Screenshot_20190912-102242_Instagram (1).jpg

Memahami Pemikiran Habibie: 'Berawal di Akhir, Berakhir di Awal'

12 September 2019 10:44 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Dok. Instagram Habibie Center
zoom-in-whitePerbesar
Dok. Instagram Habibie Center
ADVERTISEMENT
Presiden ketiga Republik Indonesia, Bacharuddin Jusuf Habibie telah berpulang ke Rahmatullah pada Rabu 11 September 2019 pada usia 83 tahun. Kisah-kisah tentang inovasi dan teori penerbangan milik Habibie yang membanggakan satu persatu muncul di permukaan.
ADVERTISEMENT
Salah satunya tentang prinsip 'Berawal di Akhir, Berakhir di Awal' yang dipopulerkan Habibie untuk membuat lompatan-lompatan mutakhir dalam kemajuan teknologi di Indonesia.
Pada laman resmi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) di tanggal 6 Juli 2014 pernah ada artikel 'BJ Habibie : Mulai Pada Akhir dan Berakhir di Awal'.
Artikel itu menceritakan pertemuan dan perbincangan hangat antara Habibie dengan Unggul Priyanto, Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Deputi BPPT saat itu.
Dalam pertemuan tersebut Habibie yang pernah menjabat sebagai Menteri Riset dan Teknologi selama 10 tahun bercerita banyak tentang sejarah perkembangan teknologi di Indonesia. Terutama di bidang penerbangan yang jadi fokusnya selama ini.
"Banyak yang belum mengetahui, bahwa ide membuat pesawat bukanlah datang dari seorang Habibie, tapi dari Presiden RI pertama, Soekarno. Sejak Indonesia merdeka, Soekarno sangat sadar bahwa untuk mempertahankan nusantara yang terdiri dari ribuan pulau, Indonesia membutuhkan dua teknologi yang dapat mempersatukan bangsa sekaligus meningkatkan ekonomi, yakni Teknologi Perkapalan dan Teknologi Industri Dirgantara," kata Habibie seperti dikutip dari laman BPPT.
ADVERTISEMENT
Berangkat dari ide tersebut, menurut Habibie, pemerintah mulai mengirimkan orang ke luar negeri, untuk belajar dan menguasai kedua teknologi tersebut. "Saya bukan termasuk dalam gelombang pertama yang dikirim ke luar negeri. Ada empat golongan sebelum saya yang lebih dulu pergi," terangnya.
Berbekal paspor hijau dan restu dari Ibunda, Habibie memulai perjalanannya di Jerman pada tahun 1955. "Saya sangat suka Fisika, karena itu saya ambil jurusan tentang pesawat di Universitas Jerman. Paspor hijau yang saya pegang, menjadikan saya merasa harus bekerja keras. Karena itu adalah perjuangan Ibunda saya yang membiayai. Beda dengan kawan-kawan saya yang berpaspor biru, mereka mendapatkan biaya secara reguler dari pemerintah".
Habibie bercerita, betapa sulitnya Ia pada masa-masa tersebut, dimana Ia sangat tergantung pada kiriman dari Ibundanya. "Ayah saya meninggal dunia dalam usia relatif muda, 42 tahun. Beliau menghembuskan napas terakhirnya, saat kami sekeluarga sedang melaksanakan Sholat Isya, dalam keadaan sujud. Pada saat itulah Ibunda saya mengucapkan janjinya untuk menjadikan semua anak-anaknya, bermanfaat bagi bangsa. Dan saya baru berumur 14 tahun waktu itu".
Dok. Habibie Center
Di usia 19 tahun Habibie muda tidak kenal istilah foya-foya. Berbekal paspor hijau, ia mendapatkan kemudahan untuk dapat terus meningkatkan jenjang pendidikannya. “Lulus S1 langsung ke S2, terus langsung S3. Saya tidak harus pulang terlebih dahulu, seperti teman-teman yang berpaspor biru. Dan dalam usia 28 tahun, saya telah bergelar doktor. Ini bukanlah rekayasa pemerintah, apalagi saya, tetapi rekayasa Tuhan Yang Maha Esa," tegas Habibie.
