Untitled Image

Pelonggaran Ini Bukan Sinyal Kekalahan

18 Mei 2020 9:57 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan
Jumat subuh lalu tak seperti biasanya. Setidaknya hingga lima kali dalam sejam terdengar suara raungan mesin pesawat terbang, mengiringi kami yang berolahraga jalan pagi.
ADVERTISEMENT
Saya berkomentar, "Raungan mesin pesawat pagi ini buat saya terdengar merdu!" Teman saya langsung menjawab, "Wah bahaya nih! COVID belum beres kok sudah diizinkan terbang!"
"Ya, kalau penerbangan dan transportasi lainnya tidak diizinkan beroperasi, kapan bisnis bisa beroperasi?" kata teman saya yang lain. Ada kawan ikut nimbrung, "Pemerintah kok tidak konsisten, katanya PSBB kok penerbangan diizinkan beroperasi."
Berdasarkan obrolan itu, saya mau mengajak sidang pembaca untuk melihat: Benarkah Pemerintah sudah mulai menyerah pada COVID-19 seperti komentar-komentar yang sering kita baca di media akhir-akhir ini? Dan komentar teman-teman jalan pagi saya.
Kita banyak melihat dan harus belajar dari apa yang dilakukan oleh pemerintah-pemerintah negara lain. Ada yang melakukan lockdown total secara ekstrem, ada pula yang melakukan dengan cara lebih ringan dengan variasi dan gayanya masing-masing.
ADVERTISEMENT
Lantas apa yang melatarbelakangi negara-negara, seperti Tiongkok melakukan lockdown total Kota Wuhan, Korea Selatan, Taiwan, dan beberapa negara lain mengendalikan COVID-19 dengan tanpa melakukan lockdown?
Saya kira yang menjadi latar belakang mereka melakukan tindakan-tindakan yang mereka ambil itu, kita tidak bisa ketahui secara pasti dan detail. Masing-masing negara mempunyai skala prioritasnya. Seperti komentar-komentar teman jalan pagi saya, berkomentar dengan dasar latar belakang dan pengalaman hidupnya masing-masing.
Pertanyaan berikutnya adalah apakah mereka sudah berhasil? Sampai saat ini baru Taiwan dan Selandia baru yang berani mengatakan mereka sudah berhasil mengatasi COVID-19 dan sudah sedikit demi sedikit memberikan kebebasan untuk penduduknya beraktivitas seperti biasa di beberapa area dan bidang tertentu.
ADVERTISEMENT
Bagaimana dengan Indonesia? Mengapa pada saat pandemi ini mulai muncul di Indonesia tidak dilakukan lockdown? Sampai hari ini hanya memberlakukan PSBB saja? Dan lain-lain pertanyaan yang bisa mengundang perdebatan berkepanjangan.
Sebagaimana kita ketahui bersama, Presiden Joko Widodo dan timnya melakukan beberapa manuver dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (sekarang sudah menjadi UU) yang isinya secara komprehensif mengatur bagaimana langkah yang akan diambil untuk mengatasi masalah COVID-19 ini, tidak hanya mengatur masalah pandeminya saja tetapi mengatur juga bagaimana mengatasi akibat-akibat lainnya dalam menanggulangi dampak buruk yang akan terjadi sehubungan dengan pandemi COVID-19.
Sampai-sampai lembaga independen seperti Bank Indonesia pun harus dilibatkan untuk menanggulangi likuiditas perbankan. Tentu saja, semua peraturan tidak bisa sempurna dan bisa menyenangkan semua pihak.
ADVERTISEMENT
Kalau kita lihat “PERSOALAN INTINYA ADALAH MASALAH PANDEMI COVID-19", namun demikian dampak yang ditimbulkan begitu dahsyat, hampir menyentuh seluruh aspek penghidupan umat manusia dari mulai masalah urusan ketersediaan obat-obatan, fasilitas rumah sakit, masalah kecukupan tenaga perawat dan dokter, masalah PHK, masalah roda bisnis, masalah pendidikan, masalah peribadatan, yang jadi terhenti atau melakukan penyesuaian operasinya dan lain-lain yang terkena dampak COVID-19.
Hampir semua kementerian terlibat di dalam penanggulangan masalah ini, bukan hanya Kementerian Kesehatan. Keadaan seperti ini pemerintah tidak punya referensi historis harus berbuat bagaimana?
Jadi memang harus melihat dulu dari pengalaman negara lain dan mencari input dari negara sahabat yang sudah lebih dulu mengalami krisis COVID-19, baru pemerintah memutuskan bagaimana harus bertindak untuk mengatasi masalah ini.
ADVERTISEMENT
Karena peraturan tidak bisa sempurna dan menyenangkan semua orang maka banyak sekali kritik atau kalau boleh saya sebutkan banyak juga berusaha menyerang pemerintah dengan berbagai alasan.
Marilah kita berpikir dingin dan bijaksana untuk melihat malapetaka COVID-19 ini. Di atas saya menuliskan: Untuk mengatasi COVID-19 ini seluruh kementerian terlibat.
Dengan melihat yang terlibat saja kita sudah langsung bisa melihat besarnya skala dampak buruk yang ditimbulkan oleh COVID-19 ini. Jadi, seandainya kita mau mengkritisi kebijakan pemerintah harus dengan ukuran skala yang sama pula tidak secara parsial hanya dari satu aspek saja.
