Kisah Hananto Selama Jadi Pemulasaran Jenazah COVID-19, Dibentak dan Dikucilkan

Konten Media Partner
19 September 2020 17:35 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Enam bulan terakhir menjadi hari-hari berat bagi Hananto (38) selama bekerja di BPBD Kota Solo. Pasalnya, selama enam bulan, Hananto menjadi salah satu tim pemulasaran jenazah COVID-19 di Kota Solo
zoom-in-whitePerbesar
Enam bulan terakhir menjadi hari-hari berat bagi Hananto (38) selama bekerja di BPBD Kota Solo. Pasalnya, selama enam bulan, Hananto menjadi salah satu tim pemulasaran jenazah COVID-19 di Kota Solo
ADVERTISEMENT
SOLO - Enam bulan terakhir menjadi hari-hari berat bagi Hananto (38) selama bekerja di BPBD Kota Solo. Pasalnya, selama enam bulan terakhir, Hananto menjadi salah satu tim pemulasaran jenazah COVID-19 di Kota Solo.
ADVERTISEMENT
Berbekal pengalaman menguburkan jenazah, Hananto menjadi salah satu tim utama dalam penjemputan jenazah COVID-19 hingga penguburan jenazah COVID-19.
Tidak mudah memang bagi Hananto menjalani tugas yang sangat riskan bagi dirinya. Bahkan dirinya bisa kapan saja terpapar COVID-19. Namun, karena jiwa kemanusiaannya terpanggil, ia mengalahkan segala rasa takut di dalam dirinya.
Hananto (38)
"Ketika Solo dinyatakan KLB (Kejadian Luar Biasa) dan ada yang meninggal dunia dan belum tahu penanganannya, dan ini juga kejadian baru atau bencana non-alam saya dimintai tolong oleh Bapak Wali Kota saat itu. Karena panggilan jiwa, kemanusiaan saya setujui untuk memakamkan jenazah," cerita Hananto.
Selama enam bulan menjalani peran sebagai pengantar jenazah serta pemulasaran jenazah COVID-19, banyak hal yang ia alami terutama saat awal-awal pandemi COVID-19.
ADVERTISEMENT
Bapak dua anak itu menceritakan waktu pertama memakamkan jenazah, ia kaget lantaran tidak ada yang membantu dirinya dan rekannya untuk memakamkan jenazah.
Hananto bersama rekannya
Hal itu terjadi saat awal-awal KLB di Kota Solo, saat itu dirinya dan rekannya driver ambulance membawa jenazah ke TPU untuk dimakamkan, namun tidak ada orang yang di sana untuk membantunya menurunkan jenazah.
 "Di situ pun enggak ada orang yang mau membantu, saya hampir dua jam tidak ada yang mendekat. Saat itu saya hanya berdua, enggak kuat kalau cuma bawa berdua. Pihak koordinator TPU bilang jika takut, tapi dua jam akhirnya mau untuk membantu mengangkat jenazah walau hanya dua orang saja yang bersedia," ujarnya.
Selain itu, Hananto juga pernah mendapat perkataan kasar hingga warga yang membanting helm di depan mukanya. Ia mengungkapkan kejadian tersebut bermula saat dirinya mengambil jenazah di salah satu rumah sakit. Sebelum membawa jenazah ke TPU, Hananto bertanya kepada pihak rumah sakit apakah sudah ada tim yang menguburkan.
Tidak mudah memang bagi Hananto menjalani tugas yang sangat riskan bagi dirinya. Bahkan dirinya bisa kapan saja terpapar COVID-19. Namun, karena jiwa kemanusiaannya terpanggil, ia mengalahkan segala rasa takut di dalam dirinya
Sesampainya di TPU, ia tidak melihat adanya tim yang menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) yang akan memakamkan jenazah. Tidak melihat orang yang akan memakamkan jenazah, keluarga dari jenazah pun sempat marah kepada dirinya dan ingin membawa jenazah yang positif COVID-19 itu ke rumah.
ADVERTISEMENT
 "Karena enggak ada yang mau membantu menguburkan, keluarga sempat marah ke saya hingga membanting helm serta mengancam membawa jenazah pulang. Tapi saya ancam balik kalau mau bawa pulang nanti bisa kita kasuskan. Karena memang tidak boleh," ungkapnya.
Selama menjadi bagian dari tim gugus tugas di Graha Wisata Niaga saat masih digunakan sebagai tempat karantina, Hananto mengaku jarang bertemu dengan kedua anaknya yang masih kecil. Bahkan awal-awal dirinya bertugas tidak pulang ke rumah.
Hananto juga pernah mendapat perkataan kasar hingga warga yang membanting helm di depan mukanya. Ia mengungkapkan kejadian tersebut bermula saat dirinya mengambil jenazah di salah satu rumah sakit
"Awal-awal jarang pulang ke rumah karena anak-anak juga masih kecil. Dikucilkan tentunya, karena pekerjaan yang beresiko. Dulu juga tidak boleh datang ke pertemuan tapi ya tidak apa-apa," tambahnya lagi.
Meski begitu, Hananto merasa senang karena bisa membantu masyarakat banyak dan membutuhkan. Pekerjaan ini sudah ia geluti sejak 2004 saat tsunami Aceh beberapa tahun yang lalu. (Tara Wahyu)
Hananto merasa senang karena bisa membantu masyarakat banyak dan membutuhkan. Pekerjaan ini sudah ia geluti sejak 2004 saat tsunami Aceh beberapa tahun yang lalu