E-Democracy di Tangan Generasi Milenial yang Rentan

Bergman Siahaan
Analis Kebijakan Publik dan Penanaman Modal di Pemerintah Kota Medan
Konten dari Pengguna
21 Januari 2020 8:59 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bergman Siahaan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi: Pixabay
ADVERTISEMENT
Teknologi internet telah membanjiri penduduk bumi dengan beragam informasi. Menurut situs Internet Live Stats, setiap detik muncul 8.814 twit baru di Twitter, 966 gambar baru di Instagram, dan 82.308 video Youtube (per 20 Januari 2020). Dunia saat kita ini sesungguhnya telah terbagi dua, yaitu dunia nyata dan dunia maya. Dunia maya adalah jaringan internet di mana orang bisa menemukan dan berbagi apa saja. Semua “apa saja” itu adalah informasi. Baik berupa tulisan, gambar, foto, maupun video. Semuanya adalah informasi yang menjadi komoditi utama internet itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Jauh sebelum disadari publik, berita online sudah dirintis Bruce Parrello (PLATO News Report) di University of Illinois tahun 1974 dan Embratel Network (Jornaldodia) di Brazil awal tahun 1987. Namun baru di akhir 1990an ratusan surat kabar Amerika mulai merilis versi online mereka. Dua puluh tahun kemudian, berita onlinemengkudeta” surat kabar dan majalah konvensional. Dunia jurnalistik semakin hiruk pikuk pula dengan kehadiran blog-blog pribadi dan komunitas yang seakan memiliki legitimasi menampilkan informasi apa saja.

E-Democracy

Ilustrasi menggunakan sosial media. Foto: Shutter Stock
Penduduk bumi kini lebih sering berkumpul dan berdiskusi di ruang-ruang maya. Aktivitas abad 21 itu dimulai dengan kehadiran grup email (mailing list) yang popular sejak tahun 90-an hingga diambil alih oleh aplikasi media sosial. Dengan sosial media, semua orang kini dapat berbicara ‘dengan keras’ di ruang publik. Masyarakat ingin menyampaikan pendapatnya dan berusaha mempengaruhi jalannya pemerintahan. Internet telah memfasilitasi "demos" (rakyat) untuk menemukan "kratos" (kekuasaan) dengan cara yang lebih mudah dan cepat. Memang itulah hakikat dari demokrasi. Pemerintahan oleh rakyat. Demokrasi yang dijalankan dengan pemanfaatan teknologi informasi kemudian melahirkan istilah e-democracy.
ADVERTISEMENT
Fenomena e-democracy menjadi pembahasan yang menarik karena wabahnya semakin besar meski melahirkan pertanyaan, apakah internet membantu atau justru mencederai demokrasi? Salah satu alasannya adalah karena suara di internet dengan cepat bisa menjadi mayoritas dan berkuasa membentuk opini publik. Pada saat yang sama, ia bisa pula "melukai" kelompok minoritas, memicu pertikaian sosial atau mengubah peta politik bahkan eksistensi sebuah negara. Padahal berita bisa saja palsu dan opini bisa absurd tanpa dasar ilmiah.
Fenomena "Arab Spring" merupakan salah satu contoh efek e-democracy. Arab Spring adalah serangkaian protes terhadap pemerintah yang berujung pada pemberontakan bersenjata di negara-negara Arab pada awal tahun 2010. Protes yang bermula dari soal kemiskinan dan rezim yang dianggap menindas rakyat di Tunisia merambat dengan cepat ke berbagai negara Arab lain melalui media sosial. Demonstrasi dan kekacauan pun menyusul di negara sekitar yakni Libya, Mesir, Yaman, Suriah, Maroko, Irak, Algeria, Iran, Lebanon, Yordania, Kuwait, Oman dan Sudan. Pemerintah Mesir dan Libya akhirnya jatuh sementara Suriah porak-poranda.
ADVERTISEMENT
Menurut ahli politik Universitas George Washington, Henry Farrel, bukan merupakan kebetulan bahwa Tunisia merupakan pengguna Facebook yang sangat besar dan Mesir merupakan pengguna internet terbesar di kawasan itu. Internet yang dengan mudahnya diakses melalui telepon seluler dapat menyatukan setiap orang dan merancang pergerakan yang terstruktur dan massif. Melalui internet, semua orang bisa melaporkan peristiwa, mengekspos kesalahan, mengemukakan pendapat, memobilisasi protes, memantau pemilihan, meneliti pemerintah, memperdalam partisipasi, dan memperluas wawasan kebebasan.
Ilustrasi pengguna Facebook. Foto: Reuters
Indonesia tak luput dari fenomena e-democracy. Media sosial semakin populer sebagai panggung diskusi dan perang narasi sejak pemilihan Gubernur DKI tahun 2012. Iklim sosial, budaya, dan politik semakin hangat setelah Pemilihan Presiden 2014. Tekanan terhadap pemerintah meningkat dan masyarakat terpolarisasi. Siapa aktor-aktor penggerak e-democracy itu? Mereka adalah anak-anak muda yang lahir setelah era 80-an yang di Indonesia akrab disebut Generasi Milenial atau Digital Native untuk istilah internasional.
ADVERTISEMENT

