Kebebasan Penonton sebagai Markah Kemerdekaan Bangsa

Billi Pasha Hermani
See no evil, hear no evil, speak no evil, maybe.
Konten dari Pengguna
17 Agustus 2018 7:04 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Billi Pasha Hermani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kebebasan Penonton sebagai Markah Kemerdekaan Bangsa
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Berstatus sebagai penonton itu menyenangkan. Dengan embel-embel tersebut, curahan emosi bisa diluapkan di tribune, tepi lapangan, pinggir panggung, atau bar sekalipun. Pada intinya di seluruh tepi panggung pementasan, entah itu olahragawan atau seniman sebagai lakonnya.
ADVERTISEMENT
Karena menjadi penonton itu mudah. Tak perlu keterampilan serta kemampuan, cukup niat dan kadang-kadang biaya yang tak seberapa besar. Tak perlu juga kemampuan untuk bisa berlari dan menggiring seperti para pemain sepak bola, tak butuh juga kapabilitas akting, bernyanyi, dan memainkan alat musik seperti aktor dan pemusik.
Secara harafiah, tugas penonton adalah menjaga ketertiban dan taat aturan. Cara paling gampang adalah dengan membeli tiket-- itupun kalau acara berbayar. Kalau tidak, bakal lebih mudah lagi tentunya. Sementara cara lain merawat ketertiban adalah memelihara keamanan dan kebersihan, that's all, tak lebih.
Perkara mereka mau ikutan menyanyi atau cuma menangis sesenggukan di gig punk atau metal pun tak akan berbuah pengusiran, asal tiket dalam genggaman. Mau jungkir balik sekalipun tak ada yang melarang.
ADVERTISEMENT
Toh, panitia pelaksana atau Event Organizer (EO) sekalipun tak bisa menyetir gejolak perasaan penonton--kecuali mereka melampiaskannya secara destruktif--memukul orang atau menjebloskan kepalanya sendiri ke tembok.
Apa urusannya? Apa pula hak mereka mengaturnya?
Baru-baru ini, Indonesia menjamu Palestina di fase grup Asian Games 2018. Menjadi 'aneh' karena para suporter justru bersorak-sorai saat tim kesayangannya kebobolan. Kata 'aneh' tak ada sangkut pautnya dengan sesuatu yang salah atau benar, melainkan soal aktivitas yang tak biasa. Soal baik atau buruk, itu juga lain urusan.
Palestina, terlepas dari isu agama, memang layak untuk mendapatkan dukungan moral. Negaranya seolah tak pernah melewatkan hari tanpa letupan peluru, wanita dan anak-anak juga turut menjadi korban karena konflik tak berujung.
ADVERTISEMENT
Sejatinya, mendukung Palestina tak ada bedanya dengan mencurahkan perhatian kepada beberapa negara Afrika yang terjangkit konflik politik-ekonomi macam Somalia atau Zimbabwe. Bedanya, mereka tak turut serta dalam Asian Games 2018 ini.
Bagi beberapa orang, menyoraki gol Oday Dabbagh saat menjebol gawang Indonesia merupakan dukungan nyata ketimbang repot-repot berangkat langsung ke Palestina, ikut perang, lalu berharap meninggal di sana agar langsung meluncur ke surga.
Indonesia sendiri pada akhirnya takluk 1-2 dari Palestina. Kalah atau menang itu bukan masalah. Toh, sepak bola--kembali lagi--adalah sebuah permainan. Namun, yang paling berharga dari sepak bola adalah elemen-elemen yang menopangnya, saling mengaitkan, dan tetap menjunjungnya di aras teratas dibanding olahraga lainnya.
Bukan rahasia lagi jika sepak bola adalah medium untuk mempererat persatuan, memajukan budaya, menyebarluaskan pemikiran, dan merawat nilai-nilai kemanusiaan. Salah satu di antaranya, ya, sikap hangat para pendukung Indonesia itu. Stadion Patriot Candrabhaga bak altar untuk menenangkan dan membahagiakan para insan Palestina walau sejenak.
ADVERTISEMENT
Atas apresiasi tersebut, pelari maraton Palestina, Mohammad Alqadi, sampai-sampai menebar pujian kepada Indonesia. Dalam akun Twitter-nya, ia menuliskan bahwa para suporter terus bernyanyi untuk Palestina kendati tim mereka kalah.
Bukankah itu sebuah pujian? Lontaran positif di balik kelakuan segelintir oknum suporter ngawur yang merusak fasilitas stadion, melempari para pemain di arena, dan tak segan-segan mencabut nyawa manusia lainnya?
Atau, malah sebaliknya, mereka justru melanggar kode etik seorang penonton? Kewajiban mereka sebagai pendukung?
Bila sebesar itu kewajiban penonton, gig dangdutan kampung dijamin sepi. Wong, acara demikian jadi ajang hiburan, di tengah biaya hidup melangit dan kebutuhan yang kian mengimpit.
ADVERTISEMENT
Hakikat menonton sebuah event, sepak bola, acara musik, atau film di bioskop sekalipun adalah untuk menyalurkan kepuasan, demi sebuah kebebasan. Bertujuan juga untuk mencurahkan emosi dan juga menuntaskan rasa penasaran.
Andai itupun dilarang, disalah-kaprahkan, nantinya satu-satunya hiburan dalam hidup mungkin hanya masturbasi di kamar mandi atau di mana pun. Terus saja begitu sampai basi.
Lagian, untuk meluapkan perasaan saja kita masih terjajah, lantas mengapa kita gembar-gemborkan kemerdekaan yang jadi jargon Agustusan itu.
Itulah mengapa menjadi penonton adalah sebuah kebebasan. Karena merdeka yang paling dasar adalah bebas untuk berpikir dan merasa (emosi), tanpa menanggalkan kadar batas ketertiban tentunya.
Merdeka!