Jangan Mau Jadi Wartawan

Allbi Ferdian
Jurnalis kumparan.com
Konten dari Pengguna
12 November 2018 15:02 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Allbi Ferdian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi mengetik laptop  (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi mengetik laptop (Foto: Thinkstock)
ADVERTISEMENT
Guru: "Anak-anak, kalau sudah besar kalian mau jadi apa?" Lalu murid-murid bersahutan "Jadi dokter, pilot, polisi, guru, astronot, tentara, dan aku mau jadi presiden, Bu,"
ADVERTISEMENT
Setidaknya, profesi itulah yang sering digumamkan para murid saat ditanya cita-cita. Lalu, wartawan ada di mana? Tentu tidak di mana-mana. Profesi wartawan baik-baik saja. Seperti saya, yang kini jadi wartawan.
Saya juga baik-baik saja, dan alhamdulilah, selama jadi wartawan, belum pernah sampai tipes. Kalau kata Pak Bos, "Tunggu saja, ini belum waktunya (tipes)," saya cuma bisa jawab "Siap, Mas,"
Jadi wartawan itu bukan profesi yang banyak didambakan memang. Bukan pula profesi yang banyak dicari. Jujur saja, dalam benak saya, tak pernah terbesit bakal jadi seorang wartawan. Dulu, saya hanya orang yang berharap hidup normal, makan taratur, tidur delapan jam, datang ke kantor, lalu duduk di depan meja, menjalani rutinitas yang sama, hari sabtu dan minggu libur, menghabiskan uang, lalu tidur.
ADVERTISEMENT
Tapi, mau bagaimana lagi, takdir menggiring saya untuk mencicipi dunia wartawan. Dunia yang tidak terbayangkan sebelumnya. Dunia di mana orang harus siap dengan segala risikonya. Seperti Jamal Khashoggi yang tewas dibunuh oleh negaranya. Atau William Howard Russell yang justru berhasil membukakan mata publik akan kekejaman perang di Krimea berkat berita-berita yang ditulisnya.
Aktivis hak asasi manusia dan para jurnalis, melakukan protes di luar Konsulat Saudi di Istanbul. (Foto: REUTERS/Osman Orsal)
zoom-in-whitePerbesar
Aktivis hak asasi manusia dan para jurnalis, melakukan protes di luar Konsulat Saudi di Istanbul. (Foto: REUTERS/Osman Orsal)
Ya, saya hidup di dunia itu, genap setahun menjadi wartawan kumparan. Berangkat dari Sarjana Sastra, saya pikir, tak ada salahnya jadi wartawan, toh sama-sama ngurusi huruf dan kalimat. Bedanya bukan kenyataan yang difiksikan, tapi kenyataan yang dideskripsikan.
Di kumparan, saya bekerja di divisi engagement, kerjanya simpel, ngedit berita, nge-running, dan ngurusin berita dari publisher daerah. Dalam sehari, bisa 15 sampai 20 berita yang diedit. Pernah juga 40 artikel.
ADVERTISEMENT
Saya tak seperti rekan-rekan lainnya, turun ke lapangan, mencari berita yang telah ditugasi. Saya hanya dituntut menelusuri jejak kejadian di berbagai daerah, untuk kemudian disampaikan kepada para pembaca. Walau begitu, saya juga pernah mencicipi pahitnya menjadi wartawan lapangan.
***
Begini ceritanya, waktu itu, kalau tidak salah, saya ditugasi untuk meliput stadion basket di Senayan. Sial, saya terbentur dengan masalah perizinan. Tak boleh masuk, harus pakai surat, pengajuannya seminggu sebelum liputan. Tak mungkin untuk menunda, karena redaktur pasti menuntut berita.
Izin tak dapat, jalan satu-satunya nekad. Ya, nekad masuk ke stadion. Bermodalkan keberanian, saya nekad lewati pagar yang kala itu dijaga dua orang satpam. Tak ketahuan memang, karena si satpam lagi sibuk ngontrol kendaraan proyek yang lalu lalang. Nah, moment itulah yang bisa dimanfaatkan.
