Redenominasi vs Mengendalikan Kepercayaan

Konten dari Pengguna
13 Juli 2020 15:02 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Benny Sudrata tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan
Sudah cukup lama rencana melakukan redenominasi ini bergulir dan maju mundur dari pemerintah sejak diinisiasi oleh Gubernur BI pada saat itu, Darmin Nasution. Sampai hari ini belum bisa terlaksana.
ADVERTISEMENT
Sri Mulyani, di dalam Rencana Strategis Kementerian Keuangan memasukkan isu ini kembali di dalam rencana kerjanya. Seperti biasanya satu isu akan selalu menciptakan pro dan kontra dan sudah banyak dibahas di media massa.
Saya ingin ikut mengomentari isu ini dari beberapa sisi sebagai seorang praktisi keuangan.
Tepat pada saat isu ini dirilis kumparan, teman saya langsung mem-forward artikel tersebut ke saya dengan pertanyaan: "Ini beneran nih?" Setelah saya baca, saya menjawab: "Iya, ini mungkin akan dilakukan karena ini rencana lama yang sudah maju mundur."
Dia berkomentar: "Wah! Ini membuat sulit produsen FMCG (Fast Moving and Consumer Goods) karena masih banyak barang-barang mereka yang masih dijual di bawah seribu rupiah." Saya sedikit memberi penjelasan alasan pemerintah melakukan itu dan konsekuensi-konsekuensi yang akan kita hadapi seandainya hal tersebut benar-benar dilaksanakan.
ADVERTISEMENT
Saya melihat obrolan singkat tersebut di atas merupakan CONCERN dari banyak pihak yang banyak berkecimpung di dalam penjualan barang-barang FMCG termasuk konsumennya.
Kembali kata teman saya: "Uang di bawah seribu itu, di sini (maksudnya Indonesia) buat konsumen maupun produsen masih sangat berharga". Inilah bagian terpenting saya, KENAIKAN HARGA BARANG PADA LEVEL KONSUMEN.
Biasanya produsen pada saat mereka melakukan pricing utuk produk yang akan dijual untuk MASS CONSUMER, selalu memperhitungkan pecahan uang yang beredar untuk mempermudah konsumen pada waktu membayar pembelian barang kebutuhannya. Kalau harga jual akhir dari retailer ke konsumen bisa dalam satuan bulat sesuai dengan pecahan uang yang beredar maka produsen berharap transaksi jual beli akan menjadi lebih lancar bagi kedua belah pihak, penjual dan pembeli.
ADVERTISEMENT
Kebijakan penetapan harga jual dari produsen tidak sekadar mempertimbangkan lancarnya transaksi pada konsumen akhir saja tapi juga dengan mempertimbangkan apa yang akan dilakukan pesaing bila dihadapkan dengan kebijakan harga yang mereka ambil.
Bila harga jual suatu barang misalnya Rp 400 pada level konsumen akhir, sebelum redenominasi, akan menjadi berapakah harga yang mereka tetapkan kalau seandainya redenominasi diterapkan? Nah! Ini membuat produsen susah.
Dia (produsen) harus menetapkan harga jualnya, secara teoritis pada harga Rp 1000 (pecahan koin kurang disukai karena alasan logistik), agar memenuhi kemudahan yang sudah saya uraikan di atas.
Kalau itu terjadi bisa kita bayangkan apa yang akan terjadi dengan tingkat inflasi. Atau konsekuensi lain, produsen tidak membuat produk berharga Rp 400. Dia mengubah produk menjadi lebih besar/lebih berat dari yang dia perkirakan pada saat barang tiba di tangan retailer akhir akan bisa dijual dengan harga Rp 1.000. Yang terakhir ini konsekuensinya cukup berat. Mereka harus mengubah spesifikasi mesin untuk produksi, spesifikasi packing produknya, design produk, dan spesifikasi boxing-nya.
ADVERTISEMENT
Di luar masalah produksi, produsen juga harus melakukan komunikasi ke retailer dan konsumennya bahwa produknya ini berbeda dengan produk yang biasanya beredar dalam hal volume atau beratnya, dengan beriklan besar-besaran demi mempertahankan keberadaan produknya.
Yang baru saya uraikan ini, baru menyangkut masalah yang akan dihadapi produsen dan konsumen akhir suatu produk.
Kelihatannya dalam redenominasi ini hanyalah tindakan menghilangkan tiga digit angka nol saja. Yang secara matematis tidak ada perubahan nilai riil mata uang yang bersangkutan.
Namun di balik penghilangan tiga angka nol tersebut banyak sekali membawa konsekuensi non matematis.
Semua orang pasti akan berusaha agar apa yang mereka miliki (uang) tidak menjadi berkurang karena adanya kebijakan redenominasi.
ADVERTISEMENT
Saya punya kisah nyata, tetangga saya pada tahun 1965, satu hari sebelum dilakukan redenominasi Rp 1000 menjadi Rp 1 dia menjual tanahnya dengan harga Rp 2.000.000 begitu tetangga saya itu menerima uang pada sore hari, malam hari yang sama diumumkan redenominasi, beliau langsung pingsan.
Setelah siuman menjadi orang yang kurang ingatan. Shock yang dia terima karena kurang mengerti, apa itu redenominasi, karena kurangnya sosialisasi, memang pada saat itu dilakukan secara mendadak.
