3,6 Persen Anak Laki-laki di Perkotaan Jadi Korban Kekerasan Seksual

Konten Media Partner
30 Agustus 2021 14:32 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi kekerasan seksual pada anak. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kekerasan seksual pada anak. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Kekerasan seksual seringkali menimpa korban perempuan dan anak, namun tidak sedikit korbannya adalah laki-laki. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan korban laki-laki pada kasus kekerasan seksual sebanyak 3,6 persen di wilayah perkotaan untuk kategori seksual kontak dan 5,6 persen untuk kategori seksual non kontak pada tahun 2018. Parahnya, korban yang mengalami kekerasan seksual adalah laki-laki yang berusia di bawah 18 tahun.
ADVERTISEMENT
Data diatas menunjukkan bahwa kekerasan seksual tidak mengenal gender dan perlu memaksimalkan peran laki-laki menjadi support system sebagai langkah pencegahan kekerasan seksual yang terjadi di masyarakat. Mengingat hal ini adalah tanggung jawab bersama, baik perempuan maupun laki-laki harus terlibat aktif dalam pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual melalui kolaborasi support system antar pihak.
Urgensi pengesahan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) tidak dapat ditunda lagi. Dimana perlu adanya payung hukum yang dapat memberikan jaminan bagi penyintas kekerasan seksual, RUU PKS dinilai sebagai bentuk implementasi keseriusan pemerintah dalam menangani setiap lonjakan kasus yang terus terjadi. Butir-butir bab, pasal, hingga ayat dalam naskah RUU PKS memuat aspek dari hulu hingga hilir seperti perlindungan, pelayanan, pemulihan, proses hukum, hingga edukasi. Setiap aspek yang ada di dalam tubuh RUU PKS yang nantinya diharapkan akan menjadi sebuah Undang-undang ini, memerlukan kolaborasi yang sinergis antar pihak, mulai dari pemerintah, stakeholder, pihak swasta, lembaga layanan, hingga lapisan masyarakat.
ADVERTISEMENT
"Minimnya keterlibatan laki-laki dalam isu kekerasan seksual perlu didorong agar isu ini bukan hanya concern perempuan, melainkan menjawab permasalahan bagaimana peran laki-laki hadir sebagai he for she sebagai bentuk perlindungan perempuan dan anak dengan memposisikan pria agar lebih peduli terhadap kesetaraan gender di Indonesia. Perlu ada kolaborasi yang sinergis antar berbagai pihak berfungsi sebagai agen perubahan dalam hal membantu pencegahan dan penanganan korban kekerasan seksual. Support system penanganan kekerasan seksual sangat diperlukan karena korban dapat mengakses seputar informasi dan melakukan pelaporan terhadap apa yang menimpa dirinya, menemukan ruang aman dari tindak kejahatan pelaku, termasuk mendapat dukungan proses hukum," jelas Ratu Ommaya, Head of Values, Community & Public Relations The Body Shop® Indonesia, dalam webinar 'Support System Laki-laki Sebagai Agen Perubahan', Senin (30/8).
ADVERTISEMENT
Menurutnya, support system dibutuhkan baik bagi penyintas juga semua masyarakat termasuk laki-laki. Sehingga korban tidak merasa sendiri dalam menghadapi masalahnya.
“Senjata terkuat adalah ketika kita mampu memberikan kekuatan kepada orang lain. Kami menyuarakan kembali kampanye stop kekerasan seksual dengan berbagai program dalam rangka mencegah dan menangani korban-korban kekerasan seksual dalam upaya memutus rantai kekerasan terutama pada anak, perempuan dan laki - laki," tegasnya.
Salah satunya melalui program webinar ini yang merupakan scale up kerja sama yang sebelumnya telah dilakukan dan bertajuk NO! GO! TELL!. “NO!” adalah memahami apa saja bentuk kekerasan seksual dan berani berkata “TIDAK” jika mengalami kekerasan seksual. “GO!” adalah menjauhi pelaku dan pergi dari tempat yang membuat korban merasa tidak nyaman, dan perlu mencari tempat yang aman bagi para korban. “TELL!” adalah melaporkan kejadian kepada pihak atau orang- orang yang dipercaya korban.
ADVERTISEMENT
"Kekerasan seksual bukan problem personal, tetapi problem sosial. Saat seseorang khususnya laki-laki menjadi pelaku, selain mengoyak hidup korban, keluarga, juga masyarakat. Sesungguhnya kekerasan seksual juga menghancurkan diri dan masa depan pelaku, juga merusak hati dan harapan orang-orang yang dicintainya," tukas Yuniyanti Chuzaifah, Pegiat HAM Perempuan/Komisioner Purna Bakti Komnas Perempuan.
Sementara itu, Nur Hasyim selaku Pendiri Aliansi Laki-Laki Baru yang juga diundang hadir dalam kegiatan tersebut mengungkapkan bahwa laki-laki harus memutus tradisi menormalkan kekerasan seksual dan mengubah pandangan yang melihat kekerasan termasuk kekerasan seksual sebagai norma maskulinitas.
"Perilaku kekerasan seksual adalah masa lalu laki-laki karena generasi baru laki-laki menolak kekerasan seksual yang diwujudkan dalam bentuk terlibat aktif membangun sistem pendukung bagi korban kekerasan seksual dan menciptakan ruang (baik domestik maupun public) yang aman dari segala bentuk kekerasan seksual," ujar Nur.
ADVERTISEMENT
Jane L. Pietra, Psikolog Klinis Dewasa Yayasan Pulih juga ikut menyampaikan pandangannya bahwa perempuan dan laki-laki perlu bermitra untuk mencapai kesetaraan dan mencegah kekerasan seksual. Sebab bukan hanya salah satu pihak saja yang akan diuntungkan, namun keduanya. Selama ini, laki-laki mungkin masih belum memiliki banyak role model atau mendapatkan ruang aman untuk berbagi mengenai pemikirannya dan emosinya, terutama ketika ingin mendukung perempuan. Sehingga memang menjadi penting juga untuk menciptakan dukungan bagi laki-laki yang ingin melakukan dan membawa perubahan.
Kampanye No! Go! Tell! yang serentak digaungkan ini diharapkan dapat mengisi kebutuhan edukasi, karena selama belum ada hukum yang cukup kuat, kita perlu memberdayakan diri dan orang lain saat berada dalam situasi rawan kekerasan seksual. Langkah yang dipersiapkan adalah memberikan edukasi mengenai kesetaraan gender dan pemahaman mengenai bahaya kekerasan seksual khususnya kepada generasi muda.
ADVERTISEMENT