Stadion basket Hall B  (Foto: Allbi)
zoom-in-whitePerbesar
Stadion basket Hall B (Foto: Allbi)
Mulus! Saya berhasil masuk. Tak mau membuang waktu, saya foto beberapa bagian dalam stadion yang kala itu sedang dalam perbaikan. Mewawancarai tukang bangunan untuk melengkapi isi berita. Selesai liputan, niat mau ke luar dengan lenggang. Lagi-lagi, nasib sial meradang, satpam melihat saya yang sedang celingukan. Saya ditangkap dan diseret ke pos.
ADVERTISEMENT
Awalnya tegang, tapi saya berusaha santai. Saya selalu memegang sebuah prinsip "Rokok bisa menjadi bahan untuk menjalin kedekatan dengan seseorang".
Saya duduk di depan satpam itu, seraya berusaha menjelaskan dengan pelan-pelan. Tak lama, saya keluarkan rokok, kemudian saya tawari si satpam, "Bang, saya mau ngerokok, sikat aja kalau mau," begitu kira-kira. Situasi yang tadinya tegang, tiba-tiba mencair setelah asap rokok mengepul di dalam mulut kita masing-masing.
Di tengah kepulan asap, satpam itu curhat panjang lebar. Entahlah, ada kekuatan magic apa di dalam rokok itu. Alih-alih diinterograsi, saya justru dipersilakan masuk kembali ke stadion. Senang tentu, gembira jangan ditanya, jawabannya pasti "Iya".
Itu mungkin secuil cerita yang remeh-temeh. Cerita yang tak guna, karena liputan yang berkesan malah dengan satpam. Bukan bersama pejabat pemerintahan, bukan Jendral, bukan pula bersama presiden. Tapi percaya atau tidak, jalan hidup satpam itu tak kalah menarik dengan orang-orang terkenal yang ada di luar sana.
ADVERTISEMENT
Dari situ, saya sadar, jadi wartawan itu butuh mental yang kuat. Gemetar sedikit, habislah dikoyak takut. Berita tak sampai, cacian yang di dapat.
Jadi wartawan itu bukan profesi yang mengenakkan memang. Harus rela berpanas-panasan dan menghadapi berbagai kondisi alam, apalagi kalau bukan demi mendapat sebait informasi.
Jadi wartawan itu bukan sekadar main-main dan coba-coba. Bukankah wartawan itu mata masyarakat? Dituntut memberikan informasi yang sebenar-benarnya, melahirkan berita yang kredibel, dan akurat. Kalau kata Seno “When journalism is silenced, literature must speak. Because while journalism speaks with facts, literature speaks with truth.”
Jadi, bagi saya, wartawan dan sastrawan tak ada bedanya. Toh sama-sama menyuguhkan kebenaran. Saya tak merasa terjerumus di dunia ini. Malah, merasa ini adalah jalan Tuhan dalam menunjukkan makna (coba bedah pakai semiotik).
ADVERTISEMENT
So, Jangan mau jadi wartawan kalau kamu enggan melihat sisi lain kehidupan. Wartawan itu profesi untuk orang yang memiliki prinsip "Hidup itu sekali, kalau jalan cerita flat-flat saja, bisa mati penasaran nanti,"
Intinya, "Kalau hidup sekadar hidup, kera di hutan juga hidup".
----------
Nah, hari ini, Senin 12 November 2018, kami, wartawan kumparan, akan menerima serifikat dari dewan pers setelah melewati uji kompetisi wartawan. Katanya, sertifikat itu untuk mengukuhkan bahwa kami adalah wartawan yang syah di mata "Hukum".
Pengukuhan itu ibarat acara seremoni para anggota DPR yang bersumpah di atas kitab suci. Bedanya, saya tak butuh itu, karena dengan mempertanggungjawabkan sertifikat ini saja, sudah cukup berat rasanya.
ADVERTISEMENT