Saat Interaksi Obat Berakibat ke Asidosis Laktat, Apa Itu?

Konten Media Partner
21 Juli 2021 13:40 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pixabay.
zoom-in-whitePerbesar
Pixabay.
ADVERTISEMENT
Baru-baru ini masyarakat diramaikan dengan istilah interaksi obat dan asidosis laktat yang dihubungkan dengan kematian pasien COVID-19.
ADVERTISEMENT
Lantas apa itu asidosis laktat?
Menanggapi hal itu, Dr. dr. Meity Ardiana SpJP(K)., FIHA., FICA., FAsCC., mengatakan, bahwa asidosis laktat dapat terjadi ketika produksi asam laktat atau sisa metabolisme tubuh yang dihasilkan di sel otot dan sel darah merah melebihi pembersihan asam laktat.
Dimana peningkatan produksi laktat biasanya disebabkan oleh gangguan oksigenasi jaringan, baik dari penurunan pengiriman oksigen atau kurangnya pemanfaatan oksigen di tempat pembangkit tenaga sel (mitokondria).
Salah satu penyebab kondisi gangguan oksigenasi jaringan tersebut adalah penyakit pada saluran nafas bawah seperti pneumonia, yang merupakan gejala dari infeksi COVID-19.
“Normalnya, tubuh menghasilkan asam laktat sebesar 20 mmol/kg/hari, yang akan dimetabolisme oleh liver dan ginjal. Namun, ketika kondisi oksigenasi jaringan menurun, metabolisme laktat (metabolisme tanpa oksigen) tidak sebanding dengan produksi laktat, sehingga jumlah laktat meningkat secara proporsional,” kata Dr. Meity, Rabu (21/7).
ADVERTISEMENT
Dr. Meity mengungkapkan bahwa Cohen dan Woods membagi asam laktat menjadi dua kategori, yaitu tipe A dan tipe B.
Pada tipe A, asidosis laktat terjadi dengan bukti klinis oksigenasi darah yang buruk (misalnya hipotensi, sianosis, ekstremitas dingin dan berbintik-bintik). Sebagian besar kasus asidosis laktat disebabkan oleh hipoperfusi jaringan (kurangnya asupan nutrisi yang diperlukan oleh jaringan tubuh) akibat hipovolemia (kondisi ketika jumlah darah dan cairan di dalam tubuh berkurang secara drastis), gagal jantung, sepsis, atau henti jantung.
Sedangkan pada tipe B, asidosis laktat terjadi ketika tidak ada bukti klinis oksigenasi yang buruk.
"Tipe B sendiri dibagi menjadi 3 subtipe berdasarkan penyebab yang mendasarinya yakni tipe B1 berhubungan dengan penyakit sistemik, seperti gagal ginjal atau liver, tipe B2 disebabkan oleh beberapa kelas obat dan toksin, seperti biguanide, alkohol, isoniazid, zidovudine, dan salisilat. Sementara tipe B3 disebabkan oleh kelainan metabolisme bawaan," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Dr. Meity mengungkapkan jika tidak ada obat tertentu untuk mengatasi kondisi asidosis laktat. Namun, terapi yang dilakukan bertujuan untuk mengoreksi penyebab dasar terjadinya asidosis laktat serta mengoptimalkan oksigenasi darah dan perfusi jaringan (penurunan sirkulasi darah ke yang dapat mengganggu kesehatan).
Hal itu bertujuan untuk memastikan bahwa metabolisme yang terjadi pada tubuh pasien bukanlah suatu metabolisme dalam kondisi tanpa oksigen.
“Dokter juga akan mengevaluasi kemungkinan penyebab asidosis laktat yang lain, meliputi penyakit penyerta pasien, seperti gagal ginjal atau liver dan penggunaan beberapa kelas obat,” tambahnya.
Pixabay.
Interaksi Obat
Sementara terkait interaksi obat, Dr. Meity menjelaskan, jika interaksi obat merupakan perubahan efek suatu obat yang timbul akibat adanya interaksi dengan substansi lain (seperti obat lain, makanan dan minuman) yang diberikan secara bersamaan atau terpisah sehingga efektivitas atau toksisitas obat berubah.
ADVERTISEMENT
Dimana efek interaksi obat ada yang menguntungkan dan merugikan. “Pada interaksi obat yang menguntungkan dapat terjadi peningkatan efektivitas tanpa meningkatkan efek samping, sedangkan interaksi obat yang merugikan dapat menambah terjadinya efek samping,” ungkapnya.
Dosen Fakultas Kedokteran Unair ini mencontohkan terkait interaksi obat yang menguntungkan, adalah obat untuk darah tinggi. Ketika penderita darah tinggi yang tekanan darahnya belum mencapai target meskipun sudah mengatur gaya hidup dan mengonsumsi satu macam obat penurun tekanan darah tinggi, maka akan diberikan satu obat penurun darah tinggi dari golongan berbeda dan didapatkan hasil tekanan darah penderita tersebut bisa turun sesuai target yang diinginkan.
“Sedangkan contoh interaksi obat yang merugikan adalah penggunaan obat propranolol dengan insulin pada penderita diabetes melitus yang dapat meningkatkan efek samping berupa hipoglikemia (gula darah turun dibawah normal) berkepanjangan, sehingga dalam pemberiannya memerlukan pemantauan yang lebih ketat,” pungkasnya.
ADVERTISEMENT