Herd Immunity Mampu Akhiri Wabah Virus Corona? Ini Pro dan Kontranya

Berita Hari Ini
Menyajikan informasi terkini, terbaru, dan terupdate mulai dari politik, bisnis, selebriti, lifestyle, dan masih banyak lagi.
Konten dari Pengguna
24 Maret 2020 15:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Berita Hari Ini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pasien covid-19. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pasien covid-19. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Pada umumnya, ada tiga strategi yang mungkin dilakukan untuk menekan penyebaran wabah virus corona. Salah satunya adalah herd immunity (kekebalan kawanan).
ADVERTISEMENT
Strategi pertama yang bisa dilakukan adalah menerapkan lockdown di beberapa daerah dengan jumlah kasus terbanyak. Strategi kedua adalah pemberian vaksin. Masalahnya, sampai saat ini para peneliti dunia masih dalam proses menemukan vaksin untuk corona.
Strategi terakhir adalah kekebalan kawanan (herd immunity). Langkah ini disebut cukup efektif, tetapi terlalu mengerikan untuk dilakukan. Disebut efektif karena herd immunity sempat dijadikan sebagai cara untuk menghentikan wabah zika di Salvador, Brasil, pada 2017.

Apa Itu Herd Immunity?

Ilustrasi herd immunity. Foto: technology review
Herd immunity terjadi ketika sebagian besar populasi sudah kebal terhadap infeksi, sehingga mampu menciptakan perlindungan bagi individu yang tidak kebal. Kebal dalam hal ini didapat karena pernah terpapar virus atau telah melakukan vaksinasi.
Dikutip dari MIT Technology Review, herd immunity bisa terbentuk dengan cara membiarkan virus terus menyebar sehingga banyak orang terinfeksi. Setelah sembuh, orang-orang tersebut akan membentuk kekebalan terhadap virus tersebut. Sehingga wabah akan selesai dengan sendirinya. Itu karena virus sudah tidak bisa menemukan inangnya lagi untuk bersarang.
ADVERTISEMENT
Namun dalam kasus Covid-19, strategi ini sangat ditentang untuk dilakukan. Pasalnya, penelitian mengenai virus corona masih sangat terbatas. Tingkat kekebalan orang yang sudah sembuh juga belum dapat dipastikan.
Memang ada kemungkinan mereka telah kebal. Tapi, tidak menutup kemungkinan juga mereka kembali terinfeksi. Hal ini dikarenakan virus memiliki sifat yang dinamis dan dapat terus berubah.
Selain itu, penyebaran yang relatif cepat dengan penanganan yang terbatas akan membuat herd immunity tidak efektif untuk dilakukan. Sebab, menerapkan metode ini sama saja dengan mengorbankan banyak jiwa yang kemungkinan besar akan berujung pada kematian.
Kondisi di Italia dapat dijadikan sebagai cerminan dalam mempertimbangkan strategi ini. Meski tidak menerapkan herd immunity, mereka tetap babak belur menangani banyaknya kasus dalam waktu yang hampir berdekatan. Alhasil, banyak korban jiwa yang berjatuhan.
ADVERTISEMENT

Membandingkan dengan Aggressive Testing

Di sisi lain, ahli molekur Ahmad Rusdan Handoyo Utomo mengatakan lebih memilih pendekatan aggressive testing ketimbang herd immunity. Pernyataan itu disampaikan dalam diskusi daring “Meliput Covid-19”.
"Pendekatan (herd immunity) ini betul-betul radikal. Apa landasan berpikirnya, ini terkait sudah kelabakannya fasilitas kesehatan, seperti di Italia. Jadi, sekarang Eropa berpikir, sudah biarkan saja yang tidak punya harapan hidup itu mati," tutur Ahmad dikutip dari berbagai sumber.
Pendekatan aggressive testing dianggap lebih manusiawi. Strategi ini dilakukan dengan melakukan pengetesan sebanyak mungkin dan mengelompokkan siapa saja yang positif terjangkit.
"Saya sih cenderung ke aggressive testing, karena kita tahu, sains tidak berdiri sendiri. Karena sebagai bangsa, kita punya value," tambahnya. Meski begitu, Ahmad juga mengakui keduanya memiliki keuntungan dan kekurangan masing-masing.
ADVERTISEMENT
(RAA)