Produksi Batik di Solo Raya Diharapkan Jadi Pengungkit Ekonomi Usai Pandemi

Konten Media Partner
14 April 2021 20:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Perajin batik mendapat pelatihan dari Kantor Perwakilan Bank Indonesia Solo, Rabu (14/04)
zoom-in-whitePerbesar
Perajin batik mendapat pelatihan dari Kantor Perwakilan Bank Indonesia Solo, Rabu (14/04)
ADVERTISEMENT
SOLO-Produksi batik di Kota Solo dan sekitarnya diharapkan mampu menjadi mengungkit pertumbuhan ekonomi di sekitar kawasan tersebut. Selama ini batik memberikan kontribusi yang cukup besar bagi perekonomian di Solo Raya.
ADVERTISEMENT
"Secara nasional, industri batik mendapat prioritas pengembangan karena dinilai mempunyai daya ungkit besar dalam mendongkrak pertumbuhan ekonomi," Kata Kepala Perwakilan Bank Indonesia Solo, Nugroho Joko Prastowo, Rabu (14/4/2021).
Selama ini sektor fashion, termasuk batik,menempati posisi kedua dalam memberikan kontribusinya terhadap perekonomian. Pihaknya mencatat sektor kuliner memberikan kontribusi sebesar 41 persen terhadap perekonomian,sedangkan fashion berkontribusi 17 persen, dan kriya 15 persen.
Di Solo Raya, sekitar 200 ribu warga bekerja di sektor industri batik. Menurut Nugroho, pihaknya terus melakukan pendampingan kepada mereka. "Saat ini kami memberikan pelatihan produksi," katanya. Selanjutnya pihaknya juga akan memberikan pelatihan pemasaran.
Selain itu, pihaknya juga mendorong para perajin untuk membentuk komunitas sehingga mereka bisa berkembang bersama tanpa merasa bersaing. Menurut Nugroho, mereka juga mendorong agar perajin memilih untuk menggunakan batik warna alam untuk produksinya.
ADVERTISEMENT
"Sebetulnya kalau pakai bahan organik akan makin ramah dan nilainya menjadi lebih tinggi," katanya.
Sementara itu, salah satu perajin batik asal Matesih, Nyoto Mulyono mengakui bahwa perajin membutuhkan pendampingan seperti yang dilakukan Kantor Perwakilan Bank Indonesia Solo. "Agar kami bisa menyesuaikan pasar," katanya.
Selama ini para perajin lebih banyak memproduksi batik dengan motif-motif tradisional. Padahal, pasar lebih menginginkan motif-motif yang kontemporer dan kekinian.
(Tara Wahyu)