Hati-hati, 'Self Diagnosis' Bisa Membahayakan Diri Sendiri

Konten Media Partner
21 Januari 2020 15:01 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Hati-hati, 'Self Diagnosis' Bisa Membahayakan Diri Sendiri
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Saat ini banyak bermunculan akun-akun di media sosial yang memberikan informasi mengenai kesehatan. Tak jarang dalam informasi yang ditampilkan juga ada penjelasan tentang gejala-gejala penyakit tertentu. Termasuk masalah depresi dan kecemasan berlebih.
ADVERTISEMENT
Menurut Reisqita Vadika, Psikolog Klinis SDM dari Rumah Sakit Adi Husada Undaan Wetan Surabaya, inisiatif untuk mendiagnosis diri sendiri ini bisa menimbulkan dampak buruk bagi diri sendiri dan orang lain.
"Apa yang kita katakan ke diri kita itu sangat powerful. Seseorang yang self diagnosis, secara tidak langsung akan melabeli dirinya dengan kondisi yang tidak sehat tanpa benar-benar tahu yang sebenarnya terjadi pada dirinya. Misalnya menyimpulkan 'aku ini depresi', hanya berdasarkan penggalan artikel, padahal belum tentu. Pada akhirnya ini dapat memicu munculnya kondisi yang lebih parah," ucap perempuan yang akrab disapa Qiqi ketika ditemui Basra, Selasa (21/1).
Qiqi mencontohkan, biasanya individu melabeli dirinya seperti itu setelah melihat akun-akun yang menggambarkan kepribadian atau tentang kesehatan jiwa mereka.
ADVERTISEMENT
"Misal akun ini menjelaskan poin-poin gejala depresi seperti adanya perasaan sedih, kehilangan minat atau semangat, perubahan pola makan dan pola tidur. Hal-hal seperti ini terkadang sifatnya situasional, bisa dialami semua orang pada saat-saat tertentu seperti ketika berduka. Baru bisa didiagnosis depresi kalau gejala-gejala memang memenuhi kriteria diagnosis dan telah terjadi dalam jangka waktu tertentu. Jadi individu tidak bisa menentukan sendiri, sebelum datang ke ahlinya," jelas Qiqi.
Ilustrasi. Foto: Shutterstock
Qiqi mengatakan, self diagnosis ini mempunyai dampak buruk di antaranya seperti menimbulkan kesalahan diagnosis, kesalahan penanganan, dan akhirnya dapat memperburuk keadaan individu itu sendiri.
"Misalnya seseorang yang sebelum dia self diagnosis, dia merasa suasana hatinya sedih sekali tapi masih belum tahu kenapa. Jadi dia sedih, tapi masih beraktivitas seperti biasanya. Nah, ketika dia self diagnosis, dia akan berpikir 'ternyata aku ini depresi' kemudian ini akan memengaruhi sikap dan perilakunya. Bagus kalau misalnya setelah merasa dirinya depresi, lalu dia berpikir langsung mencari bantuan dan mendapat penanganan. Tapi yang bahaya kalau dia justru overthinking atau cemas sendiri, coba-coba sendiri berbagai cara yang belum tentu tepat untuk kondisinya. Ini bisa saja menimbulkan masalah baru atau memperburuk keadaannya," ungkap Qiqi.
ADVERTISEMENT
Guna mencegah hal itu terjadi, Qiqi mengimbau kepada seluruh masyarakat untuk belajar mengkritisi informasi tersebut, seperti memerangi hoaks (berita bohong).
"Jadi jangan langsung percaya. Siapa yang nulis, dasarnya apa, ada acuannya atau tidak, kita harus cari tau terlebih dahulu. Kalau nggak ada dasarnya ya jangan ditelan mentah-mentah. Karena ketika kita merasakan ketidaknyamanan fisik maupun mental, yang utama kita butuhkan itu diagnosis yang tepat supaya nanti penanganannya juga tepat," pungkasnya.