Kalau kita mengkritisi hanya dari satu aspek saja maka tidak akan ketemu dan kritik kita malah menjadi serangan yang salah sasaran.
ADVERTISEMENT
Tidak kurang Prof. Refly Harun dalam komentarnya di media ini mengatakan "Pemerintah sudah mulai menyerah pada COVID-19". Dengan segala hormat, Prof., saya kurang sependapat dengan komentar anda.
Seperti yang saya tuliskan di atas, kita kalau mau mengkritik harus dengan basis ukuran yang sama skalanya. Pemerintah dalam membuat Perppu berdasarkan semua aspek yang seharusnya masuk di dalam pertimbangan untuk mengambil keputusan.
Saya melihat Prof. Refly hanya melihat aspek ketakutan akan penularan (saya juga takut). Sejak awal saya memonitor, Prof. Refly pro untuk lockdown. Saya berusaha melihat masalah COVID-19 ini secara lebih seimbang, dengan melihat juga kemampuan pemerintahan dalam mengatasi masalah COVID-19 dan masalah-masalah yang terkait lainnya.
Kalau seandainya lockdown dilakukan, berapa biaya yang pemerintah harus keluarkan? Berapa perusahaan akan tutup? Berapa PHK yang akan terjadi? Keresahan sosial yang ditimbulkan akan sebesar apa? Kita tidak bisa meramalkan karena kasus seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Seandainya lockdown dilakukan di Jakarta saja, di mana kita ketahui bersama peredaran uang di Jakarta, kalau saya tidak salah mencapai 60% dari peredaran uang di Indonesia maka bisa kita hitung dengan mudah sebesar apa dampak ekonomi sosial yang akan terkena.
Saya membaca komen di media ini juga, Tiongkok berani me-lockdown Kota Wuhan dengan perhitungan mereka sendiri. Seandainya COVID-19 terjadi di Beijing, apakah Tiongkok berani melakukan lockdown total? Saya tidak bisa menjawab pertanyaan ini.
Kita juga tidak bisa meramalkan apakah dengan lockdown masalah COVID-19 akan selesai secara tuntas? Yang jelas dengan lockdown korban yang akan ditimbulkan sudah bisa kita kalkulasi. Membiayai masyarakat yang tidak bisa bekerja, melakukan ronda untuk menjaga lockdown supaya efektif, menutup semua operasi unit usaha/ekonomi, menutup pelayanan pemerintahan dan lain-lainnya.
ADVERTISEMENT
Anggaplah lockdown-nya berhasil. Lantas kita harus menghitung juga pasca lockdown-nya, keuangan pemerintah, keuangan unit-unit bisnis, pembukaan pabrik-pabrik karena lama tidak beroperasi, rekrutmen kembali karyawan yang sudah di-PHK dan lain-lainnya. Jangan sampai kita melakukan lockdown, berhasil mengatasi COVID-19, tapi DENGAN BIAYA RUSAKNYA PRANATA SOSIAL, EKONOMI, DAN POLITIK. Sesudah COVID-19 selesai kita masih harus hidup normal.
Pada saat saya masih kecil saya sering mendengar cerita tentang tiga orang tunanetra yang disuruh untuk menggambarkan seekor gajah. Karena tidak bisa melihat maka mereka meraba gajah tersebut. Orang pertama meraba belalainya, orang kedua memegang telinganya dan orang ketiga memegang buntutnya.
Waktu ditanya, bentuk gajah seperti apa? Orang pertama menjawab gajah itu bulat panjang, berlubang dua. Orang kedua menjawab gajah itu lebar tipis dan kasar. Orang ketiga menjawab, gajah itu seperti jari telunjuk berbulu kasar. Apakah ketiga orang tunanetra itu salah? Tidak juga! Mereka menjawab sesuai dengan apa yang mereka rasakan dan alami.
ADVERTISEMENT
Jadi maksud saya menceritakan kisah ini saya hanya ingin mengajak semua pihak untuk melihat masalah secara proporsional apalagi di media yang dibaca khalayak ramai supaya tidak menimbulkan kegaduhan yang tidak perlu.
Kembali pada raungan mesin pesawat yang terdengar merdu buat saya, saya cukup gembira, pemerintah mulai berani mengambil langkah untuk melakukan pengendoran transportasi udara di tengah berlakunya PSBB. Dengan pengawasan yang proporsional menerapkan protokol yang diperlukan, saya kira pembukaan transportasi udara dan transportasi lainnya dapat segera dibuka.
Apakah pengendoran ini pasti salah? Kita tidak bisa menjawabnya selama belum ada percobaan. Korban ikutan (collateral damage) karena proses trial and error sangat mungkin akan terjadi.
Selama protokol diterapkan secara ketat, di mana masyarakat pada saat ini sudah cukup ter-informed mengenai bahaya COVID-19 saya kira pengendoran ini layak untuk dilanjutkan. Kalau kita tidak pernah berani memulai dengan berhadapan dengan risiko gagal maka kita akan jalan di tempat yang berakibat munculnya perdebatan-perdebatan yang berkepanjangan dan tidak perlu.
ADVERTISEMENT
Tindakan pelonggaran ini bukan sinyal kekalahan tapi merupakan taktik untuk memenangkan pertempuran dengan COVID-19.
Saya ucapkan selamat bekerja buat bapak Presiden dan tim. Semoga kita bisa berhasil mengatasi COVID-19.
Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten