Bisakah Donald Trump Menekan Tiongkok?

Konten dari Pengguna
8 Juni 2020 7:56 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Benny Sudrata tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrator: Indra Fauzi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
ilustrator: Indra Fauzi/kumparan
ADVERTISEMENT
Akhir-akhir berbagai media baik cetak, online, maupun media elektronik memberitakan perseteruan dagang antara Tiongkok dengan Donald Trump. Saya tidak menggunakan istilah Amerika Serikat karena saya lebih melihat pada perilaku sosok Trump. Pada masa periode presiden-presiden sebelum Trump, masalah ini tidaklah menjadi masalah yang mendominasi media dunia.
ADVERTISEMENT
Untuk memulai tulisan ini saya menerjemahkan beberapa alinea dari buku yang berjudul The Roaring Nineties yang ditulis oleh Joseph E. Stiglitz, pemenang nobel ekonomi tahun 2001. Buku ini lebih banyak mengkritik kebijakan luar negeri ekonomi Amerika Serikat yang mungkin bisa memberi gambaran tambahan untuk mengetahui tindakan Trump terhadap Tiongkok dan bagaimana Tiongkok bereaksi terhadap tekanan Trump akhir-akhir ini.
Sebagai informasi tambahan, penulis buku ini pernah menjabat sebagai Kepala Penasihat Ekonomi Presiden Clinton. Kutipan dari buku tersebut:
ADVERTISEMENT
Pada dasarnya apa yang dikritik dan ditulis oleh Stiglitz ini merupakan doktrin ekonomi yang selalu "dipaksakan" Amerika Serikat (AS) untuk negara-negara lain terutama negara berkembang. Dan dapat kita lihat betapa kuatnya lobi Wall Street dalam menentukan kebijakan ekonomi AS yang ditujukan pada mitra-mitra dagangnya. Selama ini mereka berhasil mendikte negara-negara lain sebagai contoh: Negara-negara Eropa Barat dan Jepang selalu menuruti apa yang dikehendaki oleh AS termasuk di dalam kerja sama militer dalam menyerang Irak yang dituduh memiliki senjata pemusnah massal, yang ternyata tidak benar, sekarang Irak menjadi negara yang kacau.
Mengapa negara-negara tersebut begitu tunduk pada AS? Jawabnya adalah: Sebagaimana kita ingat pada saat selesai perang dunia ke dua, AS membentuk Marshall Plan untuk membantu pembangunan kembali Eropa Barat dan Dodge Plan untuk membantu pembangunan Jepang. Ini adalah salah satu faktor penting yang sampai sekarang mejadi beban utang budi mereka kepada AS. Bagaimana dengan Tiongkok? Apakah mereka mempunyai beban utang budi ke AS?
ADVERTISEMENT
Tiongkok tidak memiliki beban utang budi ke AS. Pada saat Tiongkok (bersatu) perang menghadapi Jepang, AS memang memberikan bantuan cukup besar kepada Tiongkok namun di dalam Tiongkok sendiri pada saat itu terdapat dua tokoh penting yang berbeda paham di dalamnya.
Mao Zedong dengan paham Komunis, Chun Can Tang dan Chiang Kai Sek dengan paham nasionalis Kao Min Tang. Di dalam perang dunia ke kedua, AS lebih menitikberatkan bantuannya, tentu saja yang non komunis, untuk untuk menanam budi agar kelak kalau perang sudah berakhir negara ini akan menjadi mitra yang penurut.
Rupanya AS dalam hal ini keliru memilih KUDA, sesudah Jepang menyatakan menyerah pada sekutu, terjadilah perang saudara sesama orang Tiongkok yang berbeda paham politik. Di dalam perang saudara ini AS tetap menunggang Kuda Nasionalis, AS memang tidak suka komunis dan khawatir Tiongkok akan jatuh ke dalam pelukan Uni Soviet.
ADVERTISEMENT
Pendek cerita perang saudara ini dimenangkan oleh komunis. Nasionalis lari tunggang langgang ke Pulau Formosa yang sekarang menjadi negara Taiwan. Taiwan ini sampai sekarang oleh Tiongkok dianggap sebagai Provinsi milik Tiongkok namun dengan dukungan dari AS dan beberapa sekutunya dianggap sebagai satu negara yang berdaulat.
Tiongkok juga tidak jatuh ke dalam pelukan Uni Soviet, karena Uni Soviet pada saat itu ekonominya juga mengalami kerusakan parah akibat perang dunia ke dua jadi tidak bisa membantu Tiongkok. Kesimpulannya Tiongkok bisa menjadi Tiongkok yang sekarang adalah hasil jerih payah mereka sendiri. Tanpa bantuan dalam artian yang bisa mengendalikan Tiongkok.
Balon-balon berterbangan saat parade militer di Tiananmen Square, Beijing, saat perayaan Hari Nasional Republik Rakyat Tiongkok. Foto: AFP/GREG BAKER
Pada tahun 1980, PDB AS adalah sebesar USD 2,86 triliun sedangkan Tiongkok pada tahun yang sama hanya USD. 305, 35 Miliar. Tiongkok masih dianggap sebagai negara yang tidak ada masa depan dengan paham komunisnya.
ADVERTISEMENT
Orang pada saat itu masih sering berpikir kemajuan negara kapitalis pasti akan lebih cepat daripada negara-negara yang berpaham komunis. Kegagalan negara-negara yang berpaham komunis dalam membangun kemakmuran bagi rakyatnya memang menunjukkan seperti itu, seperti Uni Soviet, Kuba, negara-negara Eropa Timur, Vietnam, Korea Utara, dan lain-lain.
Rupanya perubahan-perubahan cepat tatanan dunia pada abad ke 20 dan 21 mengubah pandangan itu. Dengan kebangkitan ekonomi di Tiongkok yang sangat hebat, sebagai perbandingan PDB AS pada 2019 adalah USD 21,44 triliun dan Tiongkok menduduki tempat kedua dengan PDB 14,14 triliun.
Sebagai pembanding saja, Jepang menduduki tempat ke-3 dengan PDB USD 5,15 triliun. Kalau PDB dengan perhitungan PPP (Purchasing Power Parity) PDB AS adalah USD 21,44 triliun dan Tiongkok adalah USD 27,31 triliun. Jadi jika digunakan PPP maka AS sudah ketinggalan.
ADVERTISEMENT
Tiongkok di dalam mengelola perekonomiannya dilakukan secara terpusat, kontrol pemerintah sangat kuat melalui BUMN-BUMN-nya sedangkan di AS perencanaan ekonominya didasarkan pada “MEKANISME PASAR”, intervensi pemerintah hanya melalui kebijakan-kebijakan untuk menjaga agar mekanisme pasar bisa berjalan secara efisien.
Apa yang terjadi dengan AS adalah mekanisme pasar yang dikehendaki sering tidak berjalan seperti yang mereka kehendaki karena banyaknya ulah spekulan.
Saya mengatakan demikian karena pada kenyataannya ekonomi domestik AS sudah sulit untuk tumbuh. Salah satu kesulitan ini adalah karena banyaknya instrumen-instrumen keuangan modern yang sudah lama mereka gunakan yang menyebabkan pendapatan golongan menengah dan bawahnya“SUDAH DIIJON”. Begitu mereka gajian langsung sudah habis dipotong utang, dari utang untuk sekolah, utang cicilan rumah, utang pembelian kendaraan, membayar internet, membayar Netflix, membayar listrik, membayar asuransi dan yang paling parah adalah utang Kartu Kredit.
ADVERTISEMENT
Pola belanja ini menyandera pertumbuhan ekonomi domestik AS. Dengan melihat keadaan seperti ini maka kita bisa menarik kesimpulan konsumsi domestiknya sudah sulit bisa tumbuh. Kalau konsumsi domestiknya sudah kurang bisa diandalkan maka AS harus mencari pasar untuk memperluas akses untuk menjual barang-barangnya ke luar negeri.
AS melihat pasar terbesar ada di Tiongkok dengan jumlah penduduk yang besar dan pendapatan per kapitanya lumayan tinggi dan masih akan tumbuh lagi. Supaya bebas mengambil keuntungan di dalam bersaing maka Tiongkok harus membuka pasarnya buat produk-produk AS. Seperti biasanya, norma yang akan diterapkan adalah, apa yang dikritik oleh Stiglitz (seperti yang tertulis pada alinea pembukaan), doktrin ekonomi AS harus diterima.
Namun tentu saja tidak semudah itu untuk mendikte Tiongkok. Beberapa kali Tiongkok dituduh memanipulasi “KURS MATA UANG YUAN TERHADAP DOLAR AS”. Sebagai gambaran bagaimana AS memaksakan kehendaknya untuk melakukan apresiasi mata uang mitra dagangnya, tahun 1985-1995, mata uang Jepang terapresiasi 200%, demikian juga, Mark Jerman Barat mengalami hal yang sama (walaupun ini bukan satu-satu nya faktor).
ADVERTISEMENT
Yuan (mata uang Tiongkok) memang kursnya di kaitkan dengan dolar AS namun demikian berapa nilai kurs akan ditentukan, tergantung dari perhitungan Bank Sentral Tiongkok yang tidak bisa diintervensi oleh negara lain.
