Keadilan untuk Micko dan Mereka yang Mati Atas Nama Sepak Bola

Konten Media Partner
28 September 2018 16:58 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suporter Indonesia di Malaysia kirimkan pesan perdamaian. (Foto: Haikal Pasya/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Suporter Indonesia di Malaysia kirimkan pesan perdamaian. (Foto: Haikal Pasya/kumparan)
ADVERTISEMENT
Menteri Pemuda dan Olahraga, Imam Nahrawi, menghentikan kompetisi Liga 1 selama dua pekan menyusul kematian Haringga Sirla usai dikeroyok Bobotoh di sekitar Stadion Gelora Bandung Lautan Api, jelang pertandingan Persib melawan Persija Jakarta, Minggu (23/9/2018). Saya lantas teringat Micko Pratama.
ADVERTISEMENT
Micko meninggal dunia setelah dianiaya sejumlah orang dalam perjalanan pulang ke Surabaya, usai menyaksikan pertandingan Persebaya melawan PS Tira di Bantul, Jogja, pada pekan keempat Liga 1, 13 April 2018. Usianya baru 17 tahun. Dia sedang berada di atas bak truk saat dihadang segerombolan orang, dan kembali ke Surabaya dengan berkain kafan.
Micko adalah salah satu dari sekian nama suporter sepak bola yang meninggal atas nama sebuah permainan yang disebut-sebut terindah di dunia. Save Our Soccer (SOS), sebuah institusi yang mengkhususkan diri pada penyelamatan sepak bola Indonesia, mencatat sudah ada 76 orang suporter yang meninggal dunia sejak 1994. Mayoritas karena penganiayaan dan pengeroyokan.
Bonek, suporter Persebaya, menempati peringkat pertama jumlah fans yang meninggal: 17 orang. Terbanyak berikutnya adalah Arema dan Persija (masing-masing 9 orang), dan PSIS serta Persib (masing-masing 5 orang).
ADVERTISEMENT
Garis merah tebal untuk jumlah suporter yang meninggal dengan latar belakang rivalitas Persib dan Persija: 7 orang. Jumlah ini terbanyak dan sebagian besar terjadi di kawasan stadion pada hari pertandingan. Sesuatu yang tak ditemui pada rivalitas tajam lainnya antara Bonek dengan suporter Malang.
Sebagian kalangan mengusulkan agar kompetisi sepak bola nasional dibekukan dalam waktu yang tak ditentukan.
"Hentikan dulu empat tahun lalu berbenah," kata Jufriyadi, mantan legislator DPRD Jember, Jawa Timur.
Salah satu tokoh Bonek, Andi Peci; dan pemain Persija, Bambang Pamungkas, sempat menjadi viral karena sepakat dengan penghentian kompetisi jika korban terus berjatuhan.
Haringga Sirla, korban tewas pada laga Persija vs Persib (Foto: Twitter @FOS_PERSIJA)
zoom-in-whitePerbesar
Haringga Sirla, korban tewas pada laga Persija vs Persib (Foto: Twitter @FOS_PERSIJA)
Penundaan pertandingan kompetisi Liga 1 selama dua pekan untuk berduka lazim dilakukan pengelola liga di Eropa jika ada korban jiwa dalam sebuah pertandingan. Juventus melawan Parma pada 2008 sempat ditunda setelah seorang fans Parma meninggal karena tertabrak bus sebelum pertandingan.
ADVERTISEMENT
Nahrawi mengatakan penghentian Liga 1 selama dua pekan sebagai bentuk bela sungkawa nasional. "Ini mementum introspeksi dari kita semua, bahwa satu nyawa sangat mahal bila dibanding sepak bola," katanya.
Nahrawi benar. Persoalannya, sepak bola Indonesia selalu mengulangi kesalahan yang sama. Problem terbesar dalam pengelolaan sepak bola Indonesia adalah keadilan dan ketegasan dalam penegakan aturan.
