Mengenal Perilaku Menghakimi atau Cancel Culture dan Cara Menghindarinya

Konten Media Partner
2 Maret 2022 11:32 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Pixabay
ADVERTISEMENT
Cancel Culture merupakan bentuk boikot masyarakat kepada pribadi yang berperilaku ofensif dan tidak menyenangkan di dunia maya.
ADVERTISEMENT
Hadirnya cancel culture menyebabkan banyak pengguna akhirnya terkucilkan dan bisa menimbulkan dampak lebih besar bagi kehidupannya.
Pakar Komunikasi asal Universitas Airlangga, Nisa Kurnia Illahiati SIKom, MMedKom menyebut bahwa pemboikotan itu timbul akibat penyebaran hal-hal yang tidak sepenuhnya benar di media sosial dan akhirnya merugikan pihak yang diboikot.
“Sehingga saat melakukan cancel, kita sebenarnya melanggar hak seseorang untuk 'hidup' dan berbicara,” ucapnya, Rabu (2/3).
Guna mencegah terjadinya hal tersebut, Nisa membagikan beberapa tips bijak yang bisa dilakukan dalam menggunakan media sosial sebagai sebuah teknologi.
Pertama, memahami bahwa pola pikir merupakan hal yang menggerakan teknologi. “Sebelum kita mau melakukan sesuatu, kita harus membenahi pola pikir, dan memahami proses logika itu bekerja, karena teknologi hanyalah instrumen,” jelasnya.
ADVERTISEMENT
Kedua yakni pentingnya pemahaman pengguna untuk tiap media yang akan digunakan. Dengan mengetahui karakteristik dan efek yang ditimbulkan, pengguna media sosial diharapkan menjadi lebih mawas dan terhindar dari jebakan media.
“Medium is the message. Hal yang harus kita ingat, bahwa setiap media memiliki karakteristik dan efek yang berbeda. Misalnya judul dan lead berita daring yang dibuat menarik, untuk memikat perhatian warganet untuk meng-klik berita,” sebutnya.
Terakhir yaitu netizen harus bisa menganalisa bagaimana narasi tersebut tercipta. “Seringkali orang-orang berani menghakimi orang secara keseluruhan, hanya dari story yang hanya belasan detik. Padahal bagaimana belasan detik dapat merepresentasikan seluruh hal yang terjadi,” tambahnya.
Di satu sisi, peran netizen sebagai hakim dalam konteks cancel culture, dapat menjadikan mereka buta akan realitas yang sebenarnya dapat dicari.
ADVERTISEMENT
Sedangkan di sisi lain, kebebasan berbicara merupakan hak asasi manusia yang dimiliki oleh semua manusia, baik bagi pihak netizen sebagai hakim maupun pelaku.
Tak lupa, Nisa berpesan sebelum melakukan penghukuman maupun penghakiman ada baiknya netizen mengonfirmasi kebenaran yang ada.
"Karena cancel culture akhirnya hanya jadi main hakim sendiri kalau netizen hanya melakukan apa yang baik di mata mereka, tanpa melihat perspektif lain, dan tanpa mengonfirmasi kebenaran yang sebenarnya ada," pungkasnya.