Nilai-nilai Fundamental Dalam Dunia Pendidikan Di Era Post-Truth

PPI Dunia
PPI Dunia adalah wadah organisasi yang menaungi seluruh pelajar Indonesia yang sedang menempuh pendidikan di luar negeri.
Konten dari Pengguna
7 Agustus 2022 7:33 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari PPI Dunia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada Abad 21 ini kita melihat adanya pergesaran nilai dan prinsip hidup yang cukup signifikan. Hal itu ditandai dengan adanya realita masyarakat yang kurang interest dengan dunia pendidikan. Hal itu bisa terjadi karena adannya fenomena yang serba instan di era digital di mana masyarakat bisa mengakses apapun informasi yang terdapat di dalam dunia internet yang cukup masif dan mengglobal. Oleh karenanya mereka merasa cukup dengan informasi yang mereka dapat untuk meningkatkan daya minat demi karir yang didambakan.
ADVERTISEMENT
Karena dirasa cukup mengakses segala informasi atau knowdedge dari basis digital, sehingga muncul sebuah paradigma bahwa pendidikan formal sudah tidak memberikan dampak dan kemajuan yang signifkan untuk memajukan masyarakat, khususnya dalam menunjang karir yang didamba masyrakat. Karena basis pembelajarannya melalui dunia digital secara otodidak tanpa dibarengi dengan pengenalan pendidikan adab dan karakter akhirnya munculah generasi yang skeptis dan tidak memperdulikan mana nilai yang absolut atau sebaliknya, bahkan cenderung sering menolak kebenaran. Generasi ini bisa dikatakan generasi di era post truth.
Secara epistemologi post-truth adalah kata sifat yang didefinisikan sebagai "berkaitan dengan atau menunjukkan keadaan di mana fakta obyektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding daya tarik emosional dan kepercayaan pribadi". Dalam defini tersebut bisa diinterpretasikan bahwa kebenaran yang menjadi pegangan masyarakat mulai kabur maknanya, lalu beralih kepada fakta yang subyektif.
ADVERTISEMENT
Dalam dunia pendidikan, terdapat nilai-nilai kebenaran di mana tujuannya agar mencetak manusia yang beradab dan bermoral. Bahkan hal ini juga terdapat dalam UUD 1945 dalam pasal 31 ayat 3 bawah “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur denganuundang-undang". Artinya dalam isi UUD tersebut bahwa tujuan pendidikan di Indonesia untuk mencetak generasi yang mempu membekali dengan ilmu pengetahuan dan ketaqwaan. Namun, pada masa-masa sekarang, sakralitas dari pendidikan itu mulai memudar karena adanya distorsi pengetahuan yang menjauhkan mereka dari nilai-nilai fundamental dalam hidup.
Dalam Islam, pendidikan itu untuk mencetak atau menghasilkan manusia seutuhnya atau insan kamil. Artinya ia diproyeksikan menjadi manusia yang memiliki keseimbangan antara kedewasaan intelektual, spritual, dan moral. (Hamid Fahmy Zarkasyi: Berislam dari Ritual hinggal Intelektual, hal. 269).
ADVERTISEMENT
Realita yang terjadi di masyarakat, bahwa remaja yang tidak menginginkan pendidikan yang formal dan tertib, mereka lebih cenderung mempelajarinya secara otodidak untuk menunjang karirnya, namun karena tidak terarahkan dengan baik, asuhan dan bimbingan yang baik, menjadi manusia yang pragmatis dan skeptis. Bahkan mereka terbutakan dengan hal-hal yang berkaitan dengan etika sosial.
Ini menjadi PR terbesar bangsa Indonesia untuk lebih mengarahkan kepada putra dan putri bangsanya untuk mengenyam pendidikan yang terarah dan terukur, khususnya dalam mencetak insan kamil (Manusia yang sempurna akhlaqnya) yang mampu melahirkan pemimpin-pemimpin masa depan untuk bangsa.
Lalu, bekal dan prinsip apa yang perlu dibekali untuk generasi di era sekarang ini?
Pertama, menanamkan nilai-nilai spritual kepada generasi sejak dini. Pendidikan spritual adalah nilai fundamental yang perlu ditanamkan ke dalam alam pikiran anak-anak remaja; mengenalkan mereka tentang tujuan dari Tuhan menciptakan manusia, yaitu agar menjadi hamba yang bertaqwa dan mengakui bahwa kehidupan yang fana ini adalah bekal dan ladang untuk menjemput kehidupan setelahnya. Menurut Imam al-Ghazali manusia diciptakan Allah sebagai makhluk yang terdiri dari jiwa dan jasad. Jiwa yang menjadi inti hakikat manusia adalah makhluk spiritual. Artinya, spritualitas dalam diri harus tercermin dengan sikap yang lembut dan berperilaku baik kepada orang lain.
ADVERTISEMENT
Sebagai muslim, mereka seyogyanya diajarkan untuk mencontoh sifat dan perilaku nabi Muhammad saw yang mendapat predikat manusia sempurna (insan kamil). Innama buistu liutammima makarimal akhlaq, bahwa sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq. Bahkan memiliki akhlaq yang mulia dengan mereka yang berbeda ras, suku, dan agama (keyakinan).
Nabi Muhammad menjadikan perbedaan itu adalah sebuah rahmah ilahiyyah, yaitu kasih sayang yang Allah Swt ajarkan kepada umat manusia untuk berbuat baik, saling memberi, saling mensupport, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemusiaan (al-Ukhuwwah Insaniyyah). Bahkan Nabi Muhammad Saw pada saat itu telah merumuskan Piagam Madinah -yang saat itu orang Barat belum punya ide itu- untuk menyatukan keberagaman, di lain sisi nilai dan prinsip dalam rumusan piagam madinah tersebut mampu menciptakan keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan dengan berbagai suku ras dan agama yang saling hidup berdampingan.
ADVERTISEMENT
Kedua, menanamkan nilai-nilai sosial kepada remaja. Dalam pepatah bahasa arab disebut, al Insanu Madiniyyun bit thab’i (manusia adalah makhluk sosial). Mengajarkan mereka akan urgensi hidup berdampingan dengan masyarakat secara guyub dan rukun: saling menghargai bukan saling menghakimi, saling mencitangi bukan saling mencaci. Yā ayyuhan-nāsu innā khalaqnākum min żakariw wa unṡā wa ja'alnākum syu'ụbaw wa qabā`ila lita'ārafụ, inna akramakum 'indallāhi atqākum, "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Artinya untuk mencapai derajat taqwa, manusia butuh mengenal satu sama lain dan saling menghormati perbedaan yang ada.
ADVERTISEMENT
Dua nilai tersebut jika disederhanakna menjadi nilai-nilai kesalihan, yaitu kesalihan ritual dan kesalihan sosial. Sebagai manusia yang disebut dalam al-Quran sebagai khalifah fil ard (pemimpin di muka bumi) seharusnya nilai-nilai itu harus melekat dan menjadi pancaran sinar kepribadian manusia itu sendiri. Agar tidak menjadi manusia yang pragmatis sekptis atau jumud yaitu tidak mampu menerjemahkan nilai-nilai agama dalam dinamikan kehidupan secara holistik.
Penulis: Ach Fuad Fahmi, PPI Dunia