Anak Penderita Gizi Buruk Masih Ditemukan di Pulau Sailus, Sulsel

Konten Media Partner
2 November 2019 9:08 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Anak Penderita Gizi Buruk Masih Ditemukan di Pulau Sailus, Sulsel
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Surabaya (beritajatim.com) – Rumah Sakit Terapung Ksatria Airlangga (RSTKA) telah kembali dari misi dharma bakti kesehatan untuk tahun 2019. Saat ini kapal sedang berada di Labuan Bajo untuk menurunkam kru medis yang akan pulang ke kembali ke kota asal masing masing, Jumat (1/11/2019).
ADVERTISEMENT
Misi kali ini bernama Bhakti Pangkajene Kepulauan yang dilaksanakan di 3 titik yakni Pulau Matalaang, Pulau Sapuka, dan Pulau Sailus, Sulawesi Selatan sejak 14-26 Oktober 2019. Di Pulau Sailus tim RSTKA membawa setidaknya 39 kru yakni, 12 dokter spesialis, 8 dokter umum, 7 perawat, 1 farmasi dan 11 kru kapal.
Selain dari RSTKA, para relawan datang dari berbagai lembaga serta daerah. Mulai Satuan Pemberantasan Buta Katarak dari Perhimpunan Dokter Mata Indonesia (Perdami) Cabang Sulsel, Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Padang, Universitas Airlangga Surabaya, Universitas Hasanuddin Makasar, Universitas Brawijaya Malang juga HIPKABI Bandung. Mereka bahu-membahu melayani ratusan pasien yang datang untuk berobat di RSTKA.
Selama empat hari di Pulau Sailus, para kru medis harus berjibaku dengan penanganan spesialistik. Ada lebih dari 500 pasien yang berobat dengan 32 jumlah tindakan operasi. Selama di Pulau Sailus RSTKA berkerjasama dengan puskesmas setempat. Sayangnya tidak ada dokter, saat itu hanya ada perawat dan bidan.
ADVERTISEMENT
Menurut dr. Asyraf Djamaludin, Sp An, salah satu dokter sukarelawan dari Unhas Makasar, sebenarnya ada 1 dokter umum di Pulau Sailus tetapi saat itu dokter tersebut sedang pulang ke kampung halaman untuk mengurus prajabatan.
“Ada dokter baru, beberapa bulan mengabdi di Sailus, tetapi tidak bertemu dengan kami karena beliaunya pulang untuk prajabatan. Sehingga selama ini akses kesehatan memang sulit di sini. Hanya ada bidan dan perawat,” ungkap dr Asyraf.
Masyarakat Sailus yang mendapat berkah keindahan alam yang menawan ternyata belum dibarengi dengan kesadaran higenitas. Menurut dr Asyraf banyak penyakit yang terjadi karena masalah higenitas, terutama untuk anak. “Banyak anak yang terkena infeksi telinga, kulit. Mungkin karena sanitasi yang kurang memadai atau juga karena sering mandi di laut barangkali,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Selain banyaknya jumlah anak yang terinfeksi karena masalah higenitas, RSTKA juga menemukan 1 anak yang menderita gizi buruk di Sailus. Anak tersebut berusia 6 tahun dengan bobot hanya 6 kilogram. Dari cerita dr Asyraf, anak tersebut datang ke posko pelayanan bersama ibunya.
“Anaknya datang tidak bisa apa-apa. Sudah menderita komplikasi global developmental delayed, keterlambatan fungsi motorik kasar, motorik halus, speech, dan personal sosial. Ini salah satu komplikasi yang paling ditakutkan,” tukasnya.
Ia menjelaskan bahwa idealnya nutrisi harus didapat dengan baik dan cukup sejak janin sampai kurang dari 2 tahun. Nutrisi tersebut diperlukan untuk bertumbuh dan berkembang. Termasuk yang paling penting adalah pertumbuhan otak.
“Jika ada defisiensi nutrisi bisa terjadi keterlambatan pertumbuhan otak. Di usia 18 bulan, tengkorak sudah menutup. Setelah itu otak tidak bertambah ukuran lagi. Akhirnya fungsi otak tidak baik,” terangnya.
ADVERTISEMENT
Ditangani oleh dr Asyraf, anak tersebut diberikan berbagai vitamin dan dipandu ahli gizi untuk memberikan pemahaman kepada orang tua terkait pola konsumsinya. “Kami berikan vitamin dan bekal pemahaman dari ahli gizi untuk orang tuanya. Semoga kedepannya bisa berkembang lebih baik,” harapnya.
Menurut cerita dr Asyraf, di Sailus mendapatkan beras sangat susah. Harga beras yang mahal karena dipasok dari kota yang jaraknya sangat jauh sehingga tiba di Sailus harga beras menjadi sangat mahal. Kebanyakan masyarakatnya merupakan nelayan yang hidup apa adanya.
Saat musim hujan, mereka baru menanam umbi-umbian untuk mengganti beras. Sayur mayur juga terbilang susah didapat karena minim petani. Oleh karenanya kualitas hidup di Sailus tidak begitu tinggi.
“Akses yang minim, tidak ada dokter, signal tidak ada, lampu hanya menyala di pukul 18.00 hingga 21.00 malam, hasil bumi yang murah membuat mereka hidup apa adanya. Semoga segera ada perbaikan kualitas hidup bagi masyarakat Pulau Sailus,” pungkasnya. [adg/suf]
Ilustrasi Gizi buruk. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
ADVERTISEMENT