Formasi Jiwa yang Melayani dalam Ruang Edukatif

Odemus Bei Witono
Direktur Perkumpulan Strada, Pengamat Pendidikan, Mahasiswa Doktoral Filsafat di STF Driyarkara, Jakarta, dan Penggemar Sepak Bola.
Konten dari Pengguna
24 November 2022 21:54 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Odemus Bei Witono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto Koleksi Pribadi: Jejak telapak terbuka, tangan yang mau melayani.
zoom-in-whitePerbesar
Foto Koleksi Pribadi: Jejak telapak terbuka, tangan yang mau melayani.
ADVERTISEMENT
Prolog: Formasi Jiwa
Dalam pendidikan klasik, formasi jiwa untuk hidup mulia sejak awal sudah diperjuangkan. Socrates (470 - 399 SM), Plato (428/427 - 347 SM), dan Aristoteles (384– 322 SM) sangat memperhatikan pentingnya formasi jiwa.
ADVERTISEMENT
Socrates (dalam Wibowo, 2021) menekankan kualitas pendidik yang unggul dalam merawat jiwa guna membantu pertumbuhan mental para murid menjadi pribadi yang lebih baik. Dalam analisis Socrates, yang membuat jiwa menjadi baik adalah keutamaan (αρετή) yang bukan pertama-tama sebagai tuntutan moral, tetapi lebih sebagai optimalisasi jiwa.
Senada dengan Socrates, Plato menekankan adanya keseimbangan antara perkembangan emosi, tubuh, dan pikiran. Plato mengamini gagasan Socrates bahwa pertama pendidik yang baik dapat membuktikan dirinya baik. Kedua pendidik yang baik mampu merawat jiwanya, dan dengan metode pedagogis yang tepat dapat menularkan kebaikan bagi para murid yang dididik.
Menurut Aristoteles (dalam goodreads.com, 2022) mengedukasi pikiran tanpa mendidik hati bukanlah pendidikan sama sekali. Pengembangan diri pada dimensi hati bagi Aristoteles tidak bisa dihindari dalam karya edukatif.
ADVERTISEMENT
Kemampuan yang dimiliki seseorang akan bermakna jika hatinya turut merasa bahagia. Dalam analisis Aristoteles menolong atau melayani secara tulus merupakan kegiatan baik yang memberikan kebahagiaan.
Makna Pelayanan
Kata pelayanan menjadi sangat populer mulai awal abad ke-20 hingga sekarang, khususnya dalam dunia industri jasa, termasuk layanan pendidikan. H. Idik Sulaeman Nataadmadja (1933-2013) -- dalam logo Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS), pada gambar bunga bintang dengan lima kelopak -- menjelaskan jalan-jalan edukatif yang meliputi abdi, adab, ajar, aktif, dan amal. Dari lima jalan, ada satu kata kunci yang terkait dengan kata pelayanan, yaitu abdi atau pelayan.
Tugas pelayan dalam melayani oleh para nabi, dan/atau rasul diangkat ke tempat yang tinggi. Melalui jalan pelayanan, manusia menyadari diri sebagai makhluk ciptaan yang merdeka. Dalam situasi merdeka, seseorang dapat memberikan pelayanan optimal bagi, dan bersama sesama secara tulus tanpa paksaan.
ADVERTISEMENT
St. Paulus menulis surat -- yang diperkirakan ditulis sekitar tahun 48 M -- kepada Jemaat di Galatia, bunyinya “Saudara-saudari, memang kamu telah dipanggil untuk merdeka. Tetapi janganlah kamu mempergunakan kemerdekaan itu sebagai kesempatan untuk kehidupan dalam dosa. Melainkan layanilah seorang akan yang lain oleh kasih. (Gal 5:13).
Jiwa yang Melayani
Jiwa yang melayani dalam praksis hidup sangatlah penting karena dari situ muncul rasa kepedulian pada sesama. Pelayanan atas dasar kasih kepedulian mendesak dilakukan karena di era modern, dan kontemporer daya dehumanisasi global -- bersumber dari egoisme manusia -- semakin menguat di hampir segala bidang kehidupan.
Dalam analisis Sindhunata (2022) manusia egois tidaklah manusiawi. Egoisme mengubah manusia menjadi benda-benda dengan mendominasi mereka, mengeksploitasi, dan merebut hasil kerja mereka menjadi milik sendiri. Keserakahan, dan keangkuhan yang bersumber pada egoisme terbukti jelas telah men-depersona-lisasi manusia. Dalam kondisi yang demikian, manusia dianggap un-person, tak ubahnya seperti benda atau barang saja.
ADVERTISEMENT
Formasi edukatif -- yang mengedepankan gagasan memanusiakan manusia, dan melayani satu sama lain dalam kasih kepedulian -- diharapkan mampu menangkal atau membendung kekuatan dehumanisasi global. Kepedulian akan berjalan efektif, efisien, dan bermakna jika para pelaku yang menjalani mempunyai jiwa yang melayani.
Praksis Formasi
Praksis formasi bagi jiwa yang melayani berfokus pada aktivitas sosial guna mengembangkan semangat men and women for and with others, yaitu menjadi manusia peduli bagi, dan bersama sesama meningkatkan kualitas hidup. Formasi jiwa yang melayani dapat dilakukan di tingkat pendidikan usia dini, dasar, dan menengah secara bertahap. Peran guru dalam formasi jiwa per jenjang lebih diutamakan sebagai motivator, fasilitator, dan reflektor kegiatan.
Dalam Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), formasi berfokus pada upaya pembentukan mental sosial melalui dinamika kelompok yang menggembirakan anak. Anak-anak usia dini dituntun untuk mengenal diri sendiri, dan teman-teman sekelas. Suasana formatif dibuat sesederhana mungkin agar dapat ditangkap anak-anak PAUD.
ADVERTISEMENT
Formasi edukatif pelayanan di jenjang yang lebih tinggi, yaitu di tingkat Sekolah Dasar (SD) berfokus pada penanaman rasa peduli diri anak. Mereka diajarkan, dan diberikan contoh bagaimana saling melayani dalam semangat kepedulian.
Para murid dididik untuk mengenal dan menerima diri apa adanya. Kondisi penerimaan diri tersebut, diandaikan peserta didik dapat menerima teman sebaya secara baik pula. Kondisi yang demikian berpotensi menumbuhkan rasa respek, empati, dan kemudian bersedia saling melayani menolong sesama.
Murid SD perlu diperkenalkan semangat berbagi terhadap sesama, khusus untuk mereka yang secara ekonomi berkekurangan. Mereka juga diajak peduli terhadap lingkungan, diajarkan menanam, atau merawat tanaman sederhana, membuang sampah pada tempatnya, dan menjaga kebersihan lingkungan, dan dirinya sendiri.
Dalam pendidikan menengah, para murid secara berjenjang diajarkan cara berorganisasi yang dapat menimbulkan dampak sosial yang baik, entah dalam OSIS, maupun dalam kegiatan ekstra-kurikurer.
ADVERTISEMENT
Dalam agenda sekolah, kegiatan bhakti sosial perlu dirancang oleh Kepala Sekolah bersama para guru pendamping, dan perwakilan murid. Para murid diajak melakukan aktivitas experiential agar mereka berani memberikan pelayanan optimal bagi sesama secara tulus. Misalnya kegiatan live in di desa-desa, mengadakan aksi sosial, dan tutorial sebaya lintas jenjang.
Epilog: Kesimpulan
Sebagai catatan akhir, formasi jiwa yang melayani dalam ruang edukatif perlu diperkenalkan, ditanamkan, dan dihidupkan dalam komunitas pendidikan sejak dini. Hal itu mendesak karena pengaruh dehumanisasi global semakin menguat di dalam banyak segi kehidupan.
Dalam komunitas pendidikan seharusnya pendidik, dan peserta didik mempunyai semangat jiwa melayani yang terus bertumbuh. Jiwa yang melayani dibentuk atas dasar kepedulian pada diri, dan sesama.
ADVERTISEMENT
Komunitas pendidikan yang baik menjadi tempat ideal untuk menyuburkan semangat pelayanan. Semoga melalui karya pendidikan baik akan menghasilkan profil lulusan yang cerdas, peduli, bertanggung jawab, dan berjiwa melayani, entah sebagai pemuka agama, pemimpin masyarakat, tenaga ahli, karyawan/karyawati karier, maupun pengusaha.