Kiking dan Mukidi, Remaja Bisu Tuli di Surabaya yang Jago Fotografi

Konten Media Partner
27 Januari 2020 7:00 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kiking atau Mohammad Rizky Nur Yahya, disabilitas bisu tuli di Liponsos Kalijudan Surabaya yang jadi Best Photographer di workshop Unicef beberapa waktu lalu. Foto : Windy Goestiana/Basra
zoom-in-whitePerbesar
Kiking atau Mohammad Rizky Nur Yahya, disabilitas bisu tuli di Liponsos Kalijudan Surabaya yang jadi Best Photographer di workshop Unicef beberapa waktu lalu. Foto : Windy Goestiana/Basra
ADVERTISEMENT
Penampilan Kiking dan Mukidi sepintas tak ada beda dengan remaja lainnya. Saat mereka berkomunikasi, barulah terlihat kalau Kiking dan Mukidi penyandang tunawicara dan tunarungu. Meski begitu, Kiking dan Mukidi pintar melukis dan bisa mengoperasikan kamera.
ADVERTISEMENT
Bahkan, Kiking pernah terpilih sebagai 'The Best Photographer' saat mengikuti workshop fotografi dari Unicef bersama fotografer ternama Giacomo Pirozzi pada 5-9 Agustus 2019 di Surabaya.
Mukidi atau Septian, disabilitas bisu tuli yang jago memotret dan melukis.
Kiking dan Mukidi adalah penghuni Lingkungan Pondok Sosial (Liponsos) Kalijudan Surabaya. Kiking berusia sekitar 14 tahun, dan Mukidi sekitar 13 tahun. Kiking bernama asli Mohammad Rizky Nur Yahya dan Mukidi punya nama 'resmi' Septian.
Kiking dititipkan ke Liponsos Kalijudan karena kedua orang tua dan neneknya telah meninggal dunia. Sementara itu saudara terdekat yang merawat Kiking pun pindah ke luar kota, sehingga oleh petugas kelurahan tempat tinggalnya, Kiking dititipkan ke Liponsos.
Sedangkan Mukidi, berada di Liponsos Kalijudan sejak 2016 karena terjaring Satpol PP. Saat diamankan, Mukidi tidak mengantongi identitas apa pun dan tidak bisa diajak berkomunikasi. Karena itu pihak Liponsos memberikan nama 'Septian'. Meski dia lebih sering dipanggil 'Mukidi' oleh petugas Liponsos.
ADVERTISEMENT
Hingga hari ini, sayangnya Kiking dan Mukidi tak bisa berbahasa isyarat. Dua remaja ini tak mengerti Sistem Isyarat Bahasa Indonesia (SIBI) ataupun Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO). Sehingga untuk berkomunikasi dengan keduanya hanya bisa menggunakan bahasa isyarat 'tahu sama tahu'.
Amoy (berkaos biru) penyandang down syndrome dan Pina (memegang kuas) penyandang bisu tuli yang pernah pameran foto bersama Kiking dan Mukidi pada 2018 di Hotel Mercure Surabaya dalam rangka Hari Pahlawan. Foto : Kiking
Beruntung, sejak 2016 Kiking dan Mukidi bertemu dengan perajin batik dan pencinta fotografi, Arief Budiman atau yang akrab disapa Leo Gemati.
Leo dipercaya pihak Liponsos untuk mengisi kelas membatik di sana. Anak-anak penghuni Liponsos Kalijudan yang rata-rata menyandang disabilitas ini didorong untuk punya keahlian agar mereka bisa survive dengan kemampuan melukis atau membatik bila suatu saat kembali ke tengah masyarakat.
Kiking dan Mukidi salah satu murid Leo yang menonjol kemampuannya.
ADVERTISEMENT
"Jadi dulu anak-anak ini kalau habis bikin batik, selalu penasaran sama HP (smartphone). Mereka inginnya main game. Tapi karena di HP saya enggak ada game, saya alihkan mereka belajar motret pakai HP. Dulu belajar motret sama Pina dan Amoy juga (salah satu penghuni Liponsos)," kata Leo saat ditemui Basra, (22/1).
Mukidi di depan lukisan karyanya yang dipajang di Liponsos Kalijudan Surabaya.
Karena kesulitan berkomunikasi, Leo pun mencari cara agar Mukidi dan Kiking memahami apa yang dia sampaikan.
"Satu-satunya cara dengan mencontohkan. Jadi saya motret duluan, lalu saya tunjukkan ini hasilnya. Lalu kalau mau pakai efek atau fitur lain di kamera HP, saya tunjukkan caranya, lalu saya potret lagi. Pas mereka lihat hasilnya beda, mereka langsung mengerti. Terutama Kiking," kata Leo.
ADVERTISEMENT
Kiking yang lebih cepat belajar akhirnya lebih mahir menggunakan kamera pocket Sony SCWX220 dan DSLR Nikon D90 milik Leo.
"Kadang kalau saya ajak hunting bareng, Kiking minta lensa panjang," kata Leo tersenyum.
Leo juga sering menunjukkan beberapa karya foto dari fotografer profesional pada Kiking dan Mukidi. Salah satunya, karya Marrysa Tunjung Sari yang lebih bercerita ternyata banyak menginspirasi gaya foto Kiking dan Mukidi.
Untuk mengasah kemampuan Kiking dan Mukidi dalam memotret, Leo sering mengajak keduanya untuk hunting foto bersama. Leo memberi nama kegiatannya #seruhore.
Leo juga sering mengunggah jepretan Kiking dan Mukidi ke feed Instagram miliknya. Banyak penggiat fotografi yang mengapresiasi karya Kiking dan Mukidi hingga memberi mereka kamera Mirrorless Fuji XA3 untuk terus memotret.
ADVERTISEMENT
Bahkan Kiking juga dapat hadiah smartphone tablet saat jadi Best Photographer di workshop Unicef beberapa waktu lalu.
Menurut Leo, jepretan Kiking dan Mukidi ini punya keistimewaan pada detail. Dengan objek yang sama, Mukidi bisa menampilkan kesan dramatis pada karyanya. Sedangkan Kiking, bisa menangkap momen dan visualisasi yang pas.
"Mereka ini anak-anak spesial. Saya ingin sekali ada pihak yang membantu mereka bisa belajar baca tulis dengan bahasa isyarat yang resmi supaya mereka bisa cerita tentang karya mereka. Akan lebih bagus kalau mereka bisa menjelaskan sendiri karya-karya mereka," kata Leo berharap. Semoga!