Lawan Hoax dan Rawat Nalar Penting Jelang Pilpres 2019

Konten Media Partner
16 November 2018 13:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Lawan Hoax dan Rawat Nalar Penting Jelang Pilpres 2019
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Surabaya (beritajatim.com) - Melawan hoax dan menjaga nalar publik tetap sehat, adalah dua langkah penting menjelang perhelatan Pilpres 2019. Hoa harus dilawan karena menjadi sarana paling murah dalam mendapatkan dukungan di era post truth.
ADVERTISEMENT
Itulah antara lain hasil Seminar Nasional yang bertema 'Populisme Dalam Demokrasi di Era Post Truth' yang digelar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (UNAIR) Kamis (15/11/2018).
Kegiatan yang satu rangkaian dengan Airlangga Social Politic Debat Competitipns (ASPDC) 4.0, 2018 ini menghadirkan tiga pembicara, yakni, Dwi Eko Lokononto, Founder Media Beritajatim.com, Joko Susanto,S.IP.,MA. selaku Dosen Ilmu Hubungan Internasional FISIP UNAIR dan Dia Puspitasari S.Sosio selaku Aktivis Muda Perempuan.
Dalam paparannya Joko Susanto melihat masyarakat harus didorong untuk memperkuat politik nalar. Alasannya, di era post truth ini, berfikir bukan lagi satu-satunya dan alasan eksistensi manusia, tetapi apa-apa saja yang dipercayalah yang membuat manusia itu ada.
ADVERTISEMENT
"ini sama saja dengan menjungkirbalikkan apa yang Rene Descrates bilang bahwa I Think Therefore I am jadi I Believe Therefore I am. Hal inilah yang terjadi pada era post truth, bahwa kebenaran tertinggi bukan lagi nalar ataupun kebenaran Tuhan, tapi kebenaran yang tertinggi adalah apa yang kita percaya dan sayangnya apa yang kita percaya adalah citra, persepsi, atau image," ujarnya.
Ia menerangkan bahwa, keadaan post truth ini telah digambarkan beratus tahun yang lalu oleh Plato, filsuf dan matematikawan Yunani pada zaman Athena dalam teorinya mengenai Cave Allegory, yakni keadaan dimana manusia diibaratkan hidup dalam gua yang gelap dan kebenaran hanyalah sebatas kenyataan yang ada di dinding yang membatasi mereka denga dunia yang sesungguhnya.
ADVERTISEMENT
"Dalam situasi tersebut manusia hanya akan pempercayai apa yang mereka lihat. Nah dalam keadaan gelap di dalam gua orang akan saling merapatkan diri. Ikatan atau bonding itu terbentuk semakin erat. Itulah yang sedang kita hadapi, manusia manusia yang hanya mempercayai apa yang mereka percayai, dan ikatan-ikatan yang kuat yang terbentuk atas dasar ketidaktahuan dan kegelapan," tambahnya.
Situasi ini membuat masyarakat menjadi mudah tergerus isu hoax atau bohong, mudah diperdaya. Politik saat ini menurutnya nalar tidak lagi menjadi suatu tolak ukur kemenangan karena pembentukan politik identitas dan isu isu yang emosional adalah upaya yang murah dan efektif dalam memperoleh massa.
"Politik tidak lagi berlandaskan pada asas kebenaran. Masyarakat mudah terjebak pada image atau citra yang ujung-ujungnya memenangkan kandidat yang tidak memiliki integritas dan logika yang sehat. Pilihan akan dijatuhkan pada meraka yang pandai memutar dan memeras emosi masyarakatnya, contohnya saja Trump bisa menang karena isu sara dan hak ras kulit putih, atau Brexit yang menciptakan hoax terkait dolar yang keluar dari Inggris ke Eropa," ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Untuk itu, Joko mengatakan bahwa kesadaran pentingnya membangun politik nalar merupakan upaya yang paling dibutuhkan di Indonesia ini untuk menghadapi arus politik di era post truth ini, salah satunya dengan menciptakan ruang umum bagi perkembangan nalar dalam iklim pedagogi.
"Saya rasa, jika berbicara tentang musim politik yang paling dekat adalah pilpres cara paling sederhana adalah memberantas hoax dan meningkatkan kualitas politik nalar. Untuk itu kampus harus berperan aktif sebagai salah satu produsennya para pemikir, kampus harus diberikan kesempatan untuk menjadi tuan rumah Debat Capres, dengan syarat menerapkan asas equal quality atau penciptaan pembahasan yang seimbang, tidak boleh hanya satu capres saja yang diundang melainkan dua duanya harus diajak untuk memaparkan apa saja goal kedepannya secara bersamaan. Selain itu segala sesuatunya harus diurus sendiri oleh kampus, mulai dari pertanyaan, moderator dan penontonnya harus mahasiswa itu sendiri," paparnya.
ADVERTISEMENT
Ia mengatakan bahwa hal seperti ini sudah diterapkan oleh negara negera maju lainnya, karena menurutnya kampus adalah pihak yang memiliki poin penting yaitu nalar sedangkan mereka yang duduk dalam ranah politik adalah pemilik power atau kekuasaan. Ia berpendapat bahwa selama kampus mampu menghindari politik praktis maka politik nalar sangat perlu untuk dikembangkan di kampus.
