Kami keluar dari Stasiun Dete menuju batas timur laut Taman Nasional Hwange Zimbabwe.
Belasan orang yang bersemangat – sembilan turis, dua masinis, dan satu pemandu safari – menempuh perjalanan dari Air Terjun Victoria ke Dataran Ngamo, sebuah padang rumput yang dipenuhi gajah tempat hutan akasia yang semakin menipis bertemu dengan hamparan pasir Kalahari yang gersang.
Selama perjalanan, saya menyipitkan mata di tengah terik matahari sambil menyesap minuman gin dan tonik.
Menyeimbangkan badan dengan satu kaki dan mencondongkan tubuh ke sisi gerbong kereta pribadi yang dibuat khusus, saya mencari posisi terbaik untuk melihat pemandangan seekor burung yang sedang bertengger di atas kawat.
Baca juga:
Penumpang lain memperbesar lensa kameranya. Kami melihat sekilas warna biru elektrik, paruh yang panjang, kepala besar, tetapi cahaya matahari membuat proses identifikasi menjadi sulit.
Setelah kereta menambah kecepatan, meninggalkan burung itu, kami berdebat, apakah itu seekor burung raja ikan (kingfisher), atau semacam burung pelatuk?
Mendengar diskusi kami, salah seorang masinis kereta api mengidentifikasi burung itu sebagai roller berdada ungu (lilac-breasted roller).
Lega karena mendapat jawaban, saya menambahkan burung itu ke daftar buku catatan.
Kereta satu gerbong yang dapat menampung hingga 22 orang, Elephant Express tampaknya merupakan kendaraan safari yang berbeda.
Kereta ini menawarkan pengalaman safari yang benar-benar unik.
Alih-alih mencari binatang buas besar dalam kendaraan 4x4 atau berjalan kaki, penumpang menemukan hewan liar secara acak, menambahkan rasa keberuntungan dalam keajaiban alam.
Tanda Taman Nasional Hwange.
Kami berada tidak jauh dari Stasiun Dete ketika para masinis melambatkan laju kereta dan menunjuk ke arah kanan.
Saya melihat rombongan babun tengah mengerumuni pintu masuk taman.
Saya menduga ada ada lebih dari 100 ekor – babun jantan besar yang melihat dengan curiga ke arah kami, remaja yang sedang bermain, dan para ibu yang mengendong bayi di leher mereka.
Dalam perjalanan sejauh sekitar 80 km, kereta kami memperlambat kecepatan beberapa kali untuk memberi jalan pada keluarga gajah dan kawanan kijang yang menyeberangi rel.
Kami juga berhenti untuk mengamati jerapah yang sedang merumput di kanopi ketika para zebra dan steenbok (antelop kecil yang umum ditemukan di timur dan selatan Afrika) mengunyah rumput di semak-semak.
Kami pun melihat banyak burung roller berdada ungu dan kawanan burung rangkong selatan yang sangat besar.
Tidak berhenti, kami juga disuguhkan pemandangan burung pekakak berkerudung coklat (dan berparuh jingga) dan mendengar teriakan burung abu-abu yang langsung terbang menjauh saat kami menemukannya.
Ketika Mark "Butch" Butcher – direktur pelaksana di Imvelo Safari Lodges – pertama kali mempertimbangkan untuk meluncurkan kereta wisata pada tahun 1980-an dan berkomitmen selama bertahun-tahun menavigasi birokrasi Zimbabwe untuk mewujudkannya, visinya bukan hanya tentang keagungan satwa liar Hwange.
Sebaliknya, ia bermimpi untuk menyalurkan sejarah taman, dan dengan demikian, menyoroti pentingnya upaya konservasi dan pariwisata berbasis masyarakat yang berkembang di kawasan ini.
Rel kereta api sudah menjadi bagian dari sejarah taman ini sejak didirikan.
Kereta api Zimbabwe awalnya dibangun untuk menghubungkan lokasi pertambangan dan pertanian di daratan yang terisolasi dengan pelabuhan pesisir di negara tetangga Mozambik dan Afrika Selatan.
