Mengurai Residu Teknologi, Terhindar dari Balkanisasi

PPI Dunia
PPI Dunia adalah wadah organisasi yang menaungi seluruh pelajar Indonesia yang sedang menempuh pendidikan di luar negeri.
Konten dari Pengguna
7 Agustus 2022 7:58 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari PPI Dunia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sore, 23 mei 2019, di tengah kegabutan bercampur rasa was-was mendengar kabar Asrama Brimob tempat keluarga saya dijakarta tinggal di serang oleh mereka yang mengatasnamakan pembelaan terhadap bangsa. Saya tergelitik dengan postingan yang tersebar di facebook yang menuliskan “Mata sipit gak tau bahasa indonesia, Brimob Impor, Mari turun ke jalan Bela Indonesia dari mata sipit”, dengan latar belakang foto seorang Demonstran bersama 3 pria berseragam polisi dengan mata yang memang sipit (CNN,2019).
ADVERTISEMENT
Jauh di Jakarta sana, tepat jam 10 malam teman baik saya di kepolisian menelpon menceritakan akan hal yang membuat saya tertawa, miris, sekaligus terkejut bagaimana tidak postingan yang sore itu saya baca dengan latar belakang 3 polisi bermata sipit ternyata ada dirinya didalam foto itu.
Teman saya itu berkata “ Kalau sipit saja di bilang Cina, bagaimana dengan anggota dari tanah papua bisa-bisa di fitnah mereka polisi afrika, Mabes (polri) pasti akan menindak mereka”, ujarnya yang masih saya ingat sampai sekarang. Dan benar saja ,tidak lama setelah viralnya postingan itu pelaku yang merupakan wiraswasta tertangkap dan dijerat oleh UU ITE dengan ancaman penjara 6 tahun (Kompas,2019).
Lalu kemudian publik dijelaskan oleh divisi Humas Mabes Polri dengan menghadirkan tiga Polisi dalam foto itu yang salah satunya teman saya itu untuk tidak mempercayai isu adanya Polisi Cina karena mereka yang difoto itu ternyata semuanya orang Indonesia. Kebetulan kawan saya itu berasal dari Sumatera Utara. Meskipun pelaku sudah ditangkap tapi ironisnya istilah mata sipit sekarang menjadi hujatan rasis seolah-olah mereka yang berfisik menyerupai kelompok tertentu bukanlah warga Indonesia
ADVERTISEMENT
Indonesia menutup akhir dari pesta demokrasinya dengan malapateka, di Ibu Kota Jakarta saja terjadi kerusuhan yang menyebabkan 9 orang tewas dan banyak yang luka-luka belum lagi ditambah dengan perusakan dan penyerang secara sporadis terhadap fasilitas umum dan milik aparat (CNN,2019)
Adu urat di dunia maya selama dan sesudah masa kampanye yang penuh dengan mis-informasi, dis-informasi, dan mal-informasi nyatanya mengundang bala. Kerusuhan maya ditransformasikan ke dunia nyata menyebabkan wajah Indonesia tercoreng di mata dunia. Patriotisme dan nasionalisme yang diteriakkan kala itu hanyalah pemantik emosi agar massa semakin ganas menghancurkan apa yang didepan mata mereka.
Ironisnya, kejadian 22 mei 2019, yang banyak dipengaruhi oleh residu teknologi informasi dan komunikasi ini bukanlah kejadian terakhir bagi bangsa yang majemuk ini. Setelahnya kita dilanda kerusuhan akibat rasisme di papua (CNN,2020) yang tak kalah hebatnya dan baru-baru ini kita pun dilanda kerusuhan akibat rancangan undang-undang (Kompas,2020) yang ironisnya para peserta aksinya sendiri tidak mengerti subtansi yang diprotes (Detik,2020).
ADVERTISEMENT
Tiada yang salah dengan demonstasi dalam konteks demokrasi, setiap aksi massa adalah kewajaran.apalagi konstitusi dan undang-undang pasal 28 Tahun 1945 memberikan jaminan dan kebebasan kepada setiap warga negara untuk berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan.
Tetapi yang menjadi masalah saat demonstrasi tersebut ditunggangi oleh kepentingan tertentu dan rusak akibat residu teknologi, Bagaimana mungkin lampu alarm dalam nurani kita tidak menyala pada saat ruang publik riuh oleh perebutan makna atas nilai-nilai tetapi ada saja satu kelompok bigot yang coba membelokkan common sense pada perpecahan
Dari semua kerusuhan itu penggunaan teknologi komunikasi dan informasi yang nir-intelektual apalagi nir-etika menyebabkan kita asal tangkap,unggah,dan serbakan tanpa pernah mengerti konteks dan akibat. interaksi manusia dan teknologi yang menjadi kata kunci peradaban kita hari ini, nyatanya masih minus jauh dari kata “sehat”. Masyarakat Indonesia hari ini terlalu over-informasi namun minus literasi, budaya, etika, dan keamanan digital.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, perihal artificial intelligence (AI) dan internet of things (IoT) yang kita banggakan nyatanya masih belum mampu menciptakan masyarakat berbasis pengetahuan yang tidak hanya bisa menggunakan dan pandai menciptakan tapi juga sadar akan tanggung jawab dan siap menerima konsekuensi sekiranya mengancam keberagaman (diversity) dan pluralism (pluralisme) keindonesiaan yang bisa mengarah ke Balkanisasi.