"Selama kampus tidak dijadikan lahan untuk politik praktis maka hal hal seperti debat pilpres, pilwali dan sebangainya adalah penting dan bisa dilakukan di kampus. Dengan demikan kita bisa mempertemukan pemilik power dan pemilik poin (intelektual, red) agar kampus tidak selamanya menjadi politik powerpoin, punya poin tapi jarang didengar karena ndak punya power," tambahnya.
Ia juga mengatakan bahwa ketidakmampuan atau larangan-larangan politik nalar dikampus terjadi karena masyarakat tidak bisa membedakan apa itu politik praktis dan politik nalar sehingga trauma negara atas politisisasi kampus di masa orde baru terus membatasi proses deliberasi ilmu pengetahuan.
ADVERTISEMENT
Kolaborasi Lawan Hoax
Sementara itu, Pimred beritajatim.com, Dwi Eko Lokononto membenarkan gerakan melawan hoax menjadi penting dalam menjaga nalar publik menjelang Pilpres dan Pileg. Lucky berkeyakinan, hanya dengan nalar publik yang sehat atau waras, keadaban publik bisa dijaga.
Ada beberap hal yang telah dilakukan media untuk menjaga nalar dan keadaban publik. Media online atau siber yang tergabung dalam Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), misalnya, berkolaborasi melawan hoax dan ujaran kebencian lewat pembentukan cekfakta bersama Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo).
"Hoax yang punya kecepatan menyebar luar biasa, hanya bisa dilawan dengan penyajian fakta yang cepat pula. Jadi sebelum hoax meracuni masyarakat secara masif, sudah tersaji fakta yang benar. Kerja seperti Itu hanya mungkin dilakukan lewat kolaborasi. Tidak bisa kerja sendirian," ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Di tengah kerja bareng melawan hoax dan ujaran kebencian, sambung Lucky, Dewan Pers bersama organisasi profesi seperti PWI, AJI dan IJTI telah mendorong awak media terus meningkatkan kompetensi melalui penerapan Uji Kompetensi Wartawan (UKW).
Tak hanya itu, Dewan Pers juga mulai menstandadisasi perusahaan media, antara lain, harus berbentuk Perseroan Terbatas., punya alamat kantor yang jelas, Pemimpin Redaksi harus lulus Uji Kompetensi Wartawan tingkat Utama, dll.
“Harapannya, di tangah awak redaksi yang telah tersertifikasi, maka kualitas pemberitaan atau kualitas produk jurnalistik bisa meningkat. Semua paham dan bekerja dalam panduan Kode Etik Jurnalistik dan UU Pokok Pers. Bisa membedakan fakta dan opini, dan karena itu, tidak terjebak memberitakan hoax dan ujaran kebencian,” jelasnya.
ADVERTISEMENT
Namun, menurut Lucky, peran media menjaga nalar dan keadaban publik di tengah menguatnya populisme di era post truth membutuhkan dukungan kaum intelektual, termasuk para mahasiswa. Media butuh banyak narasumber yang kredibel untuk.menjaga nalar dan kradaban publik.
“Karena itu jangan semua kekuatan kritis dikooptasi. Jika semua kekuatan kritis terkoortasi, kita bisa terlambat mengetahui situasi yang sudah gawat karena tidak yang meniup peluit. Masyarakat juga alan sulit menemukan rujukan kebenaran karena semua menjadi terkotak sebagai pendukung capres A atau capres B," tegasnya.
Selain meminta pemerintah tidak mengkooptasi semua kekuatan kritis, Lucky Lokononto berharap pemerintah tidak mengeluarkan kebijakan yang justru merusak nalar masyarakat. Membatalkan kenaikan BBM, termasuk pertalite yang semestinya bergantung pada harga pasar, kata Lucky, adalah salah satu contoh kebijakan yang bisa merusak nalar.
ADVERTISEMENT
Masyarakat yang mulai beradaptasi dengan naik turunnya harga BBM, kembali pada pemahaman bahwa BBM harus murah dan disubsidi negara. "Kebijakan menaikkan harga BBM pasti tidak.populis dan berpotensi digoreng lawan politik, tapi bukankah beberapa kali naik turun harga BBM sudah bisa diterima masyarakat. Tidak ada gejolak," jelasnya.
Penundaan kenaikan harga BBM, kata Lucky, berpotensi memberatkan perekonomian negara karena tingginya harga minyak dunia berbarengan dengan cenderung naiknya kurs dolar terhadap rupiah. Penundaan itu juga akan menambah beban Pertamina yang bertanggungjawab menjaga pasokan BBM.
Peningkatan beban itu, lanjut Lucky Lokononto, bisa menghambat tugas utama Pertamina dalam menjaga dan meningkatkan produksi minyak dan gas, termasuk dari beberapa blok terminasi seperti Blok Mahakam ataupun Blok Rokan.
ADVERTISEMENT
"Padahal, jika produksi tidak bisa ditingkatkan, otomatis impor BBM akan naik, devisa terkuras, beban Pertamina bertambah besar, rupiah sulit menguat," ungkapnya.
Alumnus Ilmu Politik FISIP Unair ini berharap pemerintah tidak.meragukan kecerdasan publik dalam menilai kebijakan yang dibuat pemerintah. "Sekalipun ada hoax dan kita memasuki era post truth, tapi sebagian besar publik masih waras. Masih cerdas. JIka kebijakan benar, disosialisasikan dengan benar, dilaksanakan dengan benar, pasti didukung rakyat," katanya. (bjo)