Melihat Jejak Keraton yang Masih Tersisa di Kampung Ketandan, Surabaya

Konten Media Partner
4 September 2019 9:37 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Mural di Kampung Ketandan yang jadi ikon kampung ini. Foto-foto : Amanah Nur Asiah/Basra
zoom-in-whitePerbesar
Mural di Kampung Ketandan yang jadi ikon kampung ini. Foto-foto : Amanah Nur Asiah/Basra
ADVERTISEMENT
Jejak Keraton di Surabaya masih bisa dilihat di Kampung Ketandan. Perkampungan yang diapit Jalan Tunjungan, Embong Malang, Praban, dan Blauran ini dulunya menjadi tempat tinggal para prajurit Keraton.
ADVERTISEMENT
Sebelum Belanda datang, Keraton Surabaya diperkirakan meliputi kawasan Kebonrojo, Alun-Alun Contong termasuk kawasan Blauran dan Baliwerti, serta Tugu Pahlawan. Sekitar tahun 1723, bangunan Keraton runtuh seiring masuknya Belanda ke Surabaya. Kini yang tertinggal hanyalah nama jalan dan bangunan tua.
Tidak ada yang tahu persis asal-usul kampung Ketandan. Satu-satunya informasi yang bisa didapat Basra dari blog Kampung Budaya Ketandan adalah nama Ketandan berasal dari 'Ketandang' yang berarti Perang Tandang.
Di dalam Kampung Ketandang ada tiga jujukan tempat yang menarik, yaitu Masjid An-Nur, makam Mbah Buyut Tondo, serta Joglo Cak Markeso.
Masjid An-Nur.
Masjid An-Nur dibangun pada 1914. Gaya arsitektur masjidnya terbilang klasik, di bagian pintu masuk ada pilar-pilar besar yang mengapit. Ciri khas bangunan era kolonial.
ADVERTISEMENT
"Dulu masjid ini hanya berupa musala. Seiring dengan kebutuhan kapasitas jemaah, masjid An-Nur mengalami beberapa kali renovasi. Meski demikian, beberapa bagian masih dipertahankan keasliannya," jelas Indra Bagus Sasmito, selaku ketua Rukun Warga (RW) pada Basra (3/9).
Beranjak ke tengah kampung, terdapat sebuah makam Mbah Buyut Tondo yang menempati lahan 10x15 meter. Masyarakat sekitar meyakini Mbah Buyut Tondo salah satu nenek moyang masyarakat Kampung Ketandan.
Makam Mbah Buyut Tondo dan kerabatnya.
"Warga Ketandan dan sekitarnya menganggap Mbah Tondo sebagai 'pembabat alas' atau nenek moyang," tutur Indra.
Selain kedua bukti sejarah itu, guna menjaga kekayaan sejarah di Ketandan, Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya mengembangkan kampung tersebut sebagai kawasan cagar budaya dan objek pariwisata.
Salah satunya, yakni diresmikannya Balai Budaya Cak Markeso yang diresmikan pada 2016 lalu. Balai budaya yang berbentuk rumah joglo ini dibangun dari hasil kerja sama United Cities Local Government Asia Pacific (UCLG ASPAC), UN Habitat, dan Pemkot Surabaya.
ADVERTISEMENT
Penamaan Markeso sendiri dilakukan sebagai penghormatan kepada seniman besar Kota Pahlawan.
"Selain itu, dulu kata sesepuh sini (Ketandan) mayoritas warganya juga sebagai pemain ludruk. Dengan adanya balai ini, kami berharap para generasi muda bisa melestarikan kesenian asli Indonesia ini," katanya.
Diketahui, balai budaya yang terletak di tengah Kampung Ketandan ini digunakan sebagai ruang publik yang berfungsi sebagai penyambung rasa warga Ketandan dalam berinteraksi dan berdiskusi.
Selain itu, warga juga menjadikan Balai Budaya Cak Markeso sebagai tempat untuk menggelar beragam pertunjukan seni bagi masyarakat Surabaya. (Reporter : Amanah Nur Asiah / Editor : Windy Goestiana)