news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Perjuangan yang Belum Usai

Konten dari Pengguna
4 Agustus 2017 9:04 WIB
comment
10
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Benedicta Irma tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumarsih dan payung hitam di Aksi Kamisan. (Foto: Rakha Mufrihandhanu/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Sumarsih dan payung hitam di Aksi Kamisan. (Foto: Rakha Mufrihandhanu/kumparan)
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Dahulu, keluarga kami adalah keluarga kecil yang sempurna. Namun, tertembaknya Wawan, 19 tahun lalu, membawa perubahan besar bagi saya dan Bapak-Ibu.
Kesempurnaan itu seketika memudar. Saya kehilangan sosok kakak. Bapak harus dihadapkan dengan kenyataan kematian anak sulungnya. Ibu yang dahulu menjaga kandungan selama 9 bulan harus dihadapkan pada tubuh yang tak lagi bernyawa.
Bapak dan Ibu sering bercerita tentang Wawan saat kami bertiga makan malam bersama. Waktu kecil, Wawan itu anaknya tidak bisa diam. Ada saja ide kreatif yang selalu bikin jengkel tapi lucu kalau diingat saat ini.
Selalu ada jawaban untuk setiap pertanyaan. Pernah satu waktu Bapak dan Ibu pulang kerja, dan mereka kaget saat membuka pintu karena rumah tergenang air. Mereka melihat Wawan sedang asik bermain air bersama saya.
ADVERTISEMENT
Sebagai kakak, dia yang akan ditanya dahulu. Alasan dia membuka keran air, sederhana: supaya di rumah ada kolam renang dan dia bisa berenang sepuasnya.
Wawan kecil dan adiknya, Irma. (Foto: Repro Foto Dok. Sumarsih )
zoom-in-whitePerbesar
Wawan kecil dan adiknya, Irma. (Foto: Repro Foto Dok. Sumarsih )
Ibu juga pernah cerita, dulu ia selalu membuat es teh dalam kantung-kantung kecil supaya kami tidak jajan es sembarangan. Biasanya setiap hari Minggu, freezer akan penuh stok es teh.
Senin sore, saat ibu pulang kantor dan membuka kulkas, dia bingung kenapa stok es tinggal beberapa saja. Wawan menjawab jujur, “Tadi siang aku suruh semua temen-temen aku beli es teh. Ini uangnya aku tabung buat besok aku beli mainan.”
Wawan cilik (kanan), dan Irma adiknya. (Foto: Repro Foto Dok. Sumarsih )
zoom-in-whitePerbesar
Wawan cilik (kanan), dan Irma adiknya. (Foto: Repro Foto Dok. Sumarsih )
Terlepas dari keisengan Wawan yang selalu membuat jengkel Bapak dan Ibu, dia memiliki jiwa pendidik dan berbagi sedari kecil. Wawan suka mengumpulkan teman-teman dan membuka ruang perpustakaan. Kebetulan setiap minggu kami berlangganan majalah. Selain bermain, kami juga sering membaca bareng.
ADVERTISEMENT
Kebiasaan mengumpulkan teman terbawa hingga dia sekolah di SMA Van Lith, Magelang. Di sana ada program live in di rumah penduduk, dan dia aktif mengajar anak-anak di daerah terpencil.
Kembali ke Jakarta dan kuliah di Atmajaya, dia juga aktif di TRuK (Tim Relawan untuk Kemanusiaan). Dia dan beberapa teman TRuK membuka posko di depan RS St. Carolus, mengumpulkan anak-anak jalanan untuk diajari membaca dan menulis.
Potret Wawan, korban Tragedi Semanggi I. (Foto: Repro Foto Dok. Sumarsih )
zoom-in-whitePerbesar
Potret Wawan, korban Tragedi Semanggi I. (Foto: Repro Foto Dok. Sumarsih )
Lalu, kenapa Wawan ditembak? Apakah dia benar menjadi target “dihilangkan”? Kenapa peluru itu mengenai dada tembus ke jantungnya? Haruskah dia dibungkam dengan timah panas?
Pertanyaan-pertanyaan itu belum terjawab. Hingga kini. Walau berkali-kali berganti kepemimpinan, negara ini masih berhutang jawaban. Sekali pun Ibu rajin datang ke Istana Negara (walau hanya di seberang), berdiri diam saat Kamisan, berharap bisa mendapatkan jawaban dari “penguasa Istana”.
ADVERTISEMENT
Apa yang Ibu lakukan hingga kini, seakan-akan menyambung nafas kehidupan Wawan untuk mencari keadilan. Tanpa lelah mengetuk pintu hati kaum penguasa, berjalan hilir mudik mencari kepastian penyelesaian kasus, menulis surat pengaduan tanpa tahu kapan akan dibaca dan dibalas.
Betul, hilang bukan berarti pergi selamanya. Yang meninggal pun tidak akan kembali lagi. Kepergian Wawan sudah kami relakan. Namun, kematian Wawan adalah perjuangan yang belum usai untuk saya, Bapak, dan khususnya Ibu.
Seandainya Wawan tidak ditembak, Ibu tidak akan berdiri diam di depan Istana Negara.
Seandainya negara mengakui kesalahan masa lalu, tidak akan ada aksi diam menuntut keadilan.
Seandainya Wawan tidak meninggal, cerita kehidupan keluarga kami akan berbeda.