Kisah Sulis, Seorang Diri Menerapi Anaknya yang Lumpuh Otak

Konten Media Partner
11 Juni 2019 7:28 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi anak disabilitas. Gambar oleh PublicDomainPictures dari Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi anak disabilitas. Gambar oleh PublicDomainPictures dari Pixabay
ADVERTISEMENT
Siapa bisa menduga jika muntaber menjadi awal duka bagi Nadhifta Taqfahu yang saat itu masih berusia satu tahun? Nadhifta divonis mengalami cerebral palsy atau lumpuh otak. Sulung dari dua bersaudara itu mengalami gangguan pada gerakan dan sistem koordinasi tubuh.
ADVERTISEMENT
Akibat penyakit cerebral palsy itu, Dhifta yang kini berusia 15 tahun masih memiliki pola pikir layaknya anak usia SD. Penyakit tersebut juga membatasi tutur kata maupun pergerakan Dhifta.
"Pengucapan untuk lebih dari lima kata, Dhifta masih susah. Tulisannya juga tidak rapi, kemampuan membacanya masih kurang tepat intonasinya," jelas sang ibu, Sulistiani, saat dikunjungi Basra, Senin (10/6).
Meski demikian, Sulis masih bersyukur dengan kondisi Dhifta saat ini. Terutama ketika ia mengingat kembali saat-saat ketika Dhifta dulu hanya tergeletak tak berdaya saat pertama kali didiagnosis lumpuh otak.
"Awalnya, Dhifta muntaber, lalu dia koma satu minggu. Dia harus opname di rumah sakit selama satu bulan sampai kulit punggungnya terkelupas. Saya benar-benar enggak tega, apalagi waktu itu Dhifta masih berusia satu tahun," kisah Sulis dengan mata berkaca-kaca.
ADVERTISEMENT
Dhifta menjalani perawatan di bawah pengawasan dokter saraf selama kurun waktu satu tahun. Namun, perawatan tersebut nyatanya tak kunjung menunjukkan perkembangan positif. Putus asa melihat kondisi Dhifta, Sulis pun memutuskan resign dari pekerjaannya dan total merawat sang buah hati.
Sulis memilih menerapi Dhifta sendiri. Dengan penuh ketelatenan, Sulis melakukan proses terapi untuk putranya itu.
Dhifta dan ibunya. Foto : Masruroh/Basra
"Untuk matanya, saya pakai lampu yang diarahkan maju mundur pada mata Dhifta. Tadinya bola mata Dhifta ada di pinggir. Kemudian untuk dia belajar jalan, saya latih di atas titian lakban. Lakban saya tata berbaris kemudian Dhifta saya ajak berjalan di atasnya. Saya juga mengajak Dhifta olahraga mulut agar dia bisa ngomong," kata Sulis.
Terapi yang dilakukan Sulis terhadap Dhifta memang tak langsung membuahkan hasil. Bertahun-tahun lamanya Sulis melakukannya dengan penuh kesabaran. Meski kadang, Sulis berada pada satu titik putus asa.
ADVERTISEMENT
"Pernah merasa sangat putus asa karena kondisi Dhifta tak kunjung membaik. Tapi saat melihat dia tidak bisa apa-apa, sementara teman sebayanya sudah bisa jalan, saya kok nelongso (kasihan). Ada pikiran bagaimana nanti Dhifta kalau sudah besar dan tetap tidak bisa ngapa-ngapain? Itu jadi motivasi saya untuk tetap melatih Dhifta," ungkapnya.
Sulis pun tak pernah putus berdoa untuk kesembuhan buah hatinya. Hingga di kemudian hari, Dhifta mulai menunjukkan perkembangan positif. Bola matanya mulai normal, Dhifta juga mulai bisa berjalan dan berkomunikasi meski kurang lancar. Kondisi Dhifta tersebut memberikan keberanian pada Sulis untuk mendaftarkan Dhifta sekolah.
Namun saat kondisi Dhifta berangsur membaik, ia harus kehilangan sang ayah. Di tahun 2016, ayahanda Dhifta berpulang. Tentu ini menjadi pukulan telak bagi Dhifta dan keluarganya. Kepergian sang ayah yang merupakan tulang punggung keluarga memaksa Dhifta, ibu, dan adiknya pindah ke indekos sempit di kawasan Kupang Krajan, Jawa Timur.
ADVERTISEMENT
Untuk menyangga perekonomian keluarga, Sulis pun berjualan es krim di rumah. Sulis juga mengajar mengaji di masjid dekat indekosnya.
"Saya jualan es krim di rumah, bikin sendiri, tidak bisa kerja ikut orang karena sampai sekarang saya juga masih menerapi Dhifta. Memang terapinya sudah tidak seperti dulu. Sekarang saya ngajarin Dhifta agar bisa berkomunikasi dan membaca dengan baik, juga mengajari dia untuk nulis dengan rapi," tukasnya.
Meski Dhifta tergolong anak penurut, namun saat ada keinginannya yang tidak terpenuhi, emosinya langsung membuncah.
"Masih belum bisa ngontrol emosi, kadang banting-banting barang kalau sedang emosi," imbuh Sulis.
Agar Dhifta dapat hidup lebih mandiri, Sulis pun memutuskan tak mendaftarkannya ke jenjang SMA. Homeschooling menjadi pilihan Sulis untuk Difta.
ADVERTISEMENT
"Saya kan pernah ngajar, jadi Dhifta nanti homeschooling saja sambil belajar beternak ayam. Supaya nanti dia bisa hidup mandiri," kata Sulis. (Reporter: Masruroh / Editor: Windy Goestiana)