Kisah Dian Kyriss, Sosialita Surabaya yang Mengoleksi Ribuan Kain Batik Kuno

Konten Media Partner
2 Oktober 2021 18:09 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Koleksi batik Dian Kyriss. Foto-foto: Dok.pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Koleksi batik Dian Kyriss. Foto-foto: Dok.pribadi
ADVERTISEMENT
Tanggal 2 Oktober diperingati sebagai Hari Batik Nasional. Peringatan Hari Batik Nasional menjadi momen yang tepat untuk berbagi cerita menunjukkan rasa cinta kepada kain tradisional khas Nusantara itu. Dian Kyriss misalnya. Sosialita asal Surabaya ini dikenal sebagai pecinta batik yang telah mengoleksi ribuan batik klasik dari pelosok Nusantara.
ADVERTISEMENT
"Sudah lebih dari 10 tahun ya saya koleksi batik. Sekarang koleksi batik saya sudah lebih dari 2.000an kain batik," ujar Dian kepada Basra, Sabtu (2/10).
Dian lantas bercerita asal mula mengoleksi batik. Penasaran dengan harga kain batik yang mahal, membuat Dian belajar arti dan makna dari kain batik itu. Selanjutnya, ketika mengetahui batik ternyata memiliki makna dan filosofi tinggi, Dian pun memutuskan untuk mengoleksinya dengan kekhususan kain batik klasik (kuno).
Dian Kyriss (kanan)
"Pernah pas berkunjung ke galeri, lihat ada batik seharga Rp 15 juta. Kaget juga batik harganya bisa segitu (Rp15 juta), dari situ saya mulai belajar arti dan makna kain batik. Semakin saya mempelajarinya, semakin saya jatuh cinta sama batik," jelas istri Kurt Kyriss, ekspatriat berkebangsaan Jerman.
ADVERTISEMENT
Jenis batik yang dikoleksi Dian bermacam-macam. Mulai dari batik Sidoarjo, Jogja, Solo, Pekalongan, Tasikmalaya, Lasem, Kalimantan, hingga Sumatera. Adapun batik tertua yang dikoleksi Dian berusia lebih dari 150 tahun.
"Yang paling tua usianya lebih dari 150 tahun. Saya dapatkan di kampung Jetis Sidoarjo, milik keluarga pembuat batik jaman dulu," tukasnya.
Rata-rata batik koleksi Dian memang berusia tua. Untuk mendapatkan batik yang sesuai keinginannya, Dian rela berkeliling keluar masuk kampung hanya untuk mendapatkan kain batik tua. Biasanya dia datang ke kampung pembuat batik. Kemudian mencari home industri yang sudah lama, atau bertanya siapa orang-orang tua di daerah kampung itu yang suka menyimpan batik.
Dengan koleksinya itu, Dian berencana akan terus merawatnya hingga batas waktu yang tidak terbatas. Meski banyak yang menawar untuk membeli, Dian mengaku tidak akan melepasnya.
ADVERTISEMENT
"Apa yang saya simpan ini, saya sebut sebagai kegiatan penyelamatan untuk batik tua," tegasnya.
Meski batik yang dikoleksinya telah mencapai ribuan namun Dian mengaku tak kesulitan untuk merawatnya.
"Tidak ada perawatan khusus ya, lemari tempat menyimpan batik itu cukup dibuka sesering mungkin agar batik bisa diangin-anginkan. Nah, batik yang sudah dipakai saya cuci secara manual (pakai tangan)," ujarnya.
Di momen peringatan Hari Batik ini, Dian pun mengingatkan agar generasi muda tidak hanya melihat batik pada desainnya saja, namun juga makna di setiap motifnya. Ini dikarenakan setiap motif batik memiliki makna dan tidak semua motif bisa digunakan di sembarang acara.
“Minta tolong generasi muda belajar makna batik itu sendiri. Mulailah belajar maknanya," tuturnya.
ADVERTISEMENT
Kemudian untuk ikut melestarikan batik, bisa dilakukan generasi muda dengan minimal memiliki satu batik.
“Minimal punya batik cap, tapi kalau sudah bisa membeli batik tulis ya tulis. Kenapa UNESCO menetapkan batik Indonesia, karena caranya yang memakai canting itu. Tidak ada proses seperti ini di negara lain,” jelasnya.
Ia menyadari harga batik tulis yang memang lebih mahal daripada batik cap menjadi pertimbangan tersendiri seseorang memiliki batik tulis.
"Batik cap juga perlu dihargai karena dengan menggunakan mesin, jumlah kain dengan corak batik yang dihasilkan menjadi lebih banyak," simpulnya.