Mudah Kaya lewat Jual-Beli Saham? (3)

Konten dari Pengguna
8 Februari 2021 9:36 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Benny Sudrata tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Bagian ketiga dari lima tulisan.
Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan.
Pada tulisan saya sebelumnya, saya menjelaskan sekelumit mengenai perusahaan, laporan keuangan, dan proses IPO dan perdagangan saham di bursa pada hari-hari pertama listing (terdaftar di bursa).
ADVERTISEMENT
Pada bagian ketiga ini saya akan berusaha untuk mengajak sidang pembaca untuk menyimak tentang Bursa Efek (dalam tulisan ini tentunya adalah Bursa Efek Indonesia, BEI) yang dalam operasionalnya ditopang oleh Kliring Penjamin Efek Indonesia (KPEI) dan Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) ketiga organisasi ini adalah Self Regulatory Organization (SRO).
Tiga SRO itulah yang berperan besar untuk melaksanakan perdagangan efek dan mengatur lalu lintas perpindahan uang dan barang (efek) di antara Perusahaan Efek (PE) sebagai wadah dari investor yang bertransaksi di BEI. Dan saya akan menyinggung juga sedikit mengenai hal-hal yang mendorong turun naiknya harga saham di Bursa. Serta bagaimana investor harus bersikap dalam menghadapi masalah ini.
Banyak sekali ekonom maupun pakar-pakar investasi memperdebatkan apakah pasar saham ini sama dengan KASINO? Hanya merupakan perjudian yang tidak membawa nilai tambah bagi perekonomian atau memang pasar yang bisa mendorong perekonomian semakin produktif?
ADVERTISEMENT
Berikut ini penjelasan dari saya yang merupakan pendapat pribadi saya sendiri berdasarkan pengalaman dan pengamatan saya.
Kita mengenali berbagai bursa di dunia. Bursa komoditi, bursa CPO, bursa minyak bumi, bursa logam, bursa mata uang, bursa emas, dan bursa-bursa lainnya. Bursa-bursa ini ada di mana-mana sesuai dengan pertumbuhan ekonomi negara yang bersangkutan.
Bursa adalah tempat untuk mempertemukan penjual dan pembeli, antara yang membutuhkan barang dengan yang ingin menjual barang.
Tujuan didirikan bursa-bursa ini adalah, antara lain, agar standar mutu barang, harga barang, dan pembayaran lebih transparan sehingga penjual dan pembeli mempunyai tempat aman untuk bertransaksi karena ada jaminan dari penyelenggara bursa bahwa apa yang mereka transaksikan akan diakhiri dengan baik.
ADVERTISEMENT
Demikian juga halnya dengan bursa saham. Di dalam melakukan transaksi di bursa saham, yang bisa melakukan transaksi hanyalah Perusahaan Efek (PE). PE dalam melakukan transaksi di Bursa bisa untuk kepentingannya sendiri, untuk portofolio PE atau untuk kepentingan nasabahnya (client). Keduanya adalah merupakan investor di bursa.
BEI sebagai penyelenggara perdagangan efek di Indonesia adalah satu-satunya bursa saham di Indonesia. BEI merupakan bursa hasil merger antara Bursa efek Jakarta dengan Bursa Efek Surabaya. Jadi semua perusahaan yang ingin mencari tambahan modal melalui penjualan saham ke publik harus lewat BEI.
Di dalam operasinya BEI hanya merupakan tempat untuk menjual dan membeli efek sedangkan untuk settlement-nya akan dilakukan oleh KPEI dan KSEI. KPEI akan menerima pembayaran dan melakukan pembayaran kepada PE tergantung posisi PE nya apakah selama transaksi di BEI merupakan PE yang lebih banyak menjual atau lebih banyak membeli. Sedangkan tugas KSEI membantu untuk menyelesaikan pemindahan barang dari PE penjual ke PE pembeli, tergantung dari status transaksinya di BEI.
ADVERTISEMENT
Agar transaksi jual beli yang dilakukan di BEI bisa berjalan terus menerus, tidak terganggu dengan adanya yang gagal bayar atau gagal serah barang maka ketiga SRO ini mengatur semuanya agar hal tersebut tidak terjadi.
Mengenai mekanisme ini saya tidak singgung karena terlalu teknis. Yang penting kita lihat transaksi jual beli bisa berjalan dengan aman. Yang menjual barang pasti menerima pembayaran dan menyerahkan barang yang dijual demikian juga yang membeli barang pasti membayar dan menerima barang. Demikian juga mengenai fraksi harga, auto rejection, suspensi, dan lain-lain saya tidak bahas dalam tulisan ini.

Apa yang Mempengaruhi Harga Saham?

Apakah yang mendorong dinamika harga saham di bursa? Inilah pertanyaan yang sering muncul di benak orang, termasuk saya. Dalam pengamatan saya ada beberapa hal yang membuat pasar saham menjadi sangat dinamis. Ragam saham yang diperdagangkan di bursa. Karena jenis industri perusahaan yang sahamnya dijual di bursa sangat bervariasi maka kalau terjadi perubahan apapun pada industri yang bersangkutan maka akan memunculkan harapan dan ketakutan bagi investor yang memegang barang atau masih mempunyai uang untuk diinvestasikan.
