Kisah Samsul, 12 Tahun Rawat Orang Terlantar yang Alami Gangguan Jiwa

Konten Media Partner
15 Oktober 2019 8:34 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Para pendamping sedang membagikan kacang hijau di Barak A dan B yang dihuni psikotik pria di Liponsos Keputih Surabaya. Foto-foto: Windy Goestiana/Basra
zoom-in-whitePerbesar
Para pendamping sedang membagikan kacang hijau di Barak A dan B yang dihuni psikotik pria di Liponsos Keputih Surabaya. Foto-foto: Windy Goestiana/Basra
ADVERTISEMENT
"Gelem ngedusi wong gendeng?" Pertanyaan itu bukan jokes. Pertanyaan itu adalah tawaran pekerjaan yang dianggap konyol oleh Samsul Arifin 12 tahun lalu.
ADVERTISEMENT
Samsul kini berusia 33 tahun. Sejak tahun 2007 Samsul mengabdikan diri menjadi pendamping orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) di Lingkungan Pondok Sosial (Liponsos) Keputih Surabaya.
Samsul tak akan bisa lupa saat Gianto (sekarang Kepala UPT Liponsos Keputih) menawarkan pekerjaan memandikan orang gila padanya. Tawaran itu datang saat Samsul baru dirumahkan oleh perusahaan tempatnya bekerja. Di tengah kegundahan tentang masa depannya, Samsul justru mendapat tawaran kerja yang sangat dia takuti yaitu, merawat orang kelainan jiwa.
Samsul tak langsung menjawab tawaran tersebut. Bahkan sampai seminggu berlalu, ia tak juga memberi kepastian. Samsul saat itu khawatir, kelainan jiwa bisa menular karena terus-menerus berdekatan dengan si pasien. Akhirnya sang ayahlah yang meyakinkannya. "Bapak saya bilang Bismillahirrahmanirrahim ae le. Tiba-tiba di hati seperti yakin mungkin ini memang garis yang ditentukan Allah. Akhirnya saya yakin berangkat ke Liponsos," kenang Samsul.
ADVERTISEMENT
Satu minggu bekerja, Samsul mengaku baru berani menyiapkan makan bagi para penghuni yang disebut 'klien' tersebut. Samsul tak berani masuk ke barak, juga tidak berani memandikan. "Saya masih takut saat itu," kata Samsul.
Samsul Arifin sedang memotong kuku salah satu penghuni Liponsos Keputih Surabaya.
Tapi ketakutan dan kekhawatiran itu berubah saat Samsul mengamati para kliennya tidak ada yang berperilaku agresif. Bahkan beberapa dari mereka bisa diajak bicara dan bercerita tentang mengapa mereka bisa ada di Liponsos.
"Saya lama-lama kasihan. Mereka ini kalau tidak ada yang memandikan ya tidak mandi berhari-hari. Kalau tidak ada yang memakaikan baju, ya bisa seharian telanjang. Padahal mereka juga bisa demam, bisa sakit. Kasihan," kata Samsul.
Sehari-hari Samsul bertugas sebagai pendamping klien di Barak D yang berisi gelandangan pengemis (gepeng), anak-anak jalanan yang terjaring razia Satpol PP saat sedang mengamen ataupun berkeliaran tanpa tujuan di jalanan, serta lansia laki-laki yang sudah kehilangan daya ingat dan mengalami gangguan jiwa.
ADVERTISEMENT
Bila sedang shift pagi, Samsul sudah datang ke Liponsos Keputih sejak pukul enam. Pekerjaan yang telah menunggunya adalah memandikan klien, memakaikan baju, memastikan mereka makan dan tertib minum obat, lalu memotong kuku mereka, memotong rambutnya, memberikan buah dan minuman kacang hijau, menjadi teman bicara, hingga membersihkan kotoran buang air kecil (BAK) dan buang air besar (BAB) para klien.
Saat Basra bertanya apa tidak merasa jijik dengan tugas tersebut, Samsul pun tertawa. "Sudah punah mbak rasa jijiknya," celetuknya.
Barak D dihuni 62 klien yang berusia mulai 9 sampai 70 tahun lebih. Samsul tentu tidak sendiri. Setiap barak dijaga beberapa pendamping dan perawat. Tugas mereka sama persis. Yang membedakan hanya tenaga perawat punya sertifikat keperawatan. Sehingga pemberian obat umumnya dilakukan oleh perawat atas petunjuk dokter.
ADVERTISEMENT
Khusus untuk menghadapi anak-anak jalanan yang cenderung sulit dikendalikan, Samsul punya trik sendiri. "Mereka itu intinya hanya ingin dimanusiakan. Saat mereka masuk sini, saya langsung tanya apa yang mereka butuhkan. Mereka bilang butuh baju yang layak, butuh sabun mandi sendiri, butuh sarung, kami sediakan. Ternyata pendekatan yang seperti itu justru membuat mereka respek dengan kita. Tidak ada kata-kata kasar, dan tidak perlu diperintah. Mereka suka diperlakukan layaknya manusia," kata Samsul.
Menurut Gianto, Kepala UPT Liponsos Keputih Surabaya, penghuni Liponsos Keputih sampai Oktober 2019 ada 993 orang. Ada juga pasien Liponsos Keputih yang sedang dirawat di Rumah Sakit Jiwa Menur ada 75 orang dan yang dirawat di Rumah Sakit Jiwa Lawang ada 63 orang.
ADVERTISEMENT
Pada prinsipnya Liponsos Keputih tidak hanya menampung ODGJ saja, tapi ada juga penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) seperti anak-anak yang ditelantarkan orang tua, anak jalanan, gelandangan, pengemis, pemulung, orang dengan HIV/AIDS tanpa keluarga, serta perempuan rawan sosial ekonomi (PRSE) yang umumnya berusia 18-59 tahun dan tidak mempunyai penghasilan cukup untuk dapat memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari.
"Untuk PRSE yang bukan ODGJ akan dipulangkan ke daerah asal atau disalurkan ke Panti Karya di Kediri. Untuk anak-anak jalanan yang sudah tidak diketahui keluarganya, akan disalurkan di Liponsos Kampung Anak Negeri Surabaya untuk dibina menjadi atlet tinju atau sepeda. Sedangkan lansia yang masih baik kesehatan jiwanya akan dialihkan perawatannya ke Griya Werdha di Jambangan Surabaya. Sedangkan yang usianya di bawah 45 tahun dan bukan ODGJ akan disalurkan ke Balai PMKS Sidoarjo. Untuk diberi keterampilan," kata Gianto pada Basra (14/10).
ADVERTISEMENT
Khusus untuk klien yang punya riwayat Tuberkulosis dan ODHA akan dialihkan pengobatannya ke RSUD Dr Soewandhie Surabaya atau RSUD Dr Soetomo.
Gianto mengaku, Pemerintah Kota Surabaya tahun ini menganggarkan sekitar Rp 19 miliar untuk kebutuhan makan, obat, dan perawatan para penghuni Liponsos Keputih Surabaya. "Jumlahnya dari tahun ke tahun terus turun karena sudah banyak klien yang kami pulangkan ke keluarganya," kata Gianto. (Reporter: Windy Goestiana)