Generasi milenial dan tantangannya

Adalah fakta bahwa anak muda di seluruh dunia sangat akrab dengan internet. Lembaga PBB, International Telecommunication Union (ITU), menyatakan 70% anak muda berusia 15-24 tahun aktif di internet pada tahun 2017. Di negara berkembang pengguna internet usia muda mencapai 94%. Di Indonesia sendiri, diperkirakan 81,4% dari seluruh pengguna internet adalah anak muda berusia 15-39 (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, 2018). 90,6% dari anak muda pengguna internet di Indonesia itu dominan menggunakan media sosial. Karena media sosial memang menjadi alasan terbesar anak muda masa kini untuk menggunakan internet.
Mengapa anak muda suka dengan media sosial? Menurut situs ReachOut, alasannya antara lain untuk berbicara dengan teman, bergabung dalam percakapan grup, bertemu orang baru, mempelajari tentang kejadian terkini dan tetap mendapatkan informasi terbaru dari konten online. Alasan “aneh tapi nyata” yang dikemukakan adalah karena merasa bosan tidak ada kegiatan dan merasa ada yang hilang jika tidak up to date dengan media sosial.
ADVERTISEMENT
Ternyata, anak-anak muda yang terlihat kuat dalam menggerakkan e-democracy itu memiliki kerentanan tersendiri. Peneliti Microsoft, Danah Boyd, dalam bukunya It’s Complicated (2014) mengatakan bahwa anak muda memiliki kecenderungan ingin mendapat tempat di ruang publik. Mereka ingin mengungkapkan ekspresi, ingin didengar dan berpartisipasi dalam kehidupan publik. Media sosial pun menjadi jalan pintas tanpa harus menghabiskan banyak waktu dan energi untuk keluar rumah dan bertemu orang-orang. Di internet, anak muda bahkan bisa membentuk jaringannya sendiri dan menciptakan publiknya sendiri.
Perilaku dan preferensi generasi milenial dinilai berbeda dengan kelompok masyarakat lainnya. Dalam sebuah studi yang dirilis Asis&t, generasi milenial hidup dalam perputaran informasi yang berusia sangat pendek. Informasi cepat dimunculkan dan cepat pula berubah. Mereka tidak sempat merenung berlama-lama karena informasi yang baru sudah datang atau informasi yang direnungkan itu sudah berubah.
com-Ilustrasi vlog. Foto: Shutterstock
Generasi milenial juga tidak lagi sekadar pengguna informasi tetapi menjadi kreator informasi. Kehadiran blog, youtube dan media sosial lainnya menjadi sarana menampilkan kreasi mereka. Karena generasi milenial menciptakan informasi dan informasi membentuk mereka, maka generasi milenial dikhawatirkan sulit mengenali dan merefleksi diri mereka sendiri. Generasi milenial menjadi konsumen yang semakin menuntut terhadap informasi yang lebih menarik dan lebih melibatkan mereka. Jika tidak demikian, mereka tidak akan mengonsumsi informasi tersebut.
ADVERTISEMENT
Pola pencarian informasi generasi milenial juga lebih beragam. Selain mengandalkan pencarian yang ada di sumber-sumber umum di internet, mereka juga menggunakan kelompok jaringannya sebagai sumber informasi. Ketika mereka tidak mendapatkan informasi yang memuaskan, mereka akan mencari dari sumber lain yang mereka anggap mampu. Kelompok jaringan itu kemudian membangun pemahaman bersama sebagai hasil interaksi mereka tersebut.

Penutup

Teknologi internet telah menawarkan informasi yang sangat banyak. Terlalu banyak untuk dikonsumsi apalagi untuk diteliti. Akhirnya, pengguna internet yang sebagian besar adalah generasi milenial itu, mempersempit sumber informasi mereka. Mereka menyusun komposisi penghuni ruang media sosialnya sesuai yang dia inginkan yang secara otomatis menyaring informasi yang dikonsumsi. Para kreator konten yang sebagian besar adalah generasi milenial itu sendiri berlomba-lomba membuat konten yang menarik agar dikonsumsi orang, terlepas dari kualitas atau kebenarannya.
ADVERTISEMENT
Generasi milenial menjadi segmen yang krusial dalam demokrasi saat ini karena mereka adalah pasar politik yang sangat empuk. Sifat generasi milenial yang menuntut informasi cepat dan interaktif harus menjadi perhatian khusus pemerintah dan para pengambil kebijakan karena interaksi di media sosial bisa membangun sendiri pemahaman bersama para penghuninya. Pemahaman apa dan pemahaman siapa? Itu menjadi pertanyaan-pertanyaan yang penting untuk diperhatikan oleh semua pihak.
____
Referensi lain:
Boyd, D. (2014). It’s Complicated. London, UK: Yale University.
Farrel, H. (2012). The Consequences of the Internet for Politics.