'Doa Ibu Production', Ekskul Videografi di SMPN 23 Surabaya yang Berprestasi

Konten Media Partner
19 Februari 2020 8:25 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
suGusti Muhammad Hamdan Firmanta (belakang) bersama tim dari Doa Ibu Production milik SMP Negeri 23 Surabaya. Foto-foto : Windy Goestiana/Basra
zoom-in-whitePerbesar
suGusti Muhammad Hamdan Firmanta (belakang) bersama tim dari Doa Ibu Production milik SMP Negeri 23 Surabaya. Foto-foto : Windy Goestiana/Basra
ADVERTISEMENT
Tak banyak SMP di Surabaya yang punya kegiatan ekstrakurikuler membuat film. Di SMP Negeri 23 Surabaya, pelajar di sana bisa mengikuti ekskul videografi dan bergabung di Doa Ibu Production.
ADVERTISEMENT
Bahkan di tahun 2019, salah satu karya film mereka yang berjudul "Tok Pletok' menjadi nominasi di Festival Video Edukasi 2019 Kategori Pelajar serta diputar di 8th Psychology Film Festival 2019 dan Ganesha Film Festival 2020.
Menurut Gusti Muhammad Hamdan Firmanta, pembina ekskul videografi di SMP Negeri 23 Surabaya, ekskul ini baru ada di 2017.
Meski baru berjalan dua tahun, tapi tim videografi SMP Negeri 23 telah meraih berbagai prestasi di antaranya Juara 1 Lomba Vlog Journalistic of S_Loud 2018 dengan film 'Sang Ibu Pertiwi', Juara 1 Lomba Vlog 'Cinta Lingkungan' SMAK St Louis 1 Surabaya, lalu Juara 1 Dollysaiki Gawe Film 2018 di Dollysaiki Fest 2018, Juara II Carolus Cinematography Competition (Comet) 2018.
ADVERTISEMENT
Melalui ekskul ini, Gusti yang merupakan lulusan S2 Manajemen Seni Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta sengaja fokus ke produksi film supaya kreativitas dan kepekaan siswa melihat fenomena sosial makin terasah.
Ekskul videografi di SMP Negeri 23 diikuti 36 siswa. Jumlah ini tidak tetap, bisa bertambah banyak atau juga berkurang karena kesibukan masing-masing anak.
Gusti dan Nindya Permana sedang berdiskusi menentukan adegan untuk film mereka tahun ini.
Ketika akan mengerjakan proyek film, tiap anggota akan masuk ke tim-tim berbeda. Ada yang jadi sutradara, ada yang jadi manajer lokasi, ada yang mengatur kostum pemain, ada yang membuat naskah, ada yang menjadi editor, ada yang mengatur pencahayaan, dan ada yang berakting.
"Ternyata memang seru bikin film itu. Mulai dari memikirkan idenya, lalu menuangkan ide jadi adegan, lalu gantian mengetik naskahnya, dan berunding dimana lokasinya. Kadang ya ada sampai nggondok (merajuk) enggak mau syuting karena capek atau cuma gara-gara enggak bisa nge-charge HP," kata Maulana Iqbal, manajer lokasi untuk film Tek Pletok, saat ditemui Basra, Senin (17/2) sambil tersenyum.
ADVERTISEMENT
Bila sudah ada talent atau kru yang mogok syuting biasanya Iqbal akan turun untuk negosiasi. "Para pemain dan kru kan enggak terima bayaran. Ya kadang kami bilang, nanti ongkos bensinnya diganti. Biasanya mereka mau syuting lagi," kata Iqbal.
Biaya produksi pembuatan film ini memang swadaya alias ditanggung semua anggota dengan cara urunan. Iqbal mengatakan, per kedatangan tiap anggota memberi sekitar Rp 10 ribu. Uang tersebut kebanyakan dipakai untuk membayar transportasi online yang mereka tumpangi. Tapi ada juga talent yang datang dengan kendaraan dan biaya sendiri.
Meski belum memiliki peralatan kamera sendiri, tapi mereka tak kecil hati. Untuk kamera video, mereka dipinjami milik pembina. "Kalau mikrofon kami pakai HP yang digantung ke tripod lalu disolasi supaya enggak jatuh. Apesnya kalau ada adegan yang visualnya ada, tapi ternyata lupa record suara di HP jadi harus mengulang lagi," kata Nindya Pramana, sang editor, sambil tertawa.
ADVERTISEMENT
Bagaimanapun, tim videografi SMP Negeri 23 sudah membuktikan kalau remaja belasan tahun juga sudah bisa membuat karya film dan mendapat apresiasi karenanya. "Yang paling terasa adalah belajar kerjasama. Kami sama-sama belajar disiplin. Ada sutradara, ada kru, enggak ada talentnya ya enggak bisa syuting," kata Gangga Satria, yang juga jadi editor di tim ini.
Selain Gangga, Fridiana Diva, yang ikut mengurus kostum pemain juga merasa kegiatan ini membuatnya tahu arti pertemanan. "Kami jadi saling jaga dan mengingatkan. Kalau capek 1 kan capek semua, jadi bisa saling semangatin supaya syuting bisa lekas selesai," kata Diva.
Film Tok Pletok yang jadi karya jagoan mereka di 2019 bercerita tentang seorang anak yang awalnya diremehkan ternyata bisa menjadi pahlawan yang menyelamatkan timnya dari kekalahan. Tok Pletok sendiri merupakan permainan tradisional semacam 'tembak-tembakan' yang masih menggunakan bambu.
ADVERTISEMENT