news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Internasionalisasi Facebook dan Google

Konten dari Pengguna
11 Januari 2021 8:02 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Benny Sudrata tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Google Foto: Google
zoom-in-whitePerbesar
Google Foto: Google
ADVERTISEMENT
Akhir-akhir ini banyak orang sangat prihatin dengan perkembangan negatif teknologi informasi yang menggunakan platform GOOGLE dan FACEBOOK. Kita bisa melihat bagaimana kegiatan terorisme, human trafficking, pornografi, penyebaran HOAKS untuk tujuan politik dan menciptakan keresahan sosial dan lain sebagainya yang berakibat terjadinya peperangan dan keresahan sosial di beberapa negara, walaupun kita tidak bisa juga menafikan dampak positif dari kehadiran teknologi informasi ini.
ADVERTISEMENT
Contoh yang paling mutakhir adalah: Apa yang dilakukan oleh Donald Trump. Dengan menggunakan Facebook, Twitter, dan media sosial lainnya membakar sentimen pengikutnya menjadi beringas. Sampai-sampai negara adidaya dan adidemokrasi dipermalukan oleh kelakuan orang-orang anarko yang saya bisa katakan seratus persen karena membaca atau mendengarkan provokasi yang diciptakan oleh Donald Trump dan diamplifikasi oleh platform-platform yang ada pada saat ini.
Kalau kita mau melihat sedikit ke belakang, destabilisasi di Mesir, Libya, Tunisia, dan beberapa negara lainnya yang sampai saat ini sudah menjadi NEGARA GAGAL pada saat terjadinya Arab Spring adalah sebagian besar ada andilnya platform-platform semacam Facebook dan Google ini.
Saya pribadi tidak terlalu sepaham dengan cara-cara informasi diliberalkan dengan platform-platform tersebut. Cara-cara media mendesiminasi berita pada dasarnya adalah sama untuk tujuan kebaikan dunia dan peradaban umat manusia, termasuk di dalamnya sebagai salah satu pilar terjaganya demokrasi yang sehat. Teknologi dan cara penyampaiannya boleh berubah tapi misi sakral media harus tetap pada pakem yang saya baru saja sebutkan.
ADVERTISEMENT
Kalau misi sakral itu harus diubah karena alasan-alasan perubahan teknologi maka ROH MEDIA menjadi hilang. Di dalam tulisan saya kali ini saya akan mengajak sidang pembaca untuk merenungkan apa yang terjadi selama ini, setelah facebook dan google sudah melecehkan media-media tradisional dengan teknologinya.
Di dalam perdagangan internasional, keluar-masuk barang dari satu negara ke negara lainnya diatur oleh WTO atau diatur secara bilateral atau antara kawasan blok perdagangan. Aturannya pun cukup rumit, mulai dari masalah karantina barang-barang pertanian dan peternakan, pemeriksaan mutu barang sampai dengan standar-standar yang ditetapkan secara sepihak oleh negara-negara pembeli maupun negara penjual. Kesemuanya ini di bawah naungan Perserikatan Bangsa Bangsa, PBB. Keluar masuknya tenaga kerja asing atau turis asing pun diawasi dengan sangat ketat dengan peraturan peraturan internasional. Tujuan dari peraturan-peraturan itu semuanya menuju agar terjaganya ketertiban dunia dan keadilan bagi semua negara dan pada ujungnya adalah keadilan bagi seluruh penduduk dunia.
ADVERTISEMENT
Kalau di dalam pengawasan lalu lintas barang, hewan dan makanan adalah untuk menjaga agar tidak ada penyakit, virus atau bahan-bahan berbahaya masuk ke dalam suatu negara tanpa bisa dicegah maka apakah pengawasan ini juga bisa dilakukan dalam hal lalu lintas informasi?
Pada saat platform facebook dan google belum ada, media masih berupa media cetak, televisi atau radio. Cara-cara penyampaian berita dan pembuatan konten dari media diawasi dengan sangat ketat dengan berbagai perangkat peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintahan di masing-masing negara di mana media itu berada.
Asosiasi-asosiasi yang berkaitan dengan media pun diisi oleh orang-orang yang mempunyai idealisme tinggi dalam hal menjaga keberadaan media supaya sehat dan membawa manfaat untuk umat manusia. Keuntungan materi bukan menjadi satu-satunya tujuan di dalam bermedia. Saya di sini tidak membahas media yang keberadaannya di bawah kontrol pemerintah seperti di China, Korea Utara dan beberapa negara yang melakukan kontrol terhadap media (media digunakan sebagai corong pemerintahannya).
ADVERTISEMENT
Sebelum adanya platform-platform media seperti facebook dan google, dunia lebih bersih dari HOAKS dan Misinformasi. Dengan kurangnya hoaks dan misinformasi dunia semakin lebih stabil. Di sini kita bisa melihat setelah peran platform-platform media menjadi andalan untuk penyebaran berita maka diseminasi berita menjadi lebih cepat dan dengan daya jangkau yang lebih besar termasuk hilangnya batas-batas kedaulatan negara.
Konten berita keluar-masuk dari satu negara ke negara lainnya tanpa bisa dikontrol seperti kontrol yang dilakukan untuk mengawasi lalu lintas barang atau lalu lintas manusia. Yang sering terjadi adalah “take down” oleh otoritas pemerintahan setempat namun beritanya sudah menyebar ke mana-mana dan bisa direplikasi dan disebarkan ulang dengan media digital.
Kalau pengawasan yang dilakukan seperti ini maka bisa saya katakan, ini sama sekali tidak efektif. Apalagi untuk negara-negara yang tingkat teknologi yang mereka miliki tidak memadai, maka negara yang bersangkutan menjadi sangat kesulitan untuk menghadapi serbuan hoaks dan Media Informasi yang difasilitasi oleh platform-platform media yang ada.
ADVERTISEMENT
Lantas pertanyaan yang timbul di benak saya: apa yang harus dilakukan oleh negara-negara miskin untuk menghadapi serbuan-serbuan hoaks dan misinformasi jika hal ini menimpa negaranya?
Ilustrasi platform Google. Foto: Dado Ruvic/Reuters
Saya bisa mengatakan negara-negara seperti ini akan menjadi bulan-bulanan negara besar untuk digoyang dan dilecehkan melalui hoaks dan misinformasi. Platform-platform yang sekarang ada sudah menjadi tempat untuk orang-orang membuat konten, bisa konten baik dan bermutu namun bisa juga konten-konten yang sifatnya akan membuat destabilisasi politik dan merusak tata krama yang ada di negara yang bersangkutan tanpa sensor jurnalistik yang sehat. Ini yang saya sebut dengan ANARKI INFORMASI.
Kalau lalu lintas barang atau orang/tenaga kerja untuk bisa keluar masuk suatu negara dikenai bea masuk dan mungkin pajak-pajak lainnya, dalam hal lalu lintas konten yang terjadi adalah sebaliknya, pengguna platform dengan berbagai cara dikenai biaya oleh penyelenggara platform.
ADVERTISEMENT
Walaupun kontennya bisa merusak konsumen konten yang bersangkutan atau malah lebih parah lagi bisa membuat suatu negara mengalami destabilisasi politik dan sosial seperti yang terjadi pada saat Arab Spring. Celakanya platform-platform itu selalu berdalih, kontennya bukan mereka yang membuat jadi bukan tanggung jawab mereka. Ini dalih yang absurd! Mereka mempunyai andil besar di dalam penyebarannya walaupun mereka bukan pembuat konten.
Dengan adanya platform-platform penyebar konten ini yang mereka rusak bukan hanya pada level individu tetapi sudah mencapai level negara dibuat tidak berdaya untuk mengendalikannya.
Ketidakberdayaannya tidak hanya di dalam mengendalikan konten-konten yang buruk tetapi banyak sekali yang terjadi juga di dalam menanggulangi akibat-akibat yang terjadi, banyak sekali munculnya tuntutan-tuntutan hukum yang terjadi karena efek hoaks dan misinformasi atau saya sebutkan sebagai sampah yang diciptakan akibat keberadaan platform-platform digital sekarang ini yang membuat pekerjaan ekstra bagi aparat penegak hukum. Dari mulai penyebaran video porno, hasut menghasut, sampai dengan perseteruan politik semua laporan ke Polisi dan diproses di pengadilan. Kalau volume laporannya sudah sangat banyak maka aparat penegak hukum pun menjadi kewalahan untuk melayani. Kejadian seperti ini betul-betul menguras tenaga dan pikiran serta biaya yang cukup besar. Sampai-sampai Menkominfo pada suatu acara di televisi mengatakan secara tersirat bahwa kita sudah tidak berdaya untuk menanggulangi sampah yang diciptakan oleh kegaduhan yang diciptakan oleh konten yang disebarkan oleh platform-platform media digital ini.
ADVERTISEMENT
Kekuatan yang sangat dahsyat yang dimiliki oleh platform-platform digital semacam Facebook dan Google ini saya kira harus ada yang bisa mengendalikannya karena apa yang mereka lakukan selain merampok penghasilan dari negara-negara lain mereka juga memiliki potensi untuk merusak dinamika di dalam negeri di mana mereka beroperasi. Pada saat ini bisnis digital masih belum diatur di dalam kerja sama WTO sehingga mereka dengan seenak perutnya bisa melakukan apa saja seperti yang mereka inginkan.
Apakah data pribadi pengguna tidak disalahgunakan oleh mereka? Siapa yang bisa tahu. Tidak pernah ada satu pun lembaga independen yang pernah melakukan audit terhadap mesin-mesin mereka. Mereka bisa saja mengatakan data kita mereka encrypt secara end to end. Itu kata mereka! Kebenarannya kita tidak pernah tahu. Apakah negara di mana pemilik platform ini berada tidak bisa menggunakan untuk kepentingan mata-mata? Kita juga tidak bisa tahu. Kita sebagai pengguna merasa nyaman menggunakannya dengan tanpa hak untuk mengetahui apakah data pribadi kita tidak disalahgunakan.
ADVERTISEMENT
Hal-hal seperti inilah yang membuat saya khawatir. Dan hal ini pasti juga sudah menjadi pemikiran banyak negara lain juga namun tidak berdaya untuk melakukan sesuatu untuk melindungi negara mereka. PBB sendiri juga kelihatannya tidak terlalu peduli dengan keadaan ini. Untuk melindungi kepentingan ketertiban dunia dan umat manusia dari penghisapan mereka. Mereka mendapatkan keuntungan dari penderitaan orang-orang yang tinggal di negara-negara yang sosial politiknya tidak stabil (yang mudah dibuat keruh).
Dengan semakin keruh suatu negara mereka semakin mendapatkan trafik dan mendapatkan uang dari tingginya trafik. Mereka menghindari pajak dari negara-negara di mana mereka beroperasi. Walaupun terakhir ini indonesia sudah memajaki mereka namun kalau kita teliti lebih jauh, pajak itu digeser ke konsumen pemakai platform mereka, jadi pada akhirnya kita juga yang membayar. Keadaan yang tidak adil inilah yang harus diubah, pemajakan seharusnya bukan menggunakan Pajak Pertambahan Nilai yang membebani konsumen. Harus menggunakan mekanisme pajak lainnya yang saya sendiri pada saat ini masih belum tahu pajak apa?
Ilustrasi Facebook. Foto: Reuters/Valentin Flauraud
Kalau masalah-masalah ini tidak dapat diselesaikan pada level negara berhadapan dengan platform-platform yang sudah mencengkeram dunia ini maka jalan keluarnya adalah: harus dilakukan dengan MEMBERDAYAKAN PEMERINTAH MELALUI INTERNASIONALISASI platform-platform yang berbahaya ini. Kalau dilakukan Internasionalisasi maka perusahaan-perusahaan ini akan di bawah PBB sama halnya dengan pengendalian penyakit semacam COVID-19. Platform-platform ini saya anggap lebih jahat dari Covid-19. Kalau covid-19 menginfeksi manusia yang bisa membawa kematian. Kalau hoaks dan misinformasi akan membawa perang dan kerusuhan serta rusaknya tatanan sosial karena banyaknya racun penyebar kebencian, kebohongan, pornografi, human trafficking dan lain-lainnya, yang diciptakan oleh adanya platform ini kalau tidak bisa dikendalikan oleh manusia.
ADVERTISEMENT
Kebanyakan negara demokrasi akan kesulitan menanggulangi efek negatif yang ditimbulkan karena alasan biaya, infrastruktur dan suprastruktur yang mereka miliki kurang memadai. Dengan adanya Internasionalisasi platform-platform raksasa ini kita lebih bisa merasa lega karena semua negara anggota PBB akan ikut di dalam pengendalian efek negatif yang ditimbulkan oleh platform-platform ini. Pengendalian penyebaran hoaks dan misinformasi yang sudah melanggar kedaulatan suatu negara harus dapat dikendalikan. Kalau tidak dapat dikendalikan maka yang terjadi adalah CYBER WAR dengan menggunakan sistem senjata informasi! Yang lebih berbahaya dalam jangka panjang yang akan menciptakan negara gagal seperti yang dialami oleh Libya, Afghanistan dan Somalia serta beberapa negara lain yang sedang berkecamuk dengan perang saudara.
Sebagai perbandingan saja walaupun di dalam beberapa hal saya tidak sepaham dengan negara China. Di China karena lalu lintas informasi dikendalikan pemerintah dan perangkat platform asing diharamkan beroperasi di sana maka beban kriminal yang terjadi yang disebabkan keberadaan platform-platform asing boleh dikatakan tidak terjadi. Negara mereka lebih bisa membangun perekonomian dengan tanpa banyak gangguan dari ulah pembuat konten jahat yang menyebar ke mana-mana.
ADVERTISEMENT
Sebagai kesimpulan dari tulisan ini, seperti yang sudah saya uraikan di atas, dengan kemampuan yang sangat dahsyat (penggunanya mencapai 1,5 miliar-2 miliar) platform-platform ini sudah menjadi monster diktator penyebar informasi. Dengan hanya mengubah beberapa algoritma maka beberapa negara akan menjadi kacau balau dibuatnya. Jadi menurut pandangan saya monster-monster ini harus dikendalikan.
Mereka bisa membuat bisnis, politik dan penghidupan sosial dunia sesuai dengan apa yang mereka inginkan tanpa ada pihak ketiga yang bisa mengendalikan kalau tetap dibiarkan seperti ini terus. Ini bukan bisnis normal untuk mencari keuntungan. Ini bisnis yang bisa menjadi alat politik, alat mengubah budaya dan alat untuk merusak tatakrama dunia. Jadi harus dilakukan Internasionalisasi.