Jalur khusus ini dibuat pada tahun 1904, 24 tahun sebelum Wankie Game Reserve (pendahulu Hwange) didirikan.
Hal ini membuat pejabat kolonial Inggris dan pakar satwa liar sempat mempertanyakan pertimbangan dalam menciptakan kawasan lindung untuk hewan yang akan diapit oleh jalur aktif kereta.
Tapi rencananya jalan terus dan, terlepas dari jejaknya, Wankie Game Reserve didirikan pada tahun 1928 di bawah pengelolaan pengawas Ted Davison.
Saat ini, tidak ada binatang di wilayah Hwange ini yang mengingat sebuah lanskap tanpa kereta api dan jalurnya.
Bukan hal yang aneh menemukan singa tidur siang di rel yang terbakar matahari atau menggunakannya untuk berlindung saat berburu.
Jadi, ketika Elephant Express dimulai pada tahun 2015, mengantar orang ke pondok Imvelo, Butcher melihat peluang bahwa kereta itu akan menarik pengunjung datang dengan pengalaman safari yang unik.
"Para penjaga taman telah menaiki troli pemeliharaan di jalur ini selama bertahun-tahun," kata mantan penjaga taman Hwange itu kepada saya.
Ketika Butcher mulai bekerja sebagai penjaga taman lebih dari 40 tahun yang lalu, ketegangan antara pihak taman dan masyarakat lokal terlihat jelas.
Ini sebagian karena cara pasukan kolonial Inggris secara sepihak dalam memilih tanah untuk konservasi, dan cara ini dimainkan dalam upaya pariwisata selanjutnya.
Ketika pejabat pemerintah Rhodesia menetapkan batas-batas yang sekarang disebut Hwange, mereka mengeklaim dengan dasar bahwa wilayah ini hanya dihuni sedikit penduduk.
Ini adalah sebuah pernyataan yang mengabaikan sebagian besar keluarga nomaden kulit hitam Zimbabwe yang menyebut daerah itu sebagai rumah – dan menciptakan penghalang simbolis antara binatang dan manusia.
Kawanan hewan sedang minum di kubangan air, Taman Nasional Hwange
Selama bertahun-tahun, berkat keputusan Davison untuk mengebor lubang tanah untuk membuat sumber air permanen dan perlindungan yang diberikan oleh penjaga hutan dan penjaga taman yang berdedikasi, populasi satwa liar di Hwange tumbuh.
Meningkatnya jumlah hewan menarik para pemburu yang membayar dan turis dari luar negeri, tetapi uang itu untuk pengelola taman dan tidak menguntungkan masyarakat sekitar.
Sayangnya, Butcher menjelaskan, populasi hewan dan manusia yang membengkak juga menyebabkan lebih banyak konflik dengan penduduk desa setempat, yang takut gajah akan memakan tanaman mereka dan singa akan memburu ternak mereka.
Pada saat Butcher tiba di Hwange, dia mencatat bahwa "desa melihat hewan-hewan itu sebagai bagian dari taman".
Penduduk desa tidak melihat pendapatan dari hewan-hewan yang mengancam mata pencaharian mereka sendiri.
Dan di Zimbabwe, di mana banyak yang bergantung pada pertanian subsisten dan 60% orang menghadapi kelaparan, kata Butcher, "satwa liar harus membayar untuk bertahan hidup".
Bagi sebagian orang, perburuan liar mengisi kekosongan ini.
Jerapah di Taman Nasional Hwange di Zimbabwe.
Langit malam di tempat perkemahan di Taman Nasional Hwange diselimuti miliaran bintang.
Tiba-tiba, kereta kecil kami berhenti. Kami mengintip dari sisi gerbong yang terbuka untuk mencari hewan, tetapi Vusa Ncube, seorang penduduk desa Ngamo dan pemandu safari utama dalam perjalanan, meminta kami untuk berkumpul.
Di sisi kiri rel, sebuah plakat kayu bertuliskan "Pohon Cecil" ditempelkan di pohon.
Ncube dengan serius menceritakan kisah pembunuhan tragis dan ilegal salah satu singa favorit di daerah itu.
Perburuan liar juga memusnahkan populasi badak di Hwange. Diperkirakan hanya segelintir badak hitam yang tersisa di daerah tersebut, dan badak putih telah punah secara lokal selama lebih dari 15 tahun.
Sebagai tanggapan, desa Tsholotsho di sepanjang perbatasan Taman Nasional Hwange bekerja sama dengan Butcher dan Imvelo Safari Lodges untuk memastikan penduduk dapat memperoleh keuntungan dari konservasi satwa liar dan pariwisata terkait.
Elephant Express menghubungkan penumpangnya dengan dua proyek seperti: Camelthorn Lodge Imvelo, dibangun di atas tanah milik masyarakat; dan Community Rhino Conservation Initiative (CRCI), sebuah proyek yang akan memindahkan badak dari bagian lain Zimbabwe ke serangkaian suaka di lahan komunal yang pada akhirnya akan dibuka menjadi taman nasional.
Kunjungan saya pada bulan Mei tahun ini, bersamaan dengan operator perjalanan petualangan yang berbasis di AS Wilderness Travel berkoordinasi dengan Imvelo untuk membawa sekelompok kecil turis menyaksikan kedatangan badak pertama CRCI, Thuza dan Kusasa.
Setibanya di Camelthorn Lodge, kami disambut oleh Siboe Sibanda, manajer penginapan dan penduduk asli Tsholotsho yang menjaga semuanya berjalan lancar untuk tamu Camelthorn.
Dan karena pondok itu terletak di tanah masyarakat, bukan jauh di dalam taman nasional, dia bisa pulang ke rumah di malam hari untuk menghabiskan waktu bersama keluarganya.
“Saya ingin bekerja di bidang pariwisata,” kata Sibanda kepada saya. "Tapi biasanya, kamu harus tinggal jauh selama beberapa hari. Dengan cara ini saya bisa pulang ke keluarga di malam hari."
Demikian pula, proyek CRCI didasarkan pada gagasan bahwa untuk berhasil, konservasi di Zimbabwe harus sesuai dengan kehidupan dan memprioritaskan masyarakat lokal.
Ketika kami tiba di wisma Johnson dan Dorothy Ncube, kepala desa Ngamo dan istrinya menyambut kami dengan kaos bertema badak.
Saat kami duduk melingkar sambil menyeruput teh dan kopi, Ncube mengenang kegembiraannya saat melihat badak sebagai seorang anak.
“Sebagian besar anak-anak di desa ini belum pernah melihat badak,” katanya sambil menggelengkan kepala. "Tapi itu akan berubah. Ini adalah badak mereka. Badak kita."
Badak di Zimbabwe.
Memang, dari penginapan Ncube, kami menuju ke sekolah setempat, di mana para siswa menggambar badak dan menyiapkan pidato singkat tentang pentingnya hewan bagi komunitas mereka.
Patricia, siswa kelas enam, mengajukan diri untuk berbicara. “Kita harus menyelamatkan badak karena merupakan spesies yang terancam punah. Kita harus membuatnya aman,” katanya.
Pidato singkat itu membuatnya mendapat kehormatan menjadi salah satu anak pertama yang mengunjungi badak secara langsung.
Tingkat kepemilikan ini sangat kontras dengan cara wisata konservasi secara historis beroperasi di Taman Nasional Hwange dan Zimbabwe secara lebih luas.
Dan, menurut para pemimpin seperti Ncube dan Butcher, ini adalah cara terbaik untuk melestarikan satwa liar di kawasan itu dan juga masyarakatnya.
Ketika Elephant Express melakukan perjalanan kembali ke Stasiun Dete, saya menikmati perjumpaan dengan satwa liar Hwange yang melimpah.
Saya selalu bertanya-tanya: lain kali jika ke sini kembali, mungkinkah saya melihat badak melintasi jalur kereta?
Versi bahasa Inggris dari artikel ini, Zimbabwe's stunning 80km safari train, bisa Anda simak di laman BBC Travel