Kegagalan Hukum Internasional dalam Mengatasi Isu Rohingya

Konten dari Pengguna
7 April 2018 13:43 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bella Septhianie tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kegagalan Hukum Internasional dalam Mengatasi Isu Rohingya
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Dewasa ini, kata “Rohingya” tidaklah terdengar asing di telinga seluruh warga dunia. Sejak akhir tahun 2017, tercatat bahwa terdapat 617.000 penduduk Rohingya yang setidaknya telah mengungsi dari Myanmar.
ADVERTISEMENT
Mulai dari tidak diakuinya etnis Rohingya sebagai warga negara di tempat yang disebutnya “rumah”, hingga menjadi pengungsi di berbagai belahan dunia. Dan hingga saat ini, isu Rohingya masih dikenal sebagai krisis pengungsi terbesar dunia, melebihi krisis pengungsi Suriah.
Sebagai kaum minoritas Muslim yang berasal dari campuran berbagai ras dan tidak diakui Myanmar, kaum Rohingya lantas tidak memiliki hak kewarganegaraan, termasuk tempat tinggal. Berdasarkan data PBB, terdapat setidaknya 420.000 pengungsi Rohingya di wilayah Asia Tenggara.
Sejauh ini respon internasional dinilai belum cukup dalam menangani krisis pengungsi Rohingya, sebab hanya terbatas pada simpati hingga kritik terhadap pemerintahan Aung San Suu Kyi yang seolah hanya ‘diam’.
Pada prakteknya, hukum internasional belumlah berhasil menemukan solusi yang tepat dalam menyelesaikan kasus pengungsian massal Rohingya. Bagaimana tidak, pasalnya, jumlah pengungsi Rohingya yang terus bertambah setiap harinya menyebabkan banyak negara mulai “kelelahan” dalam menampung jumlah pengungsi yang seolah tidak ada habisnya ini.
ADVERTISEMENT
Memang hukum internasional tidak dapat menggantikan hukum domestik suatu negara, dan kurangnya standar mekanisme penegakkan hukum juga dinilai menjadi salah satu kendala dalam menentukan hukum internasional yang tepat.
Amerika Serikat pernah menerapkan sanksi yang dinilai efektif terhadap Myanmar dalam memilih siapa yang bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia dalam hal pembataian etnis. Namun, pada tahun 2016, Presiden Obama mengakhiri sanksi ini dengan alasan untuk menghormati nilai-nilai demokrasi Myanmar, sebuah langkah malapetaka bagi kaum minoritas Rohingya.
Hanya berselang seminggu setelah sanksi dicabut, seorang pejabat negara mengumumkan penghancuran 12 masjid dan 35 sekolah Islam, menyebabkan etnis Rohingya kembali pergi meninggalkan Myanmar. Lagi-lagi hukum internasional bekerja “setengah-setengah” dalam mengatasi isu Rohingya.
ADVERTISEMENT
Tanpa adanya kebijakan yang “memaksa” secara global, akan sulit bagi masing-masing negara untuk menyelesaikan krisis permasalahan pengungsi Rohingya. Akibat tak memiliki hak kewarganegaraan untuk mendapatkan penghidupan yang layak, ketidakpastian hidup kaum Rohingya pun kini berada di tangan negara yang “rela” menampungnya.
Dan apakah negara tujuan bersungguh-sungguh “rela” menampung mereka? Apakah negara tujuan tidak memiliki ‘tujuan” di balik ketersediaan dalam menampung ribuan bahkan ratusan ribu Rohingya?
Dalam hal ini, hukum internasional seharusnya menerapkan standar mekanisme penegakkan hukum yang tegas mengatur sampai batasan mana pengungsi diberi izin berada dalam suatu negara, apakah pengungsi wajib berkontribusi pada negara tujuan, apakah pengungsi dipersilakan menetap dalam batas waktu tertentu dan juga untuk memberi sanksi tegas pada negara manapun yang terbukti melakukan pelanggaran seperti eksploitasi manusia, tak terkecuali Myanmar sebagai “negara asal” Rohingya.
ADVERTISEMENT
Pembebasan masing-masing negara untuk menentukan hukum domestiknya dirasa belum cukup kuat untuk memberi keadilan dan status mengikat dalam hal ini. Oleh karena itu, pengkajian ulang hukum internasional oleh pemerintah dunia mengenai pengungsi etnis Rohingya memanglah penting dilakukan untuk mengatasi isu ini.
Aksi Peduli Rohingnya (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Aksi Peduli Rohingnya (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)