Balkanisasi sendiri adalah istilah lain dari perpecahan yang berbasis etnis dan agama seperti yang terjadi di Yugoslavia pada dekade 1990-an, kita tentunya tidak ingin Indonesia menjadi the next Yugoslavia oleh karena itu kemungkinan-kemungkinan yang dapat mengarahkan kita kearah sana mestilah kita tanggal. Fenomana Balkanisasi ini telah berpindah ke ranah cyber, para ahli menyebutnya Cyber-balkanization yaitu pengelompokan kategori netizen berdasarkan kesamaan pandangan yang terlalu sempit dan cenderung penuh dengan pelintiran kebencian.
ADVERTISEMENT
Cyber-balkanization menurut Daniel J Levithin tidak bisa terlepas dari fenomena menjadikan kebohongan sebagai senjata, dalam bukunya Weaponized Lies: How to Think Critically in the Post-Truth Era (2020) yang berpendapat jika kita sedang berada pada kondisi peradaban yang tidak tahu mana batas antara kebenaran dan kebohongan. Ditingkat sosial kita diperdaya oleh istilah-istilah halus seperti 'post-truth', 'counter-knowledge',’filter buble’m 'fringe theory' dan lain-lain. Bahkan di dunia di mana setiap orang bisa menjadi ahli hanya dengan mengklik tombol telah menyebabkan runtuhnya otoritas pakar sehingga mematikan kepakaran kalau menurut Tom Nicholas (2020).
Patriotisme dan Nasionalisme di Ambang Jebakan Algoritma
Global Citizen itulah istilah keren yang selalu dinarasikan ditengah peradaban yang semakin bordeless, ini bukan tentang penyatuan identitas KTP antar negara dalam satu naungan penduduk dunia khas Sunda Empire tapi tentang kaburnya batas-batas secara non-teritorial atau yang biasa Orang Jawa sebut “Era of bordeless”. Bordeless secara langsung merubah tatanan dunia lebih egaliter, terkoneksi, dan penuh dengan inovasi.
ADVERTISEMENT
Tapi kondisi ini juga disusupi dengan residu tersistematis yang berusaha merubah pandangan kita terhadap patriotisme dan nasionalisme. Kita ambil contoh, tentang radikalisme agama pada kutub ekstrim kanan ataupun anarko pada kutub ekstrim kiri yang kedua kutub ini sama-sama meyakinkan pada para generasi muda kalau nasionalisme dan patriotisme adalah toxic sehingga harus diganti dengan insureksi (perlawanan terhadap otoritas)
Fenomena, Lone wolf maupun kerusuhan terancang sebagai akibat lanjutan setelahnya sering terjadi di negara kita. Jebakan algoritma teknologi pada akhirnya membuat setiap kasus akan erat kaitan dengan algoritma begitu kata Karen Hao dalam artikel di Tecnology review berjudul “The coming war on the hidden algorithms that trap people in poverty”.
Saya berpendapat setidaknya ada lima akibat yang ditimbulkan oleh jebakan algoritme terhadap patriotisme dan nasionalisme, (1). Memperkuat bahasa kita vs mereka sehingga prasangka dan ekslusivitas kelompok semakin meningkat, (2). Menyebarkan interprestasi yang salah terhadap nasionalisme dan patriotisme, (3). Memunculkan persoalan-persoalan baru yang lebih banyak dan luas di luar daya antisipasi lembaga-lembaga negara sebagai , dan (4).Memperluas mindset over-reaction dalam bertindak untuk hal-hal yang menyangkut kehidupan bersama.
ADVERTISEMENT
Solusi Mengurai Residu Teknologi Informasi dan Komunikasi
Kita belum terlambat untuk mencegah Indonesia dari Balkanisasi, saya menawarkan lima rekomendasi yang dapat kita pergunakan untuk pencegah yang pertama (1). Pertajam Politic Will yang sadar akan keutuhan bangsa disini para Pemain Politik hendaklah menyehatkan demokrasi daripada bermain sentiment yang bersifat sara. (2). Perluas komunitas pendidik yang melawan segala bentuk residu teknologi, kita harus menghargai sekaligus bergabung jika mungkin dengan komunitas pendidik yang mencerahkan masyarakat dengan literasi, budaya, etika, dan keamanan digital. Dan (3). Ubah patriotisme dan nasionalisme dari reaktif ke kontruktif, seringkali kita terjebak pada kedangkalan dalam memahami nasionalisme maupun patriotisme sehingga premanisme pun kita kategorikan sebagai upaya untuk membela bangsa pada jelas itu salah jadi yang mesti kita lakukan bentuk pemikiran yang kontruktif terhadap nasionalisme dan patriotisme ini agar kita menjadi manusia Indonesia yang sehat akal, baik hati, dan terarah tindakan.
ADVERTISEMENT
Kini Persoalannya adalah bukan berapa banyak info di dapat yang sebenarnya penting, tetapi sedalam apa kita paham suatu persoalan untuk kebaikan eksistensial kita. Keramaian, kehebohan opini publik menjauhkan sesuatu yang lebih penting. Informasi membanjiri kesadaran, namun kesadaran tak sempat bermukim dan mencari makna. Akhirul kalam, jadilah pahlawan versimu sendiri untuk membongkar residu teknologi dari zamrud katulistiwa.
Penulis: Mansurni abadi, anggota komisi perlindungan sosial dan budaya PPI Dunia periode 2021-2022.