Berusia 264 Tahun, Rumah Ini Jadi Rumah Tertua di Solo

Konten Media Partner
23 Maret 2022 18:07 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Rumah milik keluarga Martodinomo di Laweyan, Solo yang berusia 264 tahun. FOTO: Tara Wahyu
zoom-in-whitePerbesar
Rumah milik keluarga Martodinomo di Laweyan, Solo yang berusia 264 tahun. FOTO: Tara Wahyu
ADVERTISEMENT
SOLO - Sebuah rumah di kawasan Kampung Sayangan Wetan RT 01 RW 02 Laweyan, Solo ini disebut-sebut menjadi rumah tertua di Kota Solo.
ADVERTISEMENT
Berusia 264 tahun, rumah tersebut masih kokoh dan tidak banyak berubah dari bentuk aslinya.
Untuk menuju rumah yang diketahui milik keluarga Martodinomo ini, siapapun harus melewati gang-gang kecil di antara tembok-tembok bangunan lawas.
Salah satu keturunan Martodinomo, Dewi Waraswati (61), mengungkapkan jika di dalam rumah tersebut terdapat prasasti bergambar gajah naik bulan sabit.
"Nggak tahu artinya itu apa. Dalam prasasti tersebut juga ada tulisan, tapi tulisan Jawa. Ada juga angka 1758,” bebernya, Rabu (23/03/2022).
Tahun 1758 merujuk tahun pembangunan rumah di kawasan Kampung Batik Laweyan tersebut.
Sebagai informasi, usia rumah tersebut sebaya dengan Keraton Kasunanan Solo dan Benteng Vastenburg yang dibangun pada 1745, Pura Mangkunegaran yang didirikan pada 1757 dan Masjid Agung Solo yang dibangun pada 1768.
ADVERTISEMENT
Saat ini rumah itu ditempati 4 keluarga keturunan Martodinomo. “Kalau saya tahunya Simbah Martodinomo itu bapaknya simbah saya. Semestinya kan sudah ditempati keturunan ke berapa hingga sekarang.”
Martodinomo, kata Dewi, memiliki 10 anak dan awalnya tinggal seatap di rumah itu. Namun sebagian anaknya memilih pindah, usai mereka menikah.
“Dulu ramai sekali di sini karena sering buat kumpul keluarga besar. Saya memang sejak lahir tinggal di sini,” terang dia.
Bentuk asli rumah tersebut masih dipertahankan dan sudah dikategorikan sebagai bangunan cagar budaya di Kota Solo.
Salah satu ruangan di dalam rumah milik keluarga Martodinomo. FOTO: Tara Wahyu
Rumah berukuran 25 meterx10 meter itu masih berdinding kayu jati dan beratap kayu. Lantainya pun masih berupa batu bata.
Statusnya sebagai cagar budaya menjadikan Dewi tidak leluasa merenovasi kerusakan rumah.
ADVERTISEMENT
“Perbaikan harus ada izin pemerintah. Lantai tidak boleh diganti dengan keramik. Bahkan di sela-sela kayu tidak pakai paku tapi pasak.”
Bentuk atap Joglo pun tidak diubah. Di dalam rumah tidak tersedia ruangan permanen, karena hanya dipisahkan oleh sekat-sekat.
Selain bangunan utama, terdapat juga bangunan tambahan yang kini berfungsi sebagai tempat tinggal di samping kiri dan kanan.
“Dana perawatan ada, tapi dari pemerintah. Kalau dilakukan sendiri jelas kami tidak mampu, karena mahal dan harus hati-hati,” imbuh Dewi.
(Tara Wahyu)