Beliau merasa baru menerima uang Rp 2.000.000 langsung menjadi Rp 2.000. Begitulah yang terbayangkan di dalam benak beliau. Mungkin kalau saja sosialisasi diberikan dengan baik, korban semacam ini tidak akan terjadi.
Tapi redenominasi yang dilakukan pada tahun 1965 itu dianggap cukup berhasil. Mata uang yang kita gunakan sampai sekarang adalah berbasis hasil redenominasi tahun 1965. Pada saat itu persoalan ekonomi yang dihadapi Indonesia masih jauh lebih sederhana jika dibandingkan dengan kompleksitas perekonomian Indonesia pada saat ini.
ADVERTISEMENT
Jermanlah negara pertama yang melakukan redenominasi mata uangnya. Jerman pada tahun 1923, sesudah kalah dalam perang dunia pertama dan harus membayar pampasan perang yang cukup besar sebagai prasyarat perdamaian kepada sekutu, mengalami inflasi yang sangat besar. Tidak tanggung-tanggung mata uangnya diredenominasi dengan menghilangkan dua belas angka nol.
Rekor menghilangkan angka nol ini dipegang oleh Jerman sejak 1923 sampai 2009, yang disamai oleh Zimbabwe: redenominasinya dengan menghilangkan angka nol sebanyak dua belas, walaupun tahun-tahun sebelumnya Zimbabwe sudah melakukan beberapa kali redenominasi. Zimbabwe sampai hari ini masih menghadapi masalah dengan inflasi yang besar.
Banyak negara melakukan tindakan redenominasi untuk tujuan mengatasi inflasi yang berlebihan (hyperinflation). Secara teoritis, redenominasi tidak bisa menyelesaikan masalah hyper-inflasi. Beberapa negara yang melakukan redenominasi karena alasan untuk mengatasi inflasi malah menciptakan SPIRAL INFLASI, mata uang hasil redenominasi dianggap oleh rakyat nya hanya sebagai alat pengalih persoalan yang sebenarnya, dari masalah krisis sektor riil dan makro ekonomi.
ADVERTISEMENT
Jadi selama persoalan intinya, makro ekonomi, masih belum bisa diatasi, inflasi tetap tinggi maka redenominasi malah menciptakan inflasi tambahan. Seperti yang terjadi di Zimbabwe sampai saat ini.
Keberhasilan redenominasi Indonesia tahun 1965, selain karena persoalan ekonomi Indonesia pada saat itu masih belum sekompleks sekarang, pemerintah pada saat itu dengan cepat bisa mengatasi masalah pangan, sembako, dengan mendirikan BULOG.
Saya ingat pada saat itu angka inflasi masih menggunakan komponen harga sembako sebagai dasar ukurannya. Dan praktis sembako di bawah kendali pemerintah, stabilitas harga sembako cukup cepat dapat diatasi. Inflasi tinggi dapat dijinakkan. Di sinilah salah satu kunci penting keberhasilan redenominasi rupiah yang masih kita gunakan sampai sekarang.
ADVERTISEMENT
Keberhasilan Turki, Turki melakukan masa transisi yang cukup lama, 1998 diputuskan, 2005 baru berlaku penuh. Turki melakukan redenominasi dengan menghilangkan enam angka nol dan dilakukan pada saat ekonomi Turki dirasa cukup stabil pertumbuhannya. Jadi alasan praktis redenominasi menjadi cukup logis untuk diterima oleh rakyat Turki. Dapat diterimanya alasan redenominasi oleh rakyat Turki dapat dilihat pula di pasar-pasar Turki, pada saat sebelum redenominasi, harga-harga barang yang tertera di toko-toko yang berjualan di Turki, sudah melakukan redenominasi sendiri, menghilangkan enam nol untuk menunjukkan harga barang yang mereka pajang di tokonya. Jadi pemerintahnya melakukan kehendak pasar yang sudah diterima cukup lama. Alasan untuk kepraktisan jadi sah.
Dan ada hal lain lagi, demi untuk akomodasi keluhan teman saya pada alinea sebelumnya agar tidak terjadi gejolak kenaikan harga dan perubahan proses produksi, di dalam masa transisi, lembar mata uang Turki lama, beredar bersama mata uang Turki baru cukup lama, agar pecahan mata uang yang dibutuhkan untuk transaksi cukup fleksibel dapat dilakukan.
ADVERTISEMENT
Jadi kalau kita mau melakukan redenominasi harus dengan alasan yang cukup logis untuk diterima oleh semua kalangan yang akan terdampak dan bukan dengan alasan untuk mengatasi inflasi. Syarat-syarat yang saya maksudkan seperti yang saya sudah uraikan di atas dan alasan ini sudah pernah disampaikan pula oleh pakar-pakar ekonomi sebelum saya menulis artikel ini, dan merupakan pengalaman empiris yang pernah dialami negara-negara lain. Kurang lebih persyaratan yang dibutuhkan adalah:
Adanya pertumbuhan ekonomi dalam keadaan stabil, redenominasi bukan untuk mengatasi masalah hyper-inflasi, dilakukan masa transisi yang cukup, dan tujuan dari ke semua syarat tersebut adalah untuk MEMBANGUN KEPERCAYAAN MASYARAKAT BAHWA REDENOMINASI INI HANYA ALASAN KEPRAKTISAN SAJA.
Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan