Facebook dan Sampah yang Diciptakan

Konten dari Pengguna
29 Juni 2020 9:33 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Benny Sudrata tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan
ADVERTISEMENT
Setidaknya sudah 90 perusahaan berhenti beriklan di Facebook yang dianggap tidak bisa mengelola konten HATE SPEECH dan HOAX.
ADVERTISEMENT
Sejak pertama kali menggunakan Facebook (sekarang sangat jarang), saya berpendapat inilah bentuk demokrasi berpendapat yang sangat keterlaluan di mana semua orang bisa menuliskan apa yang dia mau: Tanpa sensor, tanpa mengindahkan tata krama, dan tanpa merasa bersalah dengan tulisannya.
UU ITE yang sudah ada pun kurang efektif bila semua pengguna melakukan pelanggaran. Volume pelanggaran sudah sedemikian masif, aparat penegak hukum pun akan tidak berdaya memproses semuanya sehingga terpaksa melakukan tebang pilih.
Banyak sekali peperangan cyber sudah, sedang, dan masih akan terjadi dengan menggunakan platform itu. Bentuknya berupa HOAKS, fitnah, ujaran kebencian dan lain-lain yang masuk ke dalam kategori kriminal dalam bentuk tulisan singkat atau gambar yang tanpa sensor menyelonong ke ruang publik.
ADVERTISEMENT
Saya membandingkan dengan beberapa jenis usaha yang berusaha untuk mendapatkan laba, misalnya perusahaan CPO. Dampak buruk yang ditimbulkan karena usaha ini ditanggulangi dengan kewajiban melakukan reboisasi sebagai tanggung jawab dari lingkungan yang dirusaknya sebagai imbalan untuk melestarikan hutan yang mereka gunduli untuk pembukaan lahan perkebunan.
Perusahaan-perusahaan kimia yang memproduksi barang keperluan rumah tangga atau industri juga dikenai aturan untuk menjaga limbahnya agar tidak mencemari lingkungan di mana proses produksinya dilakukan.
Perusahaan pembangkit tenaga listrik dengan menggunakan bahan nuklir dikenai banyak aturan-aturan yang mengharuskan untuk menjaga keamanan lingkungan agar tidak terganggu oleh radiasi nuklir.
Dan masih banyak lagi jenis usaha yang diatur agar tidak mengakibatkan kerusakan lingkungan yang akan berakibat rusaknya penghidupan manusia.
ADVERTISEMENT
Masih hangat di dalam ingatan kita bagaimana kebocoran pembangkit tenaga listrik tenaga nuklir yang terjadi di Chernobyl, Rusia. Kerusakannya tidak dapat diperbaiki, tingkat radiasinya hingga hari ini pun masih tinggi. Wilayah itu menjadi kota mati.
Bencana yang disebabkan oleh bahan kimia Union Carbide di Bhopal, India, yang mengakibatkan kematian ribuan orang dan yang masih hidup mendapatkan beban penyakit yang tidak tersembuhkan sampai sekarang. Kalau kita ungkap semuanya mungkin masih banyak lagi.
Apa yang saya ingin ungkapkan adalah: Apakah platform Facebook sebagai perusahaan yang beroperasi untuk mencari keuntungan tidak mempunyai tanggung jawab yang sama dengan perusahaan-perusahaan yang baru saja saya jelaskan?
Di sini saya akan berusaha membawa pembaca untuk melihat apa saja yang telah Facebook buat untuk dunia yang seharusnya kita bisa tuntut minta ganti rugi seandainya kita dirugikan.
ADVERTISEMENT
Banyak sekali human traficker melalui iming-iming, janji-janji, dan komunikasinya menggunakan Facebook untuk menjaring anak-anak muda sebagai sumber untuk merekrut mangsanya. Tanpa setahu orang tuanya.
Orang tua tahu anaknya menjadi korban human traficking setelah semuanya terlambat. Facebook bisa saja berdalih, kami hanya menyediakan tempat untuk berkomunikasi, risiko tanggung sendiri.
Kalau alasan demikian bisa kita terima, apa bedanya dengan kita membebaskan rumah bordir. Pemilik rumah bordir pun bisa beralasan yang sama: Saya hanya menyediakan sarana, kamu mau menjadi wanita penghibur atau tidak adalah tanggung jawab kamu sendiri.
Seharusnya orang tua yang anaknya menjadi korban human traficking bisa menuntut Facebook yang sudah memberikan ruang untuk kegiatan human traficking bisa dilakukan.
ADVERTISEMENT
Kalau saja Facebook tidak ada maka semua kegiatan si anak tersebut harus melalui tatanan sosial yang ada, di mana anak tersebut tinggal. Kontrol formal dan sosial akan berjalan melalui camat, lurah dan orang tuanya. Kalau kontrol ini berjalan saya berpendapat kemungkinan human traficking sangat mungkin bisa kita tekan.
Demikian juga halnya dengan kasus-kasus prostitusi online, jualannya banyak sekali dengan menggunakan Facebook seperti banyak orang menjual barang dijajakan dengan memakai Facebook.
Kalau yang dijajakan adalah barang-barang yang halal, itu baik, tapi kalau yang dijual adalah service kenikmatan yang tidak halal maka perdagangan itu harus ditutup.
Ini harus menjadi tugas Facebook untuk bisa menyeleksi konten-konten yang melanggar hukum untuk bisa tidak ditayangkan. Bagaimana caranya? Itu urusan mereka, jangan mencari untung dengan menjual tempat-tempat yang tidak senonoh dan membuat korban berjatuhan tanpa ada tanggung jawab dari mereka. Belum lagi, akibat dari banyaknya kejadian-kejadian kriminal yang diakibatkan adanya platform Facebook, membuat sibuk aparat penegak hukum untuk menanggulanginya. Biaya ini seharusnya Facebook yang menanggung bukan pemerintah Indonesia.
ADVERTISEMENT
Kerusakan yang ditimbulkan di bidang-bidang lain pun sangat masif. Kerusuhan-kerusuhan di beberapa tempat di belahan dunia pun banyak terjadi dengan menggunakan Facebook. Cyber war banyak menggunakan platform ini.
Saya membandingkan Facebook dengan pabrik senjata di USA. Untuk mempromosikan supaya senjatanya laku terjual maka harus ada perang atau konflik bersenjata, demikian juga dengan Facebook.
Agar penggunanya naik terus maka harus ada isu-isu yang provokatif ditiupkan ke publik supaya terjadi silang pendapat memancing orang untuk berdebat tanpa ada tujuan, buat apa perdebatan itu harus diperdebatkan. Dia memanfaatkan kelemahan manusia.
Menurut Oprah Winfrey, selama pengalaman tiga puluh tahun lebih, dia mewawancarai siapa pun dari level tertinggi suatu negara sampai dengan rakyat jelata, SEMUANYA INGIN DIDENGAR DAN DILIHAT. Dengan Facebook, orang terpenuhi keinginannya dalam dua hal tersebut tidak peduli berguna atau tidak, merusak atau tidak, atau merugikan atau tidak merugikan. Kebetulan acara-acara Oprah Winfrey dia pandu sendiri, jadi dia bisa melakukan sensor, sehingga hal-hal yang merusak bisa dia kendalikan.
ADVERTISEMENT
Seharusnya itulah yang harus dilakukan oleh Facebook. Tidak membiarkan konten-konten menjadi liar dan merusak dan menjadi tempat orang membuang sampah caci maki biar dibaca oleh khalayak ramai. Ini menjadi tanggung jawab pemilik platform untuk melakukan koreksi, jangan hanya mengambil untung saja tapi tidak melakukan tanggung jawab dari akibat-akibat yang terjadi karena operasi mencari untungnya. INI TIDAK BERMORAL.
Pada tahun 1970/1980 an pada saat pesawat TV populer, banyak sekali pakar komunikasi, sosiologi dan psikologi merasa khawatir dengan apa yang terjadi pada saat itu. Di mana pada saat itu biasanya satu rumah hanya memiliki satu pesawat TV.
Kalau menonton TV, sering tetangga yang tidak mempunyai TV ikut nebeng nonton di tempat tetangga. Kelihatannya semua orang berkumpul dan menonton tapi di dalam kerumunan itu tidak terjadi komunikasi di antara mereka, baik anggota keluarga pemilik TV maupun tetangganya. Jadi semua orang terbawa dengan acara TV dan mempunyai pendapat sendiri-sendiri di dalam benaknya masing-masing, pada saat itu gejala ini populer dinamakan terjadinya ATOMISASI KELURGA.
ADVERTISEMENT
Dan muncul pula istilah WATCHING CULTURE, orang hanya pasif saja untuk menonton TV, dilolohi (dicekoki) oleh acara-acara yang ditayangkan di dalam TV. Jadi ada dua hal yang menjadi concern dari pakar-pakar yang saya sebutkan di atas.
Watching culture, mengakibatkan orang menjadi pasif berpikir, karena semua terbawa oleh acara-acara TV, komunikasi di antara anggota keluarga hilang, atomisasi keluarga. Tapi di dalam setelah sekian lama TV hadir gejala itu tidak terjadi seperti apa yang dikhawatirkan oleh para pakar tersebut. Nah! Di sinilah peran KPI besar sekali di dalam mengawasi materi yang disiarkan oleh TV.
KPI berperan layaknya lembaga sensor untuk mengurangi dampak buruk kehadiran TV. Batasan agama, etika, moral dan budaya dijadikan sebagai norma untuk melakukan sensor. Hal ini masih berlaku sampai sekarang.
ADVERTISEMENT
Bagaimana dengan kehadiran Facebook? Banyak kita dengar dan saya sering membaca juga komentar di Facebook yang SANGAT TIDAK ELOK untuk ditiru.
Penghinaan pada kepala negara sudah beberapa kali terjadi, walaupun beberapa sudah dijatuhi hukuman. Ibu rumah tangga, yang naksir lelaki lain yang bukan suaminya pun ada di Facebook dan dibaca oleh publik.
Perdebatan-perdebatan yang sama sekali tidak membawa manfaat cukup banyak terdapat di Facebook. Perselingkuhan keluarga pun muncul di Facebook. Masalah sengketa utang-piutang pun muncul di Facebook. Saling rayu-merayu pun muncul di Facebook. Penipuan-penipuan menggunakan Facebook pun banyak terjadi.
Betapa enaknya Mark Zuckerberg mendapatkan keuntungan dari konten-konten yang tanpa sensor dan dibuat oleh pengguna Facebook. Di mana media-media mainstream harus banting tulang membuat konten-konten bermutu dengan sensor yang sangat ketat dari Chief Editor-nya agar sesuai dengan standar jurnalistik ditambah lagi harus keluar uang untuk membiayainya.
ADVERTISEMENT
Kita bisa bayangkan kalau dalam satu bulan ribuan fitnah yang dibuat di Facebook mengakibatkan terjadinya sengketa hukum, apakah aparat penegak hukum kita mampu menangani perkara-perkara tersebut? Nah! Di dalam melakukan penegakkan hukum ini dibutuhkan biaya yang tidak kecil, masak harus pemerintah Indonesia yang mengeluarkan? (saya mengulang hal ini agar menjadi perhatian kita bersama)
Kasus-kasus seperti ini mirip dengan apa yang terjadi pada bisnis sektor riil yang sudah saya uraikan dalam alinea sebelumnya. Kalau untuk industri sektor riil kerusakan yang ditimbulkan nampak jelas sehingga proses hukumnya lebih mudah. Di dalam kasus kerusakan yang ditimbulkan oleh Facebook memang sukar diukur, namun berdampak sangat nyata dan berakibat pada rusaknya norma, etik, moral, budaya dan tatanan sosial yang berlaku, serta menggerogoti standar prikehidupan umat manusia.
ADVERTISEMENT
Menurut pendapat saya apa yang dilakukan oleh beberapa perusahaan yang menghentikan beriklan menggunakan Facebook adalah tindakan yang sangat saya hormati. Namun demikian saya anggap masih kurang cukup. SEHARUSNYA TINDAKAN INI DILAKUKAN PADA LEVEL NEGARA-NEGARA DI DUNIA, agar masyarakat menjadi lebih baik dan lebih jauh dari kegaduhan dan adu domba.
Kalau pada era TV ada kekhawatiran munculnya WATCHING CULTURE dan ATOMISASI KELUARGA, maka untuk FACEBOOK SAYA KHAWATIR MUNCULNYA “TEXTING HOAX AND HATE SPEECH CULTURE”. Atau mungkin sekarang sudah berjalan?
Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan