Kita Sudah Memilih Opsi Tidak Melakukan Total Lockdown

Konten dari Pengguna
14 September 2020 9:17 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Benny Sudrata tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Menghadapi pandemi COVID-19, kita tidak melakukan total lockdown karena biayanya sangat besar dan kerusakan ekonomi dan sosial yang akan ditimbulkannya sangat menakutkan.
ADVERTISEMENT
Saya kira pilihan itu adalah pilihan yang sangat tepat namun kita harus menyadari pula bahwa sudah dapat dipastikan ada COLLATERAL DAMAGE yang ditimbulkan dan sangat mungkin cukup besar pula biaya dalam bentuk kematian penduduk dan korban-korban lainnya yang menyertai kebijakan tersebut.
Di dalam tulisan ini saya secara khusus ingin mengajak sidang pembaca untuk mencoba merenungkan kembali mengapa angka penularan COVID-19 masih tetap meningkat cukup mengkhawatirkan pada akhir-akhir ini sampai-sampai Anies Baswedan, Gubernur DKI, mengumumkan akan melakukan kembali PSBB secara ketat seperti sebelumnya. Apakah atau siapakah yang salah?
Sejak bulan Maret 2020, beberapa provinsi di Indonesia melakukan PSBB bukan melakukan lockdown total seperti yang dilakukan oleh pemerintah Tiongkok di Wuhan sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Saya sangat yakin kebijakan itu diambil dengan pertimbangan yang sangat strategis; roda ekonomi harus tetap berjalan untuk menopang kehidupan masyarakat luas dan meringankan biaya ekonomi dan sosial yang akan muncul kalau total lockdown diberlakukan.
Nah! Di sinilah permasalahan yang timbul. Dengan tidak diberlakukan total lockdown berarti kegiatan ekonomi dan lalu lintas manusia masih berjalan. Seperti kita ketahui bersama, potensi penularan COVID-19 ini adalah melalui interaksi antarmanusia, jadi kemungkinan penularan sudah kita ketahui akan terjadi kalau manusia-manusia yang ada di dalam masyarakat tidak melakukan protokol kesehatan yang diperlukan untuk menghindar dari penularan, dari pembawa virus COVID-19. Ini yang saya sebutkan di dalam alinea pembukaan sebagai COLLATERAL DAMAGE.
Menurut saya, pilihan "tidak melakukan total lockdown" maka berarti pengendalian untuk mengurangi korban COVID-19 sudah berpindah ke tangan masyarakat, di dalam hal ini peran pemerintah seharusnya memegang peran penanggulangan atas korban COVID-19 dan promosi agar masyarakat bisa mematuhi protokol kesehatan seperti arahan yang digariskan oleh Kementerian Kesehatan.
ADVERTISEMENT
Di bidang perekonomian dan penanggulangan saya kira pemerintah sudah melakukan tugasnya dengan baik. Di bidang ekonomi pemerintah sudah melakukan berbagai stimulus ekonomi dengan sekaligus mengimplementasikan jaring pengaman sosial: ratusan triliun rupiah digelontorkan ke masyarakat untuk menjaga agar roda ekonomi berjalan dan keadaan sosial bisa terkendali.
Namun peran promosi yang mendorong masyarakat untuk taat pada protokol kesehatan nampaknya kurang efektif, mengapa? Kita bisa melihat angka kenaikan orang tertular COVID-19 masih tetap tinggi dan mengkhawatirkan. Keadaan ini sangat memprihatinkan, di mana masyarakat sulit diajak bekerja sama untuk secara bersama-sama menanggulangi penularan COVID-19. Lantas apa yang harus kita lakukan untuk menanggulangi masalah ketidaktaatan masyarakat ini? Apakah masyarakat kurang mengerti dengan bahaya yang ditimbulkan jika mereka tertular COVID-19, atau apa?
ADVERTISEMENT
Saya berkali-kali mendapatkan kiriman video melalu WA, di mana terlihat banyak sekali anggota masyarakat yang ditegur oleh petugas karena tidak memakai masker, malah balik menantang petugas yang menegurnya. Gejala apa ini? Apakah masyarakat sudah tidak mau taat lagi pada petugas resmi pemerintah? Dan apa penyebabnya sampai rakyat tidak mau menaati anjuran pemerintah?
Saya bisa memastikan bahwa ketidaktaatan itu muncul pasti ada penyebabnya. Ini harus dicari, agar tidak meluas dan tidak menjadi bibit pembangkangan sosial. Di sini kita memerlukan pakar-pakar bidang sosial yang segera mendeteksi masalah ini agar masyarakat dapat segera dimobilisasi sebagai agen-agen yang mendorong patuhnya masyarakat untuk menaati protokol kesehatan untuk menekan angka penularan COVID-19.
Di samping itu kita juga harus melihat dari sisi pengawasan aparat; seharusnya aparat yang bertugas untuk memantau ketaatan masyarakat tidak bekerja sendiri-sendiri melainkan harus melibatkan tokoh-tokoh masyarakat baik formal maupun informal untuk mengajak dan menyadarkan masyarakat ikut berperan serta di dalam pengendalian penularan ini.
ADVERTISEMENT
Keluarga sebagai unit masyarakat terkecil seharusnya sudah dilibatkan sejak awal, karena keluarga adalah pertahanan pertama untuk mencegah segala macam persoalan kesehatan dan sosial. Namun nampaknya ajakan untuk keluarga terlibat juga masih belum terlihat intensif digunakan sebagai instrumen dalam melawan COVID-19.
Sampai hari ini kita masih melihat bahwa ancaman COVID-19 ini akan berlangsung cukup lama dan kemungkinan terjadinya second wave atau third wave juga harus diantisipasi maka gerakan keluarga sehat untuk menghadapi COVID-19 dan mungkin nanti ada COVID-20 harus intensif dilakukan sejak sekarang agar semua lapisan masyarakat dapat terlibat untuk mempersempit penularan yang disebabkan oleh ketidaktaatan masyarakat. Di samping itu juga gerakan untuk menambah daya tahan tubuh sebagai instrumen penangkal COVID-19 dan penyakit-penyakit lainnya harus juga dilakukan, bukan hanya pada saat menghadapi pandemi tetapi harus terus menerus dilakukan untuk perbaikan level kesehatan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Beberapa berita yang saya baca, Doni Monardo sebagai Ketua Satuan Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 mengatakan bahwa 65% penularan terjadi di transportasi umum. Namun, saya lihat tidak terjadi apapun perubahan di dalam transportasi umum yang memperlihatkan usaha-usaha untuk memperbaiki keadaan untuk menanggulangi penularan COVID-19. Jadi data yang dilontarkan oleh beliau dianggap angin lalu saja.
Nah! Hal-hal semacam itu semakin memperlihatkan, paling tidak kepada saya, bahwa aparat pun tidak melakukan koordinasi dengan baik di dalam merespons keadaan yang sedang berlangsung secara cepat dan lugas.
Kalau aparatnya saja tidak melakukan apa-apa yang dibutuhkan oleh keadaan untuk melakukan perubahan sesuatu dalam mengurangi tingkat penularan, apalagi masyarakat luas, pasti akan mengatakan "Lah aparat saja menganggap enteng COVID-19 buat apa pula saya harus sibuk dan ketakutan."
ADVERTISEMENT
Ini jadi preseden buruk buat masyarakat, kalau pejabat ngomong tidak ada tindak lanjutnya. Masyarakat itu pada intinya penurut tapi harus diberi contoh oleh para pemimpinnya. Bukan hanya omongan tapi contoh dan tindakan nyata! Kalau tidak, maka yang terjadi pejabatnya juga dianggap enteng dan tidak didengarkan oleh mereka.
Kadang-kadang saya hari Sabtu menemani istri saya ke pasar di dekat rumah saya untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari. Waktu ada PSBB, kalau mau masuk ke pasar dilakukan cek suhu, di sampingnya ada tempat cuci tangan dengan sabun. 2 bulan terakhir orang yang mengecek suhu dan tempat cuci tangannya hilang. Dengan hilangnya orang yang melakukan pengukuran suhu dan tempat cuci tangan itu mengindikasikan pada masyarakat situasi sudah aman dan tidak perlu khawatir lagi dengan COVID-19.
ADVERTISEMENT
Kalau cara pengendalian penularan COVID-19 seperti itu terus, tidak konsisten dan tidak dilakukan dalam jangka panjang, saya kira kita akan kehilangan kepercayaan dari masyarakat, sebenarnya pemerintah ini serius atau tidak, tho!?
Seharusnya hal-hal semacam itu dilakukan terus-menerus sampai keadaan betul-betul bisa dikontrol atau mencapai angka nol penularan, bukannya hanya sesaat pada saat gawatnya saja tapi terus dilakukan agar masyarakat tahu bahwa situasi masih rawan dan menyadarkan mereka juga untuk sadar bahwa mereka harus terlibat sebagai bagian dari usaha untuk menurunkan tingkat penularan COVID-19.
Jangan dilakukan seperti yang sudah lalu, kalau kita tidak mau gagal dan mengalami PSBB berjilid-jilid atau tidak ada kesudahannya.
Pengulangan PSBB untuk DKI oleh Anies Baswedan menimbulkan kekhawatiran dari orang-orang yang tadinya sudah mulai optimistis tentang masa. Karyawan-karyawan mulai gelisah, apa yang akan terjadi dengan nasib pekerjaannya kalau PSBB kembali diterapkan? Deal-deal bisnis yang sedang berlangsung secara mendadak jadi tidak menentu. Padahal mereka sangat mungkin adalah orang-orang yang sudah sangat ketat menaati protokol kesehatan.
ADVERTISEMENT
Apakah orang-orang seperti itu menjadi korban perbuatan orang lain yang tidak taat? Saya kira hal ini sangatlah tidak adil buat mereka.
Kalau protokol kesehatan tidak ditaati bukan mereka yang salah, tetapi tugas pemerintahlah yang tidak efektif mengimplementasikan pengawasan dan penegakan hukum mengenai protokol kesehatan. Kalau masyarakat tidak taat, tugas pemerintahlah untuk menegakkan aturan sekaligus mengayomi masyarakat. Jangan sampai PSBB ulangan ini menimbulkan sikap apatis dari masyarakat yang akan berakibat semakin buruknya keadaan penularan COVID-19 ini.
Dengan tidak mampunya aparat pemerintah untuk menegakkan protokol kesehatan maka yang kita perlukan sekarang adalah dukungan masyarakat luas secara bersama-sama secara sadar melakukan protokol kesehatan. Inilah solusi jangka panjang dan permanen. Dari ketahanan masyarakatlah kekuatan itu, bukan PSBB.
ADVERTISEMENT
Ketidakkonsistenan pemerintah juga sangat kelihatan dalam hal tidak melakukan penundaan PILKADA. PSBB melarang kerumunan, tapi pilkada—seperti yang kita ketahui bersama pasti akan menimbulkan kerumunan—malah tetap dilaksanakan.
Hal seperti itulah yang membuat masyarakat semakin menjadi tidak taat kepada pemerintah dan penegak hukum. Situasi yang diciptakan oleh pemerintah sendiri menunjukkan seolah-oleh COVID-19 sudah tidak berbahaya dan tidak perlu ditakuti. Pilkada itu sering disebut dengan PESTA DEMOKRASI, suasana pesta pastilah hingar-bingar dan tidak ada yang perlu ditakuti. Hal ini membuat saya kurang mengerti mengapa harus tetap dilakukan, bukannya menunggu saat yang tepat.
