Wartawan Tak Bisa Lagi Sembarangan Memberitakan Kasus Kekerasan Anak

Konten Media Partner
7 Maret 2019 6:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustasi : Image by kantsmith on Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustasi : Image by kantsmith on Pixabay
ADVERTISEMENT
Dewan Pers akhirnya resmi merilis Pedoman Pemberitaan Ramah Anak. Pedoman ini mengimbau media untuk melindungi anak dari sanksi sosial akibat pemberitaan kasus kekerasan.
ADVERTISEMENT
Apapun status anak dalam kasus kekerasan (baik sebagai korban, saksi, maupun pelaku) media harus memikirkan dampak jangka panjang dari pemberitaan tersebut.
Beberapa aturan baru yang dimuat dalam pedoman tersebut diantaranya wartawan dilarang untuk menyebut alamat detil dan identitas keluarga korban baik ayah, ibu, paman, bibi yang dikhawatirkan akan membuat publik bisa menyimpulkan sosok korban.
Butir-butir Pedoman Pemberitaan Ramah Anak yang tercantum dalam Peraturan Dewan Pers Nomor : 1/PERATURAN-DP/II/2019 adalah sebagai berikut :
1. Wartawan merahasiakan identitas anak dalam memberikan informasi tentang anak, khususnya yang diduga, disangka, didakwa melakukan pelanggaran hukum atau dipidana atas kejahatannya.
2. Wartawan memberitakan secara faktual dengan kalimat/narasi/visual/audio yang bernuansa positif, empati, dan/atau tidak membuat deskripsi/rekonstruksi peristiwa yang bersifat seksual dan sadistis.
ADVERTISEMENT
3. Wartawan tidak mencari atau menggali informasi mengenai hal-hal di luar kapasitas anak untuk menjawabnya seperti peristiwa kematian, perceraian, perselingkuhan orang tuanya dan/atau keluarga, serta kekerasan atau kejahatan, konflik dan bencana yang menimbulkan dampak traumatik.
4. Wartawan dapat mengambil visual untuk melengkapi informasi tentang peristiwa anak terkait persoalan hukum, namun tidak menyiarkan visual dan audio identitas atau asosiasi identitas anak.
5. Wartawan dalam membuat berita yang bernuansa positif, prestasi, atau pencapaian mempertimbangkan dampak psikologis anak dan efek negatif pemberitaan yang berlebihan.
6. Wartawan tidak menggali informasinya dan tidak memberitakan keberadaan anak yang berada dalam perlindungan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban).
7. Wartawan tidak mewawancarai saksi anak dalam kasus yang pelaku kejahatannya belum ditangkap/ditahan.
ADVERTISEMENT
8. Wartawan menghindari pengungkapan identitas pelaku kejahatan seksual yang mengaitkan hubungan darah/keluarga antara korban anak dan pelaku. Apabila identitas sudah diberitakan, maka wartawan segera menghentikan pengungkapan identitas anak. Khusus untuk media siber, berita yang menyebutkan identitas dan sudah dimuat, di edit ulang agar identitas anak tersebut tidak terungkap.
9. Dalam hal berita anak hilang atau disandera diperbolehkan mengungkapkan identitas anak tapi apabila kemudian diketahui keberadaannya, maka dalam pemberitaan berikutnya segala identitas anak tidak boleh dipublikasikan dan pemberitaan sebelumnya dihapus.
10. Wartawan tidak memberitakan identitas anak yang dilibatkan oleh orang dewasa dalam kegiatan yang terkait politik dan yang mengandung SARA.
11. Wartawan tidak memberitakan tentang anak dengan menggunakan materi (video/foto/status/audio) semata-mata hanya dari media sosial.
ADVERTISEMENT
12. Dalam peradilan anak, wartawan menghormati ketentuan dalam UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).
(Windy Goestiana)