Siswa Surabaya Sambut Gembira Rencana Penghapusan UN

Konten Media Partner
12 Desember 2019 15:07 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Foto : Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Foto : Pixabay
ADVERTISEMENT
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Makarim, akan menghapus Ujian Nasional (UN) pada tahun 2021. Pelaksanaan UN terakhir akan dilakukan tahun 2020.
ADVERTISEMENT
Menteri Nadiem mengatakan pelaksanaan UN selama ini menimbulkan banyak masalah. Oleh sebab itu, muncul pertimbangan untuk mengganti UN dengan sistem ujian nasional bernama Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter yang terdiri dari kemampuan bernalar menggunakan bahasa (literasi), kemampuan bernalar menggunakan matematika (numerasi), dan penguatan pendidikan karakter.
Kebijakan Mendikbud tersebut tentu saja disambut gembira siswa di Surabaya. Farizky Chandra misalnya. Siswa SMKN 13 Surabaya kelas X ini menuturkan, dengan tidak adanya UN akan mengurangi beban siswa.
"Kalau ada UN kan beban belajarnya banyak, habis USBN lanjut UN. Capek buat belajar kita," ujarnya kepada Basra, Kamis (12/12).
Meski menyetujui UN ditiadakan, namun Fariz kurang sependapat jika Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) dikembalikan ke sekolah.
ADVERTISEMENT
"USBN lebih baik tetap serentak saja dan mengikuti pusat biar adil. Kalau dikembalikan ke sekolah, iya kalau gurunya fair, kalau enggak?," tukasnya.
Penghapusan UN juga disambut antusias Chyntia Chandra, siswi kelas IX SMP Barunawati Surabaya. Chyntia beranggapan jika UN hanya akan membuat stres siswa.
"Lha, gimana enggak stres kalau nilai UN jelek bisa enggak lulus. Sudah belajarnya susah, masih kepikiran nanti nilainya gimana?" tandas anak kedua dari tiga bersaudara ini.
Meski Mendikbud akan menghapus UN namun sistem zonasi masih akan dipertahankan untuk penerimaan siswa baru. Hal ini disayangkan Putri Naura Salsabillah.
Menurut siswa kelas V SDN Pacar Keling V Surabaya, sistem zonasi sangat tidak adil bagi siswa yang ingin masuk ke sekolah favoritnya.
ADVERTISEMENT
"Kita sudah ngoyo belajar ingin masuk SMP favorit tapi akhirnya enggak bisa karena jaraknya jauh dari rumah," keluh Naura.
Naura berharap sistem zonasi dihapus dan penerimaan siswa baru memakai sistem nilai.
Menurut empat pokok kebijakan yang dibuat Nadiem Makariem soal zonasi, Kemendikbud tetap menggunakan sistem zonasi dengan kebijakan yang lebih fleksibel untuk mengakomodasi ketimpangan akses dan kualitas di berbagai daerah.
Komposisi PPDB jalur zonasi dapat menerima siswa minimal 50 persen, jalur afirmasi minimal 15 persen, dan jalur perpindahan maksimal 5 persen. Sedangkan untuk jalur prestasi atau sisa 0-30 persen lainnya disesuaikan dengan kondisi daerah. “Daerah berwenang menentukan proporsi final dan menetapkan wilayah zonasi,” ujar Mendikbud.
Dilansir dari laman Kemdikbud, jalur afirmasi disediakan bagi siswa yang menerima program penanganan keluarga tidak mampu dari Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah (misalnya penerima Kartu Indonesia Pintar).
ADVERTISEMENT
Jalur ini merupakan komitmen Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk meningkatkan layanan akses pendidikan berkualitas untuk anak-anak dari keluarga tidak mampu.
Pemerintah Daerah dapat menentukan proporsi siswa yang diterima melalui jalur ini dengan mengacu pada persentase siswa yang menerima program penanganan keluarga tidak mampu dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah di daerah tersebut.
Bila ada anak penerima KIP, namun secara domisili peserta didik yang bersangkutan juga bisa masuk melalui jalur zonasi, maka sebaiknya anak tersebut masuk melalui jalur afirmasi. Ini jika kuota afirmasi belum terpenuhi untuk sekolah tersebut. Sehingga, kuota PPDB jalur zonasi bisa diberikan ke siswa dari kelas sosial lainnya.
Mendikbud berharap, pemerintah daerah dan pusat dapat bergerak bersama dalam meratakan akses dan kualitas pendidikan “Pemerataan akses dan kualitas pendidikan perlu diiringi dengan inisiatif lainnya oleh pemerintah daerah, seperti redistribusi guru ke sekolah yang kekurangan guru,” pesan Mendikbud.
ADVERTISEMENT