Dunia bisnis dibikin kalang kabut! Keadaan akhir-akhir ini terasa konsumsi sudah ada peningkatan, para pebisnis mulai muncul kepercayaan adanya perbaikan konsumsi yang mendorong mereka mulai melakukan rekrutmen pegawai, melakukan tambahan stok barang, mulai menata toko yang tadinya sudah dipenuhi suasana ketidakpastian, belum selesai mereka mempersiapkan segala sesuatu untuk menyongsong harapan baru, tiba-tiba muncul pengumuman, yang membuat pupus semua harapan mereka, pemerintah DKI akan diberlakukan PSBB jilid dua. Bagaimana perasaan orang-orang yang terlibat di dalam dunia bisnis ini kalau diajak roller coaster seperti ini.
ADVERTISEMENT
Pertumbuhan ekonomi memerlukan stabilitas kebijakan pemerintah, bukan sebaliknya membuat kebijakan-kebijakan yang membuat gaduh dan menghancurkan level kepercayaan pengusaha terhadap pasar yang ada. Ini adalah bagian dari inkonsistensi yang cukup membawa dampak buruk, bukan hanya buat pekerja atau pebisnis tapi di hadapan mitra-mitra bisnis internasional kita. Pasar finansial dan pasar modal langsung terkena dampak, dolar Amerika Serikat langsung panas dingin, demikian juga pasar modal langsung terkoreksi 5%. Apakah ini tidak menjadi pertimbangan sebelum keputusan diumumkan.
Di dalam keluarga saya sendiri, saya punya sopir pribadi dan seorang pembantu rumah tangga yang tidak menginap. Pada saat diberlakukan PSBB dan saya diharuskan WFH, bekerja dari rumah, sopir dan pembantu saya bertanya, bagaimana nasib kami? Saya katakan kepada mereka kalau kalian berdua mau menuruti apa yang kami berlakukan maka kamu tetap bekerja seperti biasa. Di depan rumah kami, kami sediakan tempat cuci tangan, kami belikan masker untuk dipakai sampai ke keluarga mereka dan kami katakan jangan jajan di luaran dulu sementara waktu ini, bawa makanan dari rumah.
ADVERTISEMENT
Kalau tidak bisa bawa makan dari rumah, boleh makan di rumah kami. Waktu bekerja di rumah harus pake masker, kalau terima paket atau kiriman apapun sesudahnya harus cuci tangan dengan sabun yang sudah disediakan. Kalau sampai mereka flu atau panas badannya naik (saya beli termometer buat di rumah mereka), jangan masuk kerja dan kabari kami.
Mereka sampai hari ini, puji Tuhan, sehat dan menurut mereka anak dan istrinya pun disuruh mengikuti apa yang saya perintahkan kepada mereka. Mereka merasa bersyukur sampai hari ini tidak pernah dirumahkan walaupun tidak ada kerjaan di rumah saya. Dia bercerita banyak temannya sudah dirumahkan karena tuannya takut, mereka menjadi pembawa virus COVID-19.
Sebagai kesimpulan dari apa yang saya uraikan dalam tulisan ini, saya ragu PSBB kedua di DKI ini akan ditaati dengan baik seperti apa yang dikehendaki oleh Anies Baswedan. Masalah ini bukan karena masyarakat membangkang tetapi lebih disebabkan oleh karena sikap yang diekspose pemerintah sendiri yang tidak konsisten. Dengan kita sudah memutuskan tidak melakukan total lockdown berarti kita sudah dengan sadar bahwa pasti akan terjadi korban jiwa. Korban jiwa itu dibayar dengan bergeraknya perekonomian. Kedua-duanya penting untuk dijaga, nyawa manusia harus dijaga namun roda ekonomi juga harus tetap berputar, dengan demikian tinggal collateral damage-nya saja yang harus dikendalikan dengan baik.
ADVERTISEMENT
Kesadaran masyarakat akan protokol kesehatanlah kunci utama dari keberhasilan pengendalian COVID-19 ini. Tanpa dukungan masyarakat luas maka semua usaha kita akan sia-sia.
Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan