117 Siswa SMP Al Falah Deltasari Belajar Kematian di Museum Etnografi

Konten Media Partner
21 Januari 2020 13:53 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Foto-foto : Masruroh/Basra
zoom-in-whitePerbesar
Foto-foto : Masruroh/Basra
ADVERTISEMENT
Masing-masing suku di Indonesia punya cara sendiri dalam memperlakukan jenazah. Bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka, sudah ada banyak aliran kepercayaan yang tumbuh di masyarakat. Inilah yang diperlihatkan kepada 117 siswa kelas VII SMP Al Falah Deltasari Sidoarjo saat berkunjung ke Museum Etnografi dan Pusat Kajian Kematian Universitas Airlangga Surabaya, Selasa (21/1).
ADVERTISEMENT
“Dalam mata pelajaran IPS, terdapat tema tentang memahami kehidupan masyarakat Indonesia pada masa pra aksara. Dan lewat kunjungan ke museum secara langsung ini, maka diharapkan siswa mampu mendapatkan gambaran utuh dan konkret bagaimana kebudayaan seputar kematian yang ada di tiap suku bangsa di Indonesia,” kata guru pengampu mata pelajaran IPS sekaligus penanggungjawab program kunjungan ke museum, Gatot Purwanto.
Pada zaman pra aksara tepatnya di masa megalitikum, manusia sudah mengenal sistem kepercayaan diantaranya animisme (menyembah benda mati yang dianggap punya kekuatan gaib) dan aliran dinamisme (menyembah makhluk bernyawa yang dianggap memiliki kekuatan gaib).
“Salah satu budaya yang berkembang di era tersebut adalah berupa tradisi yaitu upaya mengawetkan jenazah orang-orang yang mati,” kata Gatot.
ADVERTISEMENT
Pengawetan jenazah tersebut juga berkaitan dengan kepercayaan beberapa suku yang meyakini kematian sebagai era kehidupan baru bagi manusia.
Dengan datang langsung ke Museum Etnografi dan Pusat Kajian Kematian Universitas Airlangga, Gatot berharap siswa-siswanya lebih memahami sejarah tentang prosesi dan ritual kematian berbagai suku di Indonesia.
Para siswa memang terlihat penasaran dengan aneka koleksi tulang belulang manusia yang ada. Selain itu, para siswa juga terlihat serius memperhatikan penjelasan mengenai keanekaragaman budaya kematian yang ada di Indonesia.
“Sempet merinding sih pas mau masuk ke museum, tapi pas masuk dan mendapat penjelasan dari petugas museum saya jadi senang. Karena ternyata tradisi kematian tiap daerah berbeda-beda,” ujar salah satu siswa, Salwa.
Hal yang menarik bagi Salwa adalah koleksi soal tulang belulang yang dipajang di museum itu. Dia penasaran kenapa tulang yang ada awet padahal usianya sudah ratusan bahkan ribuan tahun.
ADVERTISEMENT
“Ternyata cuma replika,” katanya sembari tersenyum.
Setelah itu, rombongan melanjutkan kunjungan yang kedua yakni di Museum Mpu Tantular Sidoarjo. Hal ini sebagai implementasi pembelajaran nyata tema kehidupan masyarakat pada masa hindu Budha dan Islam di Indonesia.