Selama bertahun-tahun, tak ada sanksi tegas dan keras untuk klub yang didukung dengan nyanyian-nyanyian berlirik penuh kebencian terhadap kelompok suporter lain. Selama bertahun-tahun lagu itu membuat kebencian mengeras bagai kerak dalam hati dan membuat sepak bola menjadi arena intoleransi melebihi relasi antar penganut agama, dan bahkan lebih mematikan.
ADVERTISEMENT
Di lain pihak, ada perlakuan berbeda terhadap korban. Selama bertahun-tahun, Bonek diabaikan saat menjadi korban kekerasan. Mungkin karena predikat pendukung Persebaya itu sebagai kelompok suporter yang identik dengan biang onar. Pelaku penganiayaan terhadap Bonek jarang tertangkap dengan cepat dan dihukum, dan ini berbeda jika yang menjadi pelaku adalah mereka yang teridentifikasi sebagai Bonek.
Federasi juga tidak menjatuhkan sanksi keras kepada klub yang gagal melindungi penonton selama di kawasan stadion. Jika sebuah klub tuan rumah bisa dihukum karena menyalakan cerawat, seharusnya mereka layak dihukum lebih berat jika ada penonton yang meninggal atau terluka di area stadion saat hari pertandingan.
Setelah libur dua pekan karena berduka, PSSI harus berani menegakkan aturan jika masih ingin dihormati. Sebagai tuan rumah yang gagal melindungi penonton, Persib Bandung layak dihukum berat: Setidaknya pengurangan angka dan larangan menggelar pertandingan kandang dengan penonton sedikitnya tiga kali.
ADVERTISEMENT
Persija Jakarta juga harus dihukum berat karena gagal menyelenggarakan pertandingan yang aman saat melawan PSIS Semarang, setelah gagal menyelenggarakan pertandingan melawan Persebaya karena kerusuhan. Kesalahan Persija sudah akumulatif dan harus mendapat hukuman.
Musim depan, PSSI harus mulai berani menjatuhkan sanksi diskualifikasi kepada klub tuan rumah, jika ada lagi penonton yang meninggal di area stadion karena penganiayaan. Namun PSSI juga harus berikhtiar bersama klub dan aparat kepolisian untuk memetakan pertandingan-pertandingan yang bertensi tinggi. Dengan begitu, tingkat pengamanan juga berbeda dan lebih spesifik.
PSSI sudah harus mulai mendorong klub untuk memberikan kuota untuk suporter rival hadir ke stadion sesuai aturan berlaku. Salah satu cara menghilangkan intolerensi di stadion adalah membiasakan penonton tuan rumah menerima mereka yang berbeda datang berdampingan. Tentu saja kedatangan suporter klub rival harus dijaga ketat. PSSI maupun klub-klub Indonesia harus mulai berani mengambil risiko ini dengan terukur untuk menggerus intoleransi.
ADVERTISEMENT
November 1997, Persebaya sudah mulai melakukannya. Panitia pelaksana menyediakan tribun di sayap VIP untuk sedikitnya 50 Aremania menyaksikan pertandingan Persebaya melawan Arema dalam Liga Indonesia IV di Stadion Gelora 10 November.
Sayangnya, itu menjadi momentum pertama dan terakhir hingga saat ini. Pasalnya, pada putaran kedua, panpel Arema justru tidak menyediakan kuota tempat untuk Bonek. Satu kesempatan untuk menciptakan tolerensi antara dua seteru pun musnah.
Terakhir, ada baiknya PSSI memberikan dukungan kepada kelompok-kelompok suporter yang ingin mencari keadilan hukum atas meninggalnya rekan-rekan mereka karena kekerasan.
Kasus kematian Micko tidak bisa diabaikan oleh federasi. Dukungan yang diberikan kepada Bonek dan keluarga Micko untuk mencari keadilan, sebagaimana yang dilakukan Football Association terhadap pencarian keadilan korban Hillsborough, tentu akan membantu mendinginkan suasana dan tensi, sekaligus menunjukkan bahwa kematian suporter tak berhenti pada data statistik. [wir/ted]
ADVERTISEMENT
Tulisan ini pertama kali diterbitkan oleh beritajatim.com dengan judul "Keadilan untuk Micko dan Mereka yang Mati Atas Nama Sepak Bola".