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh sederhana saya ambil, misalnya industri yang berhubungan dengan CPO. Kalau harga CPO dunia sedang mengalami kenaikan maka investor akan dengan sangat cepat mengambil keputusan untuk menjual (mengambil keuntungan) atau membeli dengan harapan kenaikannya akan berlanjut. Dengan kenaikan harga CPO maka investor melihatnya perusahaan yang bergerak di bidang CPO akan menikmati kenaikan tersebut yang berarti menambah laba perusahaan dari saham yang bersangkutan. Bertambahnya laba dari perusahaan berarti investor akan menerima dividen lebih besar.
Demikian juga yang terjadi untuk perusahaan-perusahaan lainnya yang bergerak pada industri yang berbeda. Baru-baru ini, karena adanya wabah covid-19 maka banyak orang tidak dapat bertatap muka maka harga saham ZOOM, platform penyelenggara virtual meeting, naik secara sangat mengesankan. Satu industri mempunyai satu dinamika maka kalau saham yang diperdagangkan di bursa ada ratusan jenisnya maka akan ratusan dinamika tercipta setiap saat di bursa saham.
ADVERTISEMENT
Faktor berikutnya adalah peraturan pemerintah. Pemerintah sering mengeluarkan peraturan untuk mengatur suatu industri. Kalau peraturan pemerintah memberikan keuntungan pada suatu industri maka dengan sendirinya akan memperbesar keuntungan pada industri yang bersangkutan. Harapan akan naiknya keuntungan ini adalah pemicu kenaikan harga saham yang paling fundamental. Faktor berikutnya adalah tingkat inflasi.
Tingkat inflasi akan membawa konsekuensi melemahnya nilai tukar uang. Hal ini bagi investor yang posisinya masih banyak memegang uang akan segera membeli saham agar nilai uangnya tidak terdepresiasi, dengan memegang saham, investor seperti memegang aset dari perusahaan yang bersangkutan. Untuk perusahaan-perusahaan yang asetnya dalam bentuk moneter mungkin akan mereka hindari atau mereka jual. Terjadinya merger dan atau akuisisi. Kalau sampai terjadi merger dan atau akuisisi saya bisa pastikan harga saham perusahaan yang dimerger atau diakuisisi akan naik atau turun karena harapan dari investor akan berubah. Bisa berubah positif namun bisa juga berubah negatif.
ADVERTISEMENT
Pada umumnya kalau merger dan/atau akuisisi yang terjadi adalah perusahaan-perusahaan yang mempunyai fundamentalnya baik dan ada sinergi yang positif dari merger tersebut maka saya bisa pastikan harga sahamnya pasti naik karena investor melihatnya merger dan atau akuisisi itu akan membawa perusahaan menjadi lebih baik. Pertanyaan berikutnya bagaimana kalau merger dan atau akuisisi itu dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang satu atau keduanya adalah perusahaan yang fundamentalnya buruk?
Kalau ini yang terjadi, kata teman-teman saya dulu itu seperti perhitungan matematika G (garbage) + G (garbage) = Big Garbage atau A + B = -AB.
Sebenarnya kebanyakan merger dan atau akuisisi biasanya terjadi karena adanya sinergi yang dibutuhkan oleh masing-masing perusahaan agar memperbesar laba perusahaan.
ADVERTISEMENT
Contoh sederhana, perusahaan yang bergerak memproduksi sepatu kulit melakukan akuisisi perusahaan lain yang melakukan penyamakan kulit. Pabrik sepatunya mengakuisisi produsen bahan baku utama yang mereka butuhkan. Selain mengamankan pasokan bahan baku dia juga berusaha memperbaiki mutu pasokan untuk produk yang mereka buat.
Namun demikian transaksi seperti ini sering sekali digunakan hanya untuk menciptakan story (cerita/rumor) saja. Karena banyak investor suka dengan story/rumor dan sering termakan.
Faktor penggerak pasar yang cukup dominan lainnya adalah situasi sosial politik negara di mana bursa itu berada. Kalau keadaan politik seperti kejadian di Indonesia pada tahun 1997/1998 maka pasar saham bukan hanya turun tetapi hancur lebur. Belum lama ini pasar dunia turun drastis karena merebaknya pandemi Covid-19, yang sekarang kelihatan sudah mulai pulih. Sebenarnya masih banyak faktor atau kejadian yang akan mempengaruhi dinamika pasar saham lainnya namun karena keterbatasan ruang saya menyudahi dinamika fundamental yang mempengaruhi harga saham di bursa. Dan satu faktor tambahan dari saya yang sering terjadi di BEI yang harus diperhitungkan juga adalah faktor bandar penggoreng saham. Walaupun faktor yang satu ini tidak banyak mempengaruhi dinamika pada level indeks pasar.
