Buku 'Karena Sekolah Bukan Laundry', Kritik untuk Orang Tua Masa Kini

Konten Media Partner
24 September 2019 13:22 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Eka Erawati, guru bimbingan dan konseling SMP Negeri 55 Surabaya dan karyanya 'Karena Sekolah Bukan Laundry'. Foto : Windy Goestiana/Basra
zoom-in-whitePerbesar
Eka Erawati, guru bimbingan dan konseling SMP Negeri 55 Surabaya dan karyanya 'Karena Sekolah Bukan Laundry'. Foto : Windy Goestiana/Basra
ADVERTISEMENT
Tidak sedikit orang tua yang menganggap sekolah ibarat laundry. Mereka menitipkan anak sejak pagi sampai sore, lalu berharap anak pulang ke rumah dengan keadaan beres, baik secara akademik maupun akhlak.
ADVERTISEMENT
Bila anak melakukan kesalahan, orang tua cenderung melemparkan tanggung jawab ke sekolah. Sikap orang tua yang seolah tak mau banyak terlibat pada proses pendidikan anak inilah yang menginspirasi Eka Erawati menulis buku 'Karena Sekolah Bukan Laundry'.
Buku setebal 92 halaman ini berisi permasalahan anak dan remaja yang sering jadi keluhan para orang tua dan guru-guru. "Cerita-cerita yang ada di dalam buku dikumpulkan dari pengalaman saya maupun guru lain di berbagai sekolah," kata Eka pada Basra, Selasa (24/9).
Misalnya saja di Bab 8 ada cerita tentang anak yang lebih betah di warung kopi (warkop) daripada di sekolah. "Anak-anak yang sering begadang main game di warkop itu paginya selalu ngantuk saat di kelas. Kalau bangun kesiangan, kadang tidak mandi ke sekolah. Manajemen waktunya kacau," kata Eka yang sejak satu tahun terakhir menjadi guru bimbingan dan konseling di SMP Negeri 55 Surabaya.
ADVERTISEMENT
Melihat fenomena anak yang lebih betah di warkop, Eka juga menceritakan tanggapan beragam dari orang tua. "Ada orang tua yang mengizinkan anaknya ke warkop karena menurut mereka, warkopnya dekat rumah. Lalu ada juga orang tua yang lebih nyaman anaknya ke warkop karena enggak minta dibelikan pulsa internet karena di warkop sudah ada wifi. Padahal di warkop juga anak bisa kenal rokok, narkoba, dan sejenisnya," kata Eka.
Reaksi orang tua yang cenderung mendukung kebiasaan anak di warkop tentu bertentangan dengan harapan sekolah. "Butuh sikap tegas orang tua dan intervensi pemerintah agar anak tidak nongkrong di warkop pada jam sekolah dan di atas jam 9 malam. Kalau ada pemilik warkop yang melanggar, bisa diberi sanksi. Ini demi masa depan anak-anak," kata Eka yang juga alumnus S2 Psikologi Universitas Airlangga Surabaya ini.
ADVERTISEMENT
Persoalan lain seputar anak yang dimuat dalam buku 'Karena Sekolah Bukan Laundry' adalah saat anak-anak mulai sering berbohong dan mencuri, anak mulai merokok, mencoba narkoba, kecanduan game online, terpapar pornografi, anak mogok sekolah, anak menyilet tubuh, mengalami bullying, sampai cerita anak-anak korban broken home.
Eka yang pernah menjadi Juara 2 Guru Berprestasi tingkat Kota Surabaya 2018 ini berharap, orang tua menyadari kematangan emosi dan psikologis anak adalah tanggung jawab orang tua. "Jangan lupa lho, bagaimana perilaku anak-anak di sekolah adalah cerminan dia di rumah. Karena pendidikan pertama dan utama ada di keluarga. Jadi jangan terbalik," kata Eka.
Eka menyarankan, orang tua yang merasa sangat sibuk dan selalu beralasan tak punya waktu untuk membimbing anaknya bisa melibatkan keluarga terdekat untuk jadi mitra anak berbagi cerita. Orang tua juga wajib menciptakan suasana terbuka agar anak punya tempat kepercayaan untuk berkeluh kesah. (Reporter : Windy Goestiana)
ADVERTISEMENT