Konten dari Pengguna

Memahami Pemikiran Kolakowski dan O'Hear tentang Kebenaran dan Moralitas

Odemus Bei Witono
Direktur Perkumpulan Strada, Pengamat Pendidikan, Kandidat Doktor Filsafat di STF Driyarkara, Jakarta, dan Penggemar Sepak Bola.
1 Juni 2024 13:20 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Odemus Bei Witono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kebenaran dan moralitas, sumber: Pexels.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kebenaran dan moralitas, sumber: Pexels.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Prolog
Dalam diskursus filsafat modern, Leszek Kolakowski dan John O'Hear menampilkan pandangan kompleks dan menarik mengenai kebenaran dan moralitas. O'Hear juga menambahkan lapisan skeptisisme, menunjukkan bahwa praktik manusia dalam berdebat atau mengevaluasi bukti tidak selalu mengarah pada kebenaran mutlak, terutama dalam pencarian kebenaran empiris yang sering kali dipenuhi ketidakpastian.
ADVERTISEMENT
O'Hear terkait kajian moral menyentuh Dilema Euthyphro, sebuah masalah filosofis yang mempertanyakan hubungan antara Tuhan dan moralitas. Dalam analisis, dia menyoroti bahwa penilaian moral memiliki dasar yang berbeda dari keyakinan faktual atau perintah ilahi, yang memungkinkan seseorang merasa bebas memilih moralitas sesuai keinginannya.
Kolakowski dan O'Hear sama-sama mengakui bahwa moralitas tidak bisa disederhanakan menjadi sekadar ketaatan pada perintah ilahi. Sebaliknya, moralitas inklusif menekankan pentingnya sikap baik, penghargaan terhadap sesama, dan kontribusi pada kebaikan bersama, yang semuanya melibatkan penilaian rasional atas kebaikan moral.
Kebenaran
Menurut Kolakowski (dalam O’Hear 1984:68), kebenaran didefinisikan sebagai kesesuaian dengan realitas yang ada. Namun, dia menolak pandangan bahwa keberadaan Tuhan memberikan standar absolut untuk menilai kebenaran. Sebaliknya, Kolakowski berpendapat bahwa keberadaan Tuhan memberi manusia pengetahuan tentang keyakinan yang benar, setidaknya dalam konteks pemahaman tentang Tuhan itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Pemikiran skeptis terhadap kebenaran, seperti yang dijelaskan oleh O'Hear, menunjukkan bahwa praktik manusia dalam berdebat atau mengevaluasi bukti tidak selalu mengarah pada kebenaran mutlak. Dalam logika deduktif, kebenaran bisa ditransmisikan dari premis ke kesimpulan dalam argumen yang valid, sementara kepalsuan bisa ditransmisikan dari kesimpulan ke premis dalam argumen yang tidak valid.
Namun, dalam pencarian kebenaran empiris, skeptisisme mungkin lebih beralasan, terutama dalam ilmu pengetahuan. Teori-teori ilmiah sering kali didasarkan pada bukti induktif yang dapat menimbulkan ketidakpastian dan keraguan. Dalam konteks ini, keyakinan dianggap sebagai prasyarat manusia, yang menunjukkan bahwa kepercayaan manusia terhadap kebenaran bisa dipengaruhi oleh prasangka dan persepsi subjektif, terutama dalam menafsirkan bukti empiris.
Menurut Kolakowski (dalam O’Hear, 1984:68), ilmu pengetahuan bisa beroperasi tanpa menganggap kebenaran sebagai prasyarat logis. Ini mencerminkan sikap skeptis yang menyarankan bahwa pembicaraan tentang kebenaran bisa diabaikan demi tujuan praktis, mengingat kesulitan dalam menetapkan standar kebenaran yang diakui secara universal.
ADVERTISEMENT
Kolakowski menekankan perlunya subjek yang dapat memastikan kebenaran dan memiliki keyakinan tak tergoyahkan bahwa pengetahuan tentang realitas tidak akan terpengaruh oleh perspektif yang lebih luas. Bagi Kolakowski, hanya entitas dengan supremasi pengetahuan, entah itu Tuhan atau nihilisme kognitif, yang dapat memberikan jaminan yang diperlukan terhadap kebenaran.
Manusia bisa terlibat dalam ilmu pengetahuan tanpa prasangka bahwa dunia diatur oleh hukum-hukum universal atau bahwa ilmu pengetahuan memiliki makna teologis, meskipun pandangan ini tetap menjadi bahan perdebatan dan refleksi filosofis.
O’Hear (1984:96) mengakui kompleksitas dalam pencarian kebenaran, baik dalam konteks logika deduktif maupun penelitian empiris, dan mencerminkan keraguan serta skeptisisme yang mungkin muncul dalam proses tersebut.
Moralitas
Dalam aspek moralitas, O'Hear membahas Dilema Euthyphro, meskipun analisisnya dianggap kurang mendalam karena tidak mempertimbangkan kontribusi penting dari para ahli lain seperti Quinn, Wierenga, Mavrodes, dan Adams.
ADVERTISEMENT
Dilema Euthyphro (dalam Resource, 2024) adalah permasalahan filosofis moral terkait Tuhan yang menanyakan: apakah Tuhan menyukai perbuatan baik karena itu baik secara moral, atau apakah perbuatan baik itu baik karena dicintai oleh Tuhan?
Dalam analisis O’Hear (1984:75), dilema Euthyphro menunjukkan bahwa penilaian moral memiliki dasar logis yang berbeda dari keyakinan faktual atau keyakinan tentang perintah ilahi.
Hal ini menyiratkan bahwa seseorang mungkin merasa memiliki kebebasan untuk memilih moralitas sesuai keinginannya, bahkan bagi individu yang berasal dari tradisi agama Kristen, karena mereka mungkin mengabaikan nilai-nilai moral yang berasal dari keyakinan religius fundamental tentang hakikat manusia sebagai ciptaan Tuhan.
Meskipun nilai-nilai moral dapat dipilih secara logis tanpa bergantung pada keyakinan tentang fakta, keyakinan tentang sifat dan nasib manusia secara tidak langsung memberikan landasan konseptual bagi sikap moral seseorang.
ADVERTISEMENT
Konsep moralitas dalam kajian O'Hear (1984:74) menyoroti bahwa moralitas tidak hanya sekadar ketaatan terhadap perintah ilahi tanpa pertimbangan manusia tentang apa yang baik dan jahat. Penelusuran atas dilema Euthyphro menunjukkan bahwa moralitas tidak dapat disederhanakan menjadi perintah ilahi.
Jika moralitas hanya diturunkan dari perintah ilahi, maka itu akan mengarah pada pandangan bahwa moralitas hanyalah ketaatan yang tunduk pada kekuasaan, tanpa memperhatikan aspek-aspek moral yang mendasari kemanusiaan.
Sebaliknya, konsep moralitas yang lebih inklusif menekankan pentingnya pembentukan sikap-sikap baik, penghargaan terhadap sesama manusia, dan pertimbangan atas apa yang dapat berkontribusi pada kebaikan bersama. Moralitas bukan hanya tentang mengikuti perintah tanpa pertimbangan, tetapi juga melibatkan penilaian rasional atas kebaikan moral.
Adanya ruang logis yang memungkinkan untuk menentang otoritas tertinggi atas dasar moral, jika keputusan tidak sesuai dengan harapan moralitas yang diakui, menegaskan bahwa moralitas tidak hanya bergantung pada perintah ilahi, tetapi juga pada penilaian moral manusia yang rasional.
ADVERTISEMENT
Epilog
Pandangan Kolakowski dan O'Hear menggarisbawahi kompleksitas filsafat modern dalam memahami kebenaran dan moralitas. Kolakowski melihat kebenaran sebagai pemahaman manusia tentang Tuhan, bukan standar absolut. O'Hear menambahkan skeptisisme, menunjukkan bahwa pencarian kebenaran sering kali penuh ketidakpastian, terutama dalam konteks empiris.
Dalam moralitas, O'Hear menghidupkan kembali Dilema Euthyphro, yang mempertanyakan apakah perbuatan baik disukai Tuhan karena baik, atau karena disukai Tuhan.
Hal tersebut menekankan bahwa moralitas tidak hanya berdasarkan perintah ilahi, tetapi memungkinkan individu memilih jalan moral mereka sendiri. Kolakowski dan O'Hear sepakat bahwa moralitas yang inklusif harus melibatkan sikap baik, penghargaan terhadap sesama, dan kontribusi pada kebaikan bersama.
Pandangan demikian mengingatkan kita bahwa pencarian kebenaran dan pemahaman moral adalah proses dinamis dan kompleks, membutuhkan penilaian rasional, refleksi kritis, dan pengakuan terhadap keragaman perspektif. Perspektif Kolakowski dan O'Hear menyediakan kerangka berpikir yang kaya untuk memahami dan mengaplikasikan konsep-konsep ini dalam kehidupan sehari-hari.
ADVERTISEMENT