ADVERTISEMENT
Belakangan ini banyak sekali ekonom mengatakan bahwa sudah terjadi DECOUPLING (pemisahan) antara harga pasar saham dengan apa yang terjadi pada level perusahaan yang bersangkutan. Maksudnya pasar saham sudah tidak mencerminkan fundamental perusahaannya. Harga-harga saham sudah naik turun tidak rasional lagi.
Pada dasarnya hasil yang didapatkan investor dari membeli dan menyimpan saham adalah untuk mendapatkan dividen dan atau kenaikan harga saham (capital gain). Dari kedua penghasilan itu, dividen berkaitan langsung dengan performance perusahaan dalam mendapatkan keuntungan.
Bagaimana dengan capital gain? Kalau kita melihat sedikit dinamika yang baru saja saya uraikan pada alinea sebelumnya kita bisa melihat begitu banyak faktor yang bisa mempengaruhi naik turunnya harga saham maka kita menyimpulkan bahwa dari semua faktor yang akan mengakibatkan turun naiknya harga saham itu semua menyatu menjadi harapan dari investor (ekspektasi).
ADVERTISEMENT
Bagaimana kita bisa mengukur harapan begitu banyak investor yang memiliki tingkat GREED AND FEAR (kerakusan dan ketakutan) yang berbeda-beda dikombinasikan dengan FOMO (Fear Of Missing Out), takut tidak ikut menikmati pesta mendapatkan keuntungan karena kenaikan harga saham yang berbeda-beda pula, inilah saya kira hal yang menjadikan terjadinya decoupling antara pasar saham dengan performance perusahaan.
Decoupling ini sekarang sudah sangat parah. Saya akan mencoba untuk melakukan pemisahan pendapatan dividen dengan pendapatan capital gain: misalnya harga saham Rp 2.000 di bursa, harapan untuk mendapatkan dividen (saya anggap semua laba dibagikan sebagai dividen) hanya Rp 20/tahun. Secara fundamental, Price Earning (PE) Ratio (ini perbandingan harga saham dengan tingkat laba) adalah 2000/20, menjadi 100.
ADVERTISEMENT
Berarti kalau kita menginvestasikan uang kita dengan tanpa menjual sahamnya, maka modal kita baru akan kembali setelah 100 tahun. Apakah kita masih yakin bahwa perusahaan ini masih ada sesudah seratus tahun? Kasus seperti ini bukan rekayasa saya tapi banyak sekali saham saham di Nasdaq dan Wall Street seperti ini. Apakah hal ini logis? Untuk mengatakan hal ini logis atau tidak coba kita gunakan rumus dari Alan Greenspan (former Chairman of The Fed). Dia membandingkan return (imbal hasil) saham per tahun dengan return dari surat utang pemerintah Amerika Serikat.
Suku bunga acuan surat utang di Amerika Serikat sudah mendekati 0%. Jadi kalau kita berinvestasi dengan membeli surat utang pemerintah Amerika serikat maka dengan tanpa menjual surat utangnya modal kita baru kembali secara matematis mendekati tak berhingga (bilangan dibagi nol sama dengan tak berhingga).
ADVERTISEMENT
Jadi dari kedua contoh sederhana ini kita bisa melihat bahwa sudah terjadi kecenderungan orang berinvestasi saham sudah tidak berpegang pada performance perusahaan. Dan saya beri contoh lain kejadian pada harga saham UBER, perusahaan yang bergerak sebagai platform taksi kelas dunia. Sejak berdiri pada bulan Maret 2009 sampai sekarang tidak pernah mendapatkan keuntungan, kerugian yang dialami pun miliaran dolar per tahun tapi sahamnya masih diperjual belikan di bursa dengan berbagai rumor dan story. Dan rumor dan story yang diciptakan akhir-akhir ini selalu mengatasnamakan TEKNOLOGI sebagai mantranya.
Semua yang berbau teknologi di narasikan merupakan bisnis masa depan. Apakah cerita ini akan benar? Atau sebelum mereka mendapatkan keuntungan perusahaannya sudah terlebih dahulu mengalami kebangkrutan karena investornya sudah tidak mempercayai lagi mantra yang mereka ucapkan. Hanya waktu yang akan membuktikan. Dengan melihat apa yang terjadi di pasar saham dunia saya cenderung setuju dengan pendapat bahwa harga-harga saham di bursa sudah tidak ada kaitannya sama sekali dengan performance perusahaan.
ADVERTISEMENT
Jadi kalau sudah terjadi decoupling seperti ini maka sumber analisis untuk membeli saham akan kembali ke zaman batu, dukun. Dukunnya adalah tukang goreng yang menentukan nasib investor. Jadi tidak salah juga kalau banyak ekonom mengatakan bursa saham sudah menjadi KASINO. Bagaimana dengan BEI? BEI pasti akan terpengaruh oleh induknya sebagai trendsetter yang ada di NEW YORK.
Dengan mengacu pada tulisan saya ini saya hanya berharap pada investor-investor di Indonesia. Berhati-hatilah dalam berinvestasi. Jangan terlalu percaya pada rumor yang beredar di pasar. Bisa saja yang menciptakan rumor itu sedang mencari mangsa untuk mengambil uang anda. Semoga bermanfaat!
Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan.