RUU KUHP: Kerancuan dan Multitafsir

Allbi Ferdian
Jurnalis kumparan.com
Konten dari Pengguna
31 Mei 2018 2:11 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Allbi Ferdian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi mahasiswa Hukum. (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi mahasiswa Hukum. (Foto: Pixabay)
ADVERTISEMENT
Ada yang menarik saat kita mencoba membicarakan Rancangan Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang saat ini sedang digodok oleh DPR. Pasalnya, Ada beberapa poin yang menimbulkan kontroversi dan polemik di kalangan pakar hukum pidana.
ADVERTISEMENT
Satu di antaranya adalah dimasukkannya pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden. Hukuman pidana yang diberikan cukup berat, mulai dari hukuman 5 tahun penjara hingga denda Rp 500 juta. Tergantung, pasal mana yang dilanggar.
Sebelum menelisik lebih jauh isi dari pasal tersebut, perlu diketahui, bahwa pada 2006 lalu, Mahkamah Konstitusi (MK), pernah membatalkan pasal 134 dan 136 KUHP tentang kepala negara. Menurut MK pasal tersebut bertentang dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Namun, dalam RUKHP yang kini tengah dibahas di Panitia Kerja RKUHP, pasal penghinaan presiden dan wakil presiden ini kembali dimasukkan. Dalam RKUHP tersebut terdapat tiga poin penting yang tertera dalam pasal 262 hingga 264, yang bunyinya sebagai berikut:
ADVERTISEMENT
Menakar ketiga pasal yang ditargetkan akan rampung pada pertengah Agustus mendatang, ada keresahan yang timbul dari berbagai lapisan masyarakat, yakni adanya kriminalisasi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum yang sebenarnya hanya bermaksud menyampaikan kritik.
Menurut Aliansi Nasional Reformasi KUHP yang terdiri dari beberapa lembaga antara lain LBH, KontraS, ICW, dan AJI, menilai RKUHP penghinaan presiden akan memberikan kewenangan pada aparat penegak hukum dan pemerintah daerah untuk melakukan kriminalisasi terhadap pelanggaran hukum yang hidup dalam masyarakat tanpa indikator dan batasan yang jelas dan ketat.
Bukan tanpa alasan, jika kita cermati, kata 'penghinaan' yang ditunjukkan di dalam pasal tersebut terlihat rancu dan tendensius. Sebab, dapat menimbulkan ketidakpastian hukum karena sangat rentan dengan penafsiran apakah suatu pernyataan dan pendapat dapat dikategorikan sebagai kritik, atau justru penghinaan kepada presiden dan wakil presiden.
ADVERTISEMENT
Pada ujungnya, hal tersebut akan menimbulkan multitafsir. Di mana, pasal penghinaan presiden dinilai sebagai upaya melindungi pemimpin dari kritikan masyarakat --menjadi antikritik. Sedangkan menurut MK, konstitusi sudah menjamin setiap hak rakyat, jika presiden melakukan kesalahan, sudah sepantasnya rakyat mengeritik kesalahan tersebut.
Lebih lanjut, pada pasal 264 yang membahas terkait pembuat dan penyebar meme bernada menghina presiden yang dapat dipidanakan, juga menimbulkan polemik baru di masyarakat.
Timbul pertanyaan! Meme seperti apa yang tergolong dalam lingkup penghinaan presiden dan wakil presiden? Apakah sebuah karikatur di dalam koran yang menampilkan gambar abstrak pada sosok presiden juga akan dipidanakan? Atau, apakah meme yang menunjukkan wajah presiden dengan caption berupa sindiran juga tergolong pada pasal penghinaan?
ADVERTISEMENT
Lagi-lagi, hal tersebut menimbulkan multitafsir, bahkan bukan tidak mungkin masyarakat berpikir bahwa hal ini merupakan bagian dari upaya membungkam kebebasan berekspresi. Dampaknya, masyarakat akan mulai abai terhadap kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah, atau bahkan mereka enggan mengomentari kekeliruan yang dilakukan oleh pemimpinnya. Masyarakat mulai apatis karena dihantui dengan hukuman pidana.
Oh ya, ada hal penting yang harus digarisbawahi terkati RUU KUHP ini. Sebelumnya, MK pernah membatalkan aturan mengenai penghinaan presiden dengan acuan bahwa martabat presiden dan wakil presiden tidak dapat diberikan keistimewaan sehingga memperoleh kedudukan dan perlakuan berbeda di hadapan hukum.
Hal inilah yang mungkin harus dipertimbangkan. Urusan pantas tidaknya pasal ini disahkan, tergantung penilaian masing-masing. Yang pasti, RUU KUHP tentang penghinaan presiden dan wakil presiden ini, nantinya akan melibatkan banyak skateholder, perlu penafsiran dan pengkajian yang lebih dalam agar tidak menimbulkan polemik yang berkepanjangan.
ADVERTISEMENT
Sedikit mengutip kata-kata seorang sastrawan, aktivis, dan kritikus yang hilang pada masa reformasi, dia mengatakan, "Apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan, dituduh subversif dan mengganggu keamanan, maka hanya ada satu kata: lawan!" Wiji Thukul.
-------------------------------------------------------
Sumber referensi: kumparan.com