Kontrol devisa yang dilakukan oleh Tiongkok sangat efektif untuk menentukan kurs mata uangnya terhadap dolar AS, spekulan mata uang tidak bisa menggoreng Yuan. Dengan memiliki cadangan devisa USD 3,09 triliun (2019) dan ekspor sebesar USD 2,494 triliun per tahun, maka posisi Yuan sangat kuat untuk bisa digoyang oleh spekulan pasar uang (jika seandainya mereka menganut pasar terbuka).
Bagaimana dengan AS? Karena mata uang AS diperlakukan menjadi cadangan resmi pemerintahan negara lain dan praktis sudah menduduki posisi sebagai mata uang jangkar dunia maka mereka bisa mencetak uang sesuai dengan “kebutuhan” yang mereka perlukan.
ADVERTISEMENT
Hal ini menjadi kekhawatiran Tiongkok juga untuk melepas mata uangnya untuk menguat. Cara Tiongkok mengelola mata uangnya tidak dapat diketahui secara jelas, saya hanya menduga Tiongkok akan sangat berpegang teguh pada keamanan ekonomi domestiknya dengan tetap mempertahankan diri sebagai production power house untuk dunia dengan membuat barangnya selalu tetap bisa bersaing, kalau tidak mau kita katakan paling murah.
Saat sekarang Tiongkok dengan PDB USD 14,14 triliun dan diversifikasi barang yang dihasilkan sangat bervariasi, dari agribisnis, barang-barang keperluan rumah tangga, handphone, dan lain-lain sudah sangat maju saya kira akan sulit buat AS bisa menyelesaikan sengketa perdagangan dengan Tiongkok selama AS mau memaksakan kehendaknya seperti yang mereka lakukan pada negara kecil yang lemah dan negara-negara yang mempunyai utang budi sejarah.
ADVERTISEMENT
Trump belakangan ini terlihat frustasi deal dengan Tiongkok dan akhir-akhir ini menuduh COVID-19 direkayasa oleh Tiongkok untuk menggoyang dunia. Tidak berhasil dengan tuduhan tersebut Trump menuduh WHO sebagai anteknya Tiongkok.
Kasus Hongkong yang baru saja harus menerima undang-undang Tiongkok mengenai keamanan Hongkong, AS mengecam dengan keras hal tersebut.
Trump tidak akan merasa malu dengan kasus yang terjadi di negaranya sendiri menggunakan kekerasan untuk mengatasi demo secara damai, dengan senjata. Akhir-akhir ini urusan pajak bisnis internetnya yang menjarah negara lain mau dipajaki, Trump ribut dengan ancaman-ancaman dengan mengatakan “FAIR TRADE”. Selama yang dimaksud dengan Fair Trade adalah AS bebas bersaing di dalam negara orang lain dan melihat level ekonomi yang lebih rendah dari negara lain sebagai keunggulan mereka maka yang terjadi adalah: PEMERASAN.
ADVERTISEMENT
Menurut pendapat saya kasus sengketa perdagangan antara AS dengan Tiongkok nampaknya tidak akan dapat diselesaikan dalam waktu dekat kalau pendekatannya dengan cara-cara konvensional dan dengan tujuan HEGEMONI. Tiongkok pada saat PDB-nya hanya USD 305,35 miliar saja tidak bisa ditekan apalagi sekarang dengan PDB USD 14,14 Triliun.
Selain kekuatan ekonomi mereka berdua cukup berimbang dan kekuatan ekonomi mereka berdua sudah cukup lama saling tergantung satu sama lain. Selama ini rakyat AS mendapatkan barang yang berharga murah dari Tiongkok dan sebaliknya Tiongkok bisa menumpuk cadangan devisanya menjadi sangat besar juga sebagian dari hasil perdagangannya dengan AS. Surat utang AS juga banyak dimiliki oleh Tiongkok, Tiongkok itu jadi krediturnya AS. Tatanan dunia yang lebih “ADIL” dengan ukuran dunia baru yang saling menghargai martabat kemanusiaan, bukan didasarkan pada mau menang sendiri dan menciptakan permusuhan dengan mengandalkan kekuatan militer. AS dan Tiongkok sama-sama mempunyai tugas mulia untuk menciptakan kemakmuran dan perdamaian dunia.
ADVERTISEMENT
Sebagai penutup tulisan ini saya mau mengutip kata-kata Napoleon Bonaparte 200 tahun yang lalu: “CHINA IS SLEEPING LION. LET HER SLEEP, FOR WHEN SHE WAKE UP SHE WILL SHAKE THE WORLD”.
Dan saya kutip juga kata-kata Xi Jin Ping (Presiden Tiongkok saat ini) yang sangat simpatik pada saat dia berkunjung Paris: ”WORLD HAS NOTHING TO FEAR FROM AWAKENINGPEACEFULL LION’.
ilustrator: Indra Fauzi/kumparan