ADVERTISEMENT
Setelah menjadi doktor, Ia pun bekerja di sebuah industri pembuatan pesawat komersil di Jerman. Selama 15 tahun, dirinya bekerja sangat serius dan keras, hingga diakui dan dihargai. "Alasan saya bekerja di tempat tersebut adalah, apabila saya pulang ke Indonesia, saya dapat membangun Indonesia melalui ilmu yang saya dapat di Universitas selama 10 tahun serta pengalaman saya selama 15 tahun di industri. Dan harapan itu pun terjawab. Pada tahun 1978, saya di panggil Presiden Soeharto untuk pulang dan membangun Indonesia," ucap Habibie.
"Sebelum pulang, saya membuat oret-oretan sendiri, bagaimana mengembangkan industri kedirgantaraan di Indonesia. Di situlah saya menemukan konsep bahwa untuk memulai, mulailah pada akhir dan berakhir pada awal. Begitu pulang, saya langsung mengembangkan beberapa pesawat, maksudnya apa? Untuk mendapatkan sertifikasi terlebih dahulu. Bukan pula sekadar sertifikat, tapi sertifikat yang menyebutkan bahwa kita layak dan mampu membuat pesawat serta merekayasanya sendiri. Jadi bukannya tidak fokus, justru ini sangat terencana. Dan Indonesia sekarang telah memiliki sertifikasi tersebut," ujar Habibie penuh semangat.
ADVERTISEMENT
Berkat konsep sederhana 'berawal di akhir dan berakhir di awal' ini Habibie menginisiasi terbentuknya PT PAL di bidang pembuatan kapal, PT Pindad di bidang persenjataan militer, dan IPTN (kini PT Dirgantara Indonesia) di bidang penerbangan.
Pesawat N250 karya BJ Habibie yang menjadi pesawat pertama milik Indonesia.
Termasuk pada tahun 1995 saat Habibie dengan bangga memperkenalkan pesawat pertama buatan Indonesia N250 Gatot Kaca. Pesawat tersebut menjadi satu-satunya pesawat turboprop di dunia yang menggunakan fly by wire. Pesawat N250 dirancang spesial agar tidak mengalami 'dutch roll' atau keadaan oleng. Teknologi di tahun 1995 itu bahkan dipersiapkan Habibie untuk 30 tahun ke depan.
Dan terbukti, teknologi fly by wire yang ditemukan Habibie sudah digunakan oleh banyak perusahaan aviasi dunia. Yang pertama menggunakannya adalah pesawat F-8 Crusader milik Nasa pada tahun 1972. Lalu berurutan Sukhoi T-4 dan pesawat tempur jenis Hawker Hunter.
ADVERTISEMENT
Bahkan penerbangan komersil seperti Airbus A320 juga ikut menggunakan sistem FBW digital pada tahun 1984. Sampai di tahun 2005 an ada Dassault Falcon 7X yang jadi jet bisnis pertama dengan sistem kendali FBW digital.
Teknologi fly by wire menjaga keamanan tingkat tinggi dalam pengendalian pesawat. Apabila mesin pesawat mendadak mati, maka mode perlindungan pada komputer akan aktif, dan membantu pilot mengendalikan kembali pesawat. Selain itu bila terjadi kerusakan pada sistem mekanik dan hidrolik maka kerusakan terjadi secara bertahap. Tidak langsung menyeluruh. Di samping itu, pesawat dengan sistem FBW memiliki beban lebih ringan.
Terobosan tersebut bisa jadi dianggap tak lazim saat itu karena Indonesia baru fokus mengelola sumber daya agraria dan belum banyak menyentuh kemajuan teknologi. Tapi begitulah Habibie.
ADVERTISEMENT
Dalam banyak kesempatan Habibie selalu menyampaikan, Indonesia akan bisa maju, berdaya saing, dan mampu melaksanakan pembangunan nasional dengan sumber daya manusia yang kompeten. (